Ulama Aceh di Antara Bir Green Sands dan Tape
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bisma Yadhi Putra
Bisma Yadhi Putra, sejarawan. [Foto: dok. Pribadi]
DIALEKSIS.COM | Kolom - Ke mana pun ia pergi, Tarmidi semakin sering melihat orang-orang menenggak minuman Green Sands. Minuman beralkohol rendah itu diminum di tempat-tempat terbuka, tidak dengan sembunyi-sembunyi.
Fenomena minum Green Sands secara terang-terangan itu dilihat Tarmidi pada awal 1990-an, masa ketika amat banyak penduduk Aceh tengah menikmati fantasi gaya hidup modern yang dipicu oleh industrialisasi di sekeliling mereka. Waktu itu, pabrik-pabrik besar telah menyala sehingga uang berputar di mana-mana.
Masyarakat yang sedang banyak uang itu segera terdorong mencicipi serbaneka ciptaan yang mencirikan zaman. Pada saat bersamaan, sebetulnya mereka masih merasa harus menaati agamanya yang melarang mabuk-mabukan. Tetap ada ketakutan atas konsekuensi ukhrawi yang nanti bakal dijatuhkan atas mereka kalau melanggar larangan tersebut.
Di tengah kekangan agama dan hasrat menikmati minuman beralkohol penanda zaman, Green Sands hadir sebagai suatu “jalan keluar”. Produk berpredikat “minuman ringan beralkohol rendah” ini dipercaya orang-orang bukan bir (beralkohol tinggi) yang dilarang Islam. Kalaupun meminum Green Sands tetap berdosa, diasumsikan paling tidak dosanya lebih kecil daripada meneguk bir.
Sebagai orang yang menolak asumsi semacam itu, Tarmidi kemudian melaporkan kegelisahannya kepada Majelis Ulama Indonesia Provinsi Aceh (MUI Aceh) dalam surat bertanggal 20 November 1990. Keluhan yang ia utarakan, antara lain, berbunyi: “Sebagian masyarakat Aceh terlalu menganggap enteng dalam mengonsumsi minumam mengandung alkohol seperti Green Sands, yang diproduksi oleh PT Multi Bintang Indonesia. Padahal mereka tahu bahwa minuman itu mengandung alkohol satu persen”.
Komisi Hukum dan Fatwa MUI Aceh segera membawa pengaduan Tarmidi ke meja sidang. Dua minggu usai sidang pertama, fatwa pun keluar: minum Green Sands hukumnya haram. Salah satu yang membuat fatwa lahir dengan mulus lantaran di kemasan Green Sands sendiri sudah jelas-jelas tertulis bahwa minuman itu mengandung alkohol berkadar satu persen.
Majalah Tempo edisi 27 April 1991 memberitakan perkara itu dalam laporan berjudul “Siapa Mabuk karena Green Sands?”. Laporan tersebut memuat penjelasan-penjelasan yang disampaikan Profesor H. Ismuha, Ketua Komisi Hukum dan Fatwa MUI Aceh.
Profesor Ismuha menjelaskan, biarpun cuma satu persen, Green Sands sudah memenuhi syarat untuk dikatakan haram. MUI Aceh tidak memakai patokan “sedikit atau banyak” melainkan “ada atau tidak” alkohol dalam minuman yang difatwakan. Penetapan fatwa berpegang pada hadis: “Segala sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka yang sedikitnya adalah haram”.
Kritik terhadap MUI Aceh
PT. Multi Bintang Indonesia, produsen Green Sands tidak tampil untuk menunjukkan resistensinya terhadap fatwa itu. Kritik terhadap MUI Aceh justru datang dari beberapa individu melalui tulisan di majalah Tempo. Para pengkritik ini menampilkan dirinya sebagai orang yang tidak mewakili lembaga apa pun.
Yang pertama adalah Ir. H. Suryani Ismail dalam artikel pendek berjudul “Fatwa MUI Aceh: Perlu Dikaji Kembali” (Tempo, 15 Juni 1991). Suryani mengatakan: “Tidak sebuah pun hadis Nabi yang menunjuk alkohol sebagai minuman yang memabukkan. Apa yang dilarang oleh hadis bukanlah alkohol, melainkan khamar (minuman keras)”.
Suryani mengajukan contoh cuka. Dia bilang, cuka yang merupakan penyedap untuk bakso, soto, atau empek-empek adalah cairan “dari minuman keras” yang mengandung “alkohol dalam kadar rendah” setelah “proses oksidasi”.
“Bukan saya yang mengatakan demikian, karena saya bukan ahli kimia, bukan pula ahli farmasi. Tapi pendapat saya ini saya kutip 31 tahun yang lalu dari Ir. Muchlas Hamidy, M.Sc., staf pengajar (waktu itu) pada Fakultas Teknik Jurusan Teknologi Kimia Universitas Gadjah Mada. Dan Prof. H. Ismuha yang menjadi Ketua Komisi Fatwa MUI Aceh, yang memfatwakan haramnya Green Sands. Mereka berdua pernah tinggal dalam satu asrama di Yogyakarta,” tulis Suryani.
Berbekal pemahaman itu, Suryani kemudian bertanya-tanya mungkinkah MUI Aceh akