VISI PERTANIAN 2045
Font: Ukuran: - +
Azanuddin Kurnia, SP, MP (Ketua Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Wilayah Aceh dan Sekretaris Distanbun Aceh)/ Foto: Ist
Mewujudkan Indonesia Mas pada tahun 2045 genap 100 tahun Indonesia Merdeka, merupakan langkah permerintah dalam membangun Indonesia untuk menjadi Megatrend Dunia yang semakin sarat akan persaingan yang sangat ketat. Pemerintah dalam mewujudkan hal tersebut membangun pilar Visi Indonesia 2045 sebagai bahan acuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa demi mewujudkan Indonesia yang berdaulat , mandiri, dan berkepribadian menjadi acuan setiap langkah pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pencapaian impian dan visi Indonesia 2045 dibangun dengan 4 pilar berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar berbangsa, bernegara dan konstitusi. 4 Pilar Visi Indonesia 2045 yaitu: (1) Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (2) Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan, (3) Pemerataan Pembangunan, dan (4) Pemantapan Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Kepemerintahan
“Kita berharap pertanian bisa menunjang kekuatan bangsa ini di bidang ketahanan pangan sekaligus,” ujar Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam tayangan Persembahan Spesial HUT ke-21 Metro TV: Simfoni Kebangsaan di Metro TV, Kamis, 25 November 2021. Syahrul menjelaskan, Indonesia menjadi negara terbesar keempat di dunia dengan penduduk sebanyak 270 juta jiwa. Dalam hal tersebut, sektor pertanian berperan penting karena tidak ada satupun orang yang tidak membutuhkan makanan.
Selain itu, Syahrul juga menekankan pertanian merupakan ekonomi dasar untuk memutar ekonomi lainnya. Semua orang dan semua pihak, harus mengembangkan sektor pertanian. “Semua orang dan semua pihak harus ikut terlibat, pemerintah daerah dari semua jenjang termasuk Gubernur, Bupati harus berkonsentrasi pada pertanian karena pertanian dibutuhkan sekarang ini, besok dan masa yang akan datang,”
Mulai bergairahnya sektor pertanian menjadi angin segar bagi pemerintah untuk mendongrak kondisi ekonomi makro Tanah Air. Hal ini secara perlahan telah dibuktikan sejak dua tahun terakhir dengan menyetop impor jagung dan bawang merah dari Argentina, Thailand, dan Amerika Serikat. Dengan tidak mengimpor jagung, beras, dan bawang merah telah membuktikan bahwa Indonesia bisa tetap makan tanpa impor.
Oleh karena itu, mulai saat ini peran dari masyarakat serta pemerintah tidak bisa lepas dalam mewujudkan mimpi Indonesia menjadi “Lumbung Pangan Dunia” di tahun 2045. Seluruh rakyat Indonesia harus saling bahu membahu untuk terus meningkatkan kontribusi di sektor pertanian agar cita-cita tersebut bukan menjadi impian semata.
Aceh sebagai salah satu provinsi yang potensial untuk pertanian dan perkebunan tentunya perlu menindaklanjuti turunan visi ini. Dengan luas lahan baku sawah 213.997 ha, luas komoditi hortikultura sekitar 168.394 ha, dan sekitar 1.076.666 ha luas areal perkebunan di Aceh sangat memungkinkan Aceh untuk tetap dan akan maju dari sektor pertanian. Hal ini terbukti salah satunya adalah Aceh termasuk peringkat delapan sebagai provinsi penghasil beras tertinggi di Indonesia pada 2019.
Capaian kinerja tahun 2019 terlihat dengan luas panen 310.012 ha, menghasilkan produksi 1.714.438 ton GKG atau setara beras 982.570 ton. Dengan jumlah penduduk sekitar 5.316.320 jiwa dengan rata-rata konsumsi 126,28 kg/kap/tahun, konsumsi beras Aceh sekitar 671.345 ton, sehingga terjadi surplus beras sebesar 311.225 ton (Distanbun Aceh, 2020). Kondisi tersebut telah menghantarkan Aceh mendapatkan pin emas dari Kementerian Pertanian atas prestasi ini. Untuk memperkuat kedaulatan dan ketahanan pangan seperti harapan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh tentunya kita harus bergerak cepat di tengah kondisi pandemi maupun pascapandemi, ditambah lagi dampak perubahan iklim yang sulit diprediksi, yang sewaktu-waktu bisa mengancam pangan di Aceh.
Kita harus lebih produktif, inovatif, kreatif, dan pantang menyerah. Bagaimana mengombinasikan program pusat dengan provinsi dan kabupaten kota sehingga kedaulatan dan ketahanan pangan dapat terwujud. Dari Buku Kostratani (2021), Mentan SYL sudah menyiapkan lima cara bertindak. Pertama, peningkatan kapasitas produksi melalui percepatan tanam, pengembangan kawasan pangan (food estate) dan perluasan areal tanam baru. Kedua, diversifikasi pangan lokal seperti ubi kayu, sorghum, dan pemanfaatan lahan pekarangan.
