4 Catatan Penting LP Ma’arif NU PBNU Sepanjang 2020, Sentil Masalah UN
Font: Ukuran: - +
Reporter : Alfi Nora
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif NU Pengurus Besar Nahdanatul Ulama (PBNU) merupakan lembaga pendidikan yang telah lebih dari 91 tahun berpartisipasi dalam pembangunan bangsa melalui pendidikan di tingkat dasar dan menengah secara mandiri dan dinamis.
Sepanjang 2020, berbagai terobosan telah dilakukan LP Ma’arif NU dalam rangka menciptakan kreativitas, inovasi dan transformasi baik di tingkat kelembagaan maupun satuan pendidikan.
Di antaranya, Perkemahan Penggalang Ma’arif Nasional (Pergamanas), Perkemahan Wirakarya Ma’arif Nasional (Perwimanas), pelatihan IPTEK Bersama Huawei dan penguatan strategi pembelajaran bagi guru dalam program kerjasama dengan pemerintah Australia membuktikan keseriusan LP. Ma’arif NU PBNU dalam memajukan pendidikan di Indonesia.
Pengurus Lembaga Pendidikan Ma'arif NU yang Diketuai oleh, KH. Z Arifin Junaidi menyampaikan berbagai terobosan telah dilakukan LP Ma’arif NU dalam rangka menciptakan kreativitas, inovasi dan transformasi baik di tingkat kelembagaan maupun satuan pendidikan.
“Penguatan strategi pembelajaran bagi guru dalam program kerjasama dengan pemerintah Australia membuktikan keseriusan pihak kami dalam memajukan pendidikan di Indonesia,” ujarnya melalui keterangan tertulis Dialeksis.com, Jumat (1/1/2021).
Dari sejumlah program yang telah dilakukan, di penghujung tahun 2020 LP. Ma’arif NU PBNU menyampaikan 4 catatan penting yang menjadi bahan refleksi dunia Pendidikan di Indonesia.
Pertama, perubahan kebijakan pendidikan. Sebagai sektor yang dinamis, kebijakan pendidikan berganti setiap adanya pergantian Menteri. Hal semacam ini sejatinya merupakan fenomena yang dinilai biasa meskipun memerlukan upaya yang tidak mudah bagi para pelaksana dan praktisi di tingkat satuan pendidikan.
“Perubahan kebijakan Merdeka Belajar dan penghapusan Ujian Nasional (UN) merupakan kebijakan baru yang berdampak pada perubahan total arah pendidikan di Indonesia,” sebutnya.
Menurutnya, kebijakan ini telah menimbulkan kebingungan, ketidakpastian, dan bahkan keresahan di sebagian pengelola, pelaksana, dan praktisi pendidikan.
Kedua, kebijakan di masa pandemi. Kebijakan pemerintah dalam merespon situasi darurat Covid-19 dirasakan lambat terutama terkait dengan perubahan metode belajar dari pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran dari rumah.
“Kebijakan ini tidak dibarengi dengan kebijakan pendukung yang memastikan proses belajar dari rumah berjalan lancar dan berkualitas,” ungkapnya.
Ketiga lanjutnya, terkait kebijakan kembali tatap muka. Kebijakan terbaru terkait dengan penyelenggaraan pembelajaran tatap muka dengan sejumlah persyaratan dan kepatuhan protokol kesehatan menjadi dilema baru di sebagian besar masyarakat di saat kasus covid-19 masih tinggi.
Terakhir, akses sumber daya pendidikan. di tahun 2020, masih dirasakan kesenjangan yang cukup tinggi terhadap akses sumber daya dari pemerintah antara sekolah/madrasah negeri dan swasta.
“Kesenjangan ini semakin lebar pada satuan pendidikan yang berlokasi di perdesaan, perbatasan, kepulauan, pesisir, dan pedalaman, serta pada keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi,” ucapnya.
Harapan di Tahun 2021, diperlukan kajian mendalam tentang kebutuhan pendidikan saat ini dan yang akan datang, serta urgensi konsep dan perspektif Merdeka Belajar dalam menjawab tantangan kualitas SDM yang berdaya saing di tingkat global.
Kemudian, partisipasi pemangku kepentingan (stakeholders) dalam menguatkan konsep Merdeka Belajar perlu dilakukan sebelum kebijakan ditetapkan.
“Kesenjangan sumber daya antara sekolah/madrasah negeri dan swasta menjadi tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan dunia usaha untuk menyelenggarakan pendidikan yang dapat dipastikan merata dan berkualitas,” pungkasnya.
Keberpihakan kebijakan di tingkat pusat dan daerah diharapkan dapat disusun untuk memperkuat sinergi antara negara, masyarakat, dunia usaha dengan pelaksana dan praktisi satuan pendidikan.
Menurutnya, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan dan program baru yang bersifat afirmasi untuk mengurangi kesenjangan yang ada, baik pada sumber daya manusia, sarana prasarana, dan pembiayaan pendidikan.