Ahli Jokowi - Ma'ruf : MK Berwenang Selesaikan Perselisihan Suara Pemilu, Bukan Sengketa Pemilu
Font: Ukuran: - +
Heru Widodo dan Eddy O.S. Hiariej menjadi Ahli Pihak Terkait dalam sidang kelima PHPU Presiden dan Wakil Presiden 2019, Jumat (21/06) di Ruang Sidang MK. [Foto Humas/Ifa]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Berpedoman pada Pasal 24C UUD 1945, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Dengan demikian telah jelas jika perselisihan yang dimaksudkan adalah penyelesaian kesalahan perolehan suara dalam pemilihan umum yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (Termohon).
Kata "perselisihan" yang dimaksud adalah tentang perselisihan suara dan bukan tentang sengketa pemilihan umum. Hal tersebut disampaikan oleh Eddy O.S. Hiariej selaku ahli dari Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin (Pihak Terkait) dalam sidang lanjutan penanganan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 (PHPU Presiden dan Wakil Presiden 2019) di Ruang Sidang Pleno MK pada Jum’at (21/6/2019).
Menurut Eddy, dalil-dalil yang disampaikan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno (Pemohon) dalam permohonannya lebih banyak menguraikan pelanggaran-pelanggaran pemilihan umum, seperti penyalahgunaan penggunaan APBN atau program pemerintah, ketidaknetralan aparatur, pembatasan kebebasan media dan pers. Pada hakikatnya, lanjutnya, pelanggaran-pelanggaran pemilihan umum seharusnya dilaporkan pada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Kemudian Bawaslu yang akan menilai apakah laporan-laporan tersebuat tergolong pada pelanggaran administrasi pemilu atau pelanggaran lainnya, yang hasilnya didistribusikan pada beberapa lembaga lainnya yang berwenang menyelesaikannya seperti DKPP, peradilan umum atau peradilan tata usaha negara.
"Jadi, kuasa hukum Pemohon secara kasat mata mencampuradukkan antara sengketa pemilu dan perselisihan hasil pemilu," ujar pakar hukum pidana UGM tersebut terkait perkara yang teregistrasi Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 ini.
Bukan Contoh
Selanjutnya, Eddy pun menyoroti permohonan Pemohon sehubungan dengan penyandingan antara Putusan MK mengenai penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHP Kada) dengan pemilihan presiden (Pilpres). Menurut, menyelesaikan suatu perkara dengan mengambil contoh perkara lain sama artinya dengan tidak menyelesaikan perkara tersebut.
Postulat ini, lanjutnya, berlaku di negara-negara yang menganut sistem kontinental termasuk Indonesia bahwa dalam mengadili setiap perkara, hakim sangat bersifat otonom dan tidak terikat pada keputusan hakim sebelumnya.
"Masing-masing perkara memnpunyai sifat dan karakteristik tersendiri yang tentunya bergantung pada fakta yang berbeda pula. Jadi putusan harus dibuat berdasarkan hukum, dan bukan berdasarkan contoh," tegas Eddy di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Teori TSM
Berikutnya terkait dengan dalil adanya kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), maka Eddy menyampaikan bahwa penting terlebih dahulu untuk setiap pihak memahami istilah tersebut. Menurutnya, TSM dikenal pada awalnya dalam studi kejahatan untuk menyebutkan karakteristik prototipe kejahatan internasional, yakni genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang. Terstruktur berarti kejahatan dilakukan secara terorganisasi dan tersusun secara baik, sedangkan masif merujuk pada skala penyebaran terjadinya kejahatan tersebut.
Dalam konteks teori, tambahnya, hal ini harus dibuktikan dalam dua hal yakni adanya pertemuan pelaku pelanggaran dan kerja sama dalam melaksanakan sebuah pelanggaran tersebut. "Sedangkan dalam perkara Pilpres 2019 ini, kuasa hukum Pemohon hanya melihat dalam kerangka persangkaan-persangkaan yang bukan menjadi alat bukti di Mahkamah Konstitusi," ujar Eddy.
Terkait dengan pelanggaran bersifat masif, Eddy menyebutkan bahwa ada persyaratan berupa dampak yang sangat luas dalam pemilihan dan bukan hanya sebagian. Artinya, harus ada hubungan kausalitas antara pelanggaran tersebut dengan konsekuensinya. Dalam permohonan tersebut, jelasnya, kuasa hukum Pemohon hanya menunjukkan beberapa peristiwa yang kemudian digeneralisasi bahwa kecurangan terjadi secara TSM.
"Padahal pelanggaran itu harus dibuktikan dengan teori individualisir. Sebab pelanggatan yang besifat TSM harus menimbulkan dampak yang masif, bukan sebagian. Dan hal ini tidak dijelaskan oleh kuasa hukum Pemohon," urai Eddy.
Sehubungan dengan adanya permohonan dari Pemohon untuk menyerahkan beban pembuktian kepada MK, Eddy menilai bahwa siapa yang menggugat, maka dia yang wajib membuktikan. Selain itu, terdapat pula asas lain yang menyebutkan bahwa pembuktian bersifat wajib bagi yang mengiyakan, bukan yang menyangkal. Permintaan ini, sambungnya, jelas bertentangan dengan asas hukum pembuktian.
"Dengan demikian dalil kuasa Pemohon harus dikesampingkan karena bertentangan dengan asas dalam sendi hukum," terang Eddy.
Signifikansi Sengketa
Pada kesempatan yang sama, Pihak Terkait juga menghadirkan Doktor Ilmu Hukum Heru Widodo mengkaji tentang signifikansi sebagai unsur dalam sengketa perselisihan hasil yang membatalkan hasil pemilu. Dengan unsur ini, jelas Heru, tidak semua pelanggaran dapat dipulihkan dengan tidak signifikannya suatu perkara.
Berkaitan dengan permasalahan kuantitatif dalam pemilu, unsur signifikan dapat ditentukan dari hasil akhir koreksi yang dapat memengaruhi suara yang harus terlebih dahulu dibuktikan. Namun demikian, tambahnya, sepanjang tidak mengubah perolehan suara Pemohon atau Pihak Terkait, maka hal tersebut tidak dapat dikategorikan signifikan.
Lebih lanjut, Heru menguraikan bahwa terkait masalah kualitatif di luar pelanggaran TSM yang menjadi kewenangan Bawaslu, ukuran signifikan hanya bersandar pada hal yang memengaruhi keberadaan perolehan suara. Maka, dari hal tersebut terdapat tiga unsur yang dapat memengaruhi pelanggaran kualitatif, yaitu signifikan apabila pelanggaran terjadi di tempat Pemohon mengalami kekalahan. Kedua, dalam hal dilakukan pemilihan, maka hasilnya mengubah perolehan suara peserta, dan ketiga adalah apabila terjadi kondisi penegak hukum tidak bekerja atau penyelenggara pemilihan umum tidak menaati putusan penegakan hukum.
"Dengan berpedoman pada UU Nomor 7/2017 sebagai (landasan) materiil pelaksanaan pemilu, yang juga memuat mengenai penegakan hukumnya dengan memberikan kewenangan pada Bawaslu, DKPP, PTUN, dan MK, maka kedudukan lembaga tersebut memiliki tugas dan fungsi masing-masing dalam penegakan hukum pemilu," ujar Heru.
Hasil Rekapitulasi
Dalam kesempatan yang sama, Pihak Terkait juga menghadirkan dua saksi, yakni Candra Irawan dan Anas Nasikin. Dalam kesaksian Candra, yang mengaku pada Pilpres 2019 ini menjabat sebagai anggota direktorat saksi Tim Kemenangan Nasional menceritakan jalannya rapat rekapitulasi suara pemilihan umum tingkat nasional di KPU yang diikutinya.
Dalam kisahnya, Candra yang bertugas menyiapkan saksi pengaman suara pada tingkat TPS hingga nasional, maka sejak 4 – 21 Mei 2019 dalam rapat rekapitulasi nasional dirinya pun terlibat dalam rapat panel dan pleno rekapitulasi tersebut.
Lebih lanjut, Candra menyebutkan bahwa telah diadakan rapat rekapitulasi tingkat nasional, kemudian terdapat 18 provinsi yang tidak menandatangani dan mengajukan keberatan terhadap hasil akhir perolehan suara tersebut pada 21 Mei 2019.
Terkait hal ini, lanjutnya, KPU mencatatkan keberatan tersebut dalam form. "Dalam rapat hasil tersebut dibagikan sertifikat perolehan suara di mana Paslon 01 mendapatkan 85.607.362 suara (55,5%), sedangkan Paslon 02 mendapatkan 68.650.239 suara (44,5%)" cerita Candra.
Sementara Anas Nasikin yang berprofesi sebagai staf ahli Fraksi PKB di DPR menyampaikan klarifikasi mengenai adanya materi yang berjudul "Kecurangan Merupakan Bagian Demokrasi" dalam Training of Trainer (ToT) PBB sebagaimana diungkapkan saksi Pemohon, Chairul Anas pada sidang ketiga.
Dalam sidang terdahulu yang digelar Jumat (14/6/2019) lalu, Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno selaku Pemohon mendalilkan adanya kecurangan yang bersifat terstruktur, masif, dan sistematis dalam pelaksanaan Pilpres 2019.
Selain itu, Pemohon menyampaikan pokok-pokok permohonan, di antaranya cacat formil persyaratan calon wakil presiden Nomor Urut 01 Ma’aruf Amin yang sejak pencalonan hingga sidang pendahuluan digelar masih berstatus pejabat BUMN. Kemudian, Pemohon juga mendalilkan cacat materiil Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 01 Joko Widodo dan Ma’ruf Amin selaku Pihak Terkait atas penggunaan dana kampanye yang diduga berasal dari sumber fiktif; serta kecurangan lainnya yang telah dilakukan Pihak Terkait dalam Pilpres 2019 yang telah digelar pada 17 April 2019 lalu. (pd/rel)