Ketiga, penguatan cadangan dan sistem logistik pangan, yaitu melalui penyediaan pangan daerah baik di provinsi maupun kabupaten/kota, serta akselerasi lumbung pangan desa. Keempat, pengembangan pertanian modern, caranya melalui pengembangan smart farming, pengembangan dan pemanfaatan screen house untuk meningkatkan produksi hortikultura di luar musim tanam (cabai, bawang merah dan komoditas bernilai tinggi), pengembangan food estate untuk peningkatan produksi pangan utama (padi dan jagung). Kemudian korporasi petani, petani diarahkan untuk masuk dalam model kelembagaan kerjasama ekonomi sekelompok petani dengan orientasi agribisnis melalui konsolidasi lahan menjadi hamparan, dengan tetap menjamin kepemilikan lahan masing-masing petani.
Kelima, gerakan tiga kali ekspor (Gratieks), bagaimana menggenjot produksi kebutuhan dalam negeri dan juga untuk ekspor. Pasar internasional menyukai produk-produk subtropis Indonesia mulai dari buah-buahan, produk setengah jadi hingga produk jadi dari sektor pertanian.
Lima cara bertindak ala Mentan YSL tentunya harus dikombinasikan dengan program Aceh Hebat khususnya "Aceh Meugo" dan "Melaot" serta "Aceh Troe". Kita tidak bisa hanya bersandar pada program yang ada di daerah tetapi juga harus memanfaatkan berbagai sumber lainnya dari pusat. Apalagi dari 2018 sampai tahun 2021 anggaran khususnya pada sektor pertanian dan perkebunan terus menurun. Tentunya ini menjadi tantangan tersendiri bagaimana sumber pembiayaan yang semakin berkurang, tetapi program petani bisa terus berlanjut dengan orientasi akhir adalah peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Kita juga berharap berbagai pelabuhan yang ada di Aceh bisa terus menggeliat sehingga ekspor bisa dilakukan langsung dari Aceh tanpa melalui provinsi tetangga. Komoditi ekspor yang sangat potensi seperti CPO (crude palm oli/minyak sawit mentah), kopi, minyak atsiri, rempah-rempah dan berbagai produk hortikultura adalah salah satu yang diminati oleh perdagangan internasional. Bila ekspor bisa dilakukan langsung dari pelabuhan di Aceh, tentunya akan mengurangi biaya transportasi, sehingga biaya tersebut tersebut bisa dinikmati oleh para petani.
Tentunya diperlukan kemampuan dan seni yang bisa mengajak seluruh stakeholder khususnya petani agar terus berupaya dengan kemampuan pembiayaan yang terbatas. Karena tantangan lain sejak lahirnya Permendagri 90/2019 telah membuat sebagian program penting tidak lagi menjadi kewenangan provinsi seperti membangun jalan produksi/usaha tani dan pengadaan alat mesin pertanian serta alat pengolahan. Tentu ini bisa sebagai faktor penghambat untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian Aceh.
Belum lagi setiap tahun kita selalu kekurangan pupuk subsidi karena memang alokasi yang diberikan pusat kepada Aceh umumnya masih pada kisaran 36% dari kebutuhan total. Untuk itu Aceh yang masih didominasi dari sisi produksi tetapi dari sisi nilai tambah dan daya saing dimiliki dan dimanfaatkan provinsi tetangga, Sumatera Utara salah satunya.
Banyak hasil komoditi kita dibawa ke Sumut kemudian diolah di sana lalu dijual kembali ke Aceh dengan harga yang sudah meningkat.
Sumbang saran kepada kita semua, bagaimana bisa menjadikan komoditi pangan strategis (padi, jagung, kedele, bawang, dan cabai merah) dan komoditi perkebunan strategis (kelapa sawit, kopi, karet, kakao, dan kelapa dalam) selain bisa meningkatkan produksi dan produktivitas, termasuk juga meningkatkan nilai tambah dan daya saing yang bisa memiliki nilai jual yang tinggi dan bisa dinikmati para petani kita.
Hal ini tentunya juga memerlukan dukungan politik dari para wakil rakyat sehingga bisa mengawal dan mendukung berbagai program peningkatan kesejahteraan petani sehingga bisa menurunkan angka kemiskinan dengan memberikan porsi anggaran yang memadai kepada dinas teknis sesuai tanggung jawab yang diamanahkan pada Rencana Pembangunan Aceh (RPA) 2022 - 2024. Sehingga petani tidak hanya sebagai pihak yang menyediakan pangan bagi masayarakat tetapi mereka benar-benar bisa menjadi pahlawan pangan yang juga pahlawan dari sisi pendapatan dan kesejahteraan, sehingga akan banyak anak petani nantinya bisa menikmati pendidikan yang layak, menikmati fasilitas kesehatan, dan lainnya.
Semoga landasan berpijak yang sudah disiapkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh bisa berjalan beriringan dan saling melengkapi untuk menuju Lumbung Pangan 2045. Semua harus dimulai dari sekarang apalagi bagi Aceh, mulai 2023 anggaran Otonomi Khusus akan berkurang menjadi 1 % dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan pada tahun 2028 sudah tidak ada lagi dana Otsus sesuai amanat Undang “ Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Waktu yang tersisa dalam pengelolaan dana Otsus ini harus benar “ benar diamnfaatakan sebaik mungkin untuk mewujudkan itu semua, Wallahualam.
Penulis: Azanuddin Kurnia, SP, MP (Ketua Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Wilayah Aceh dan Sekretaris Distanbun Aceh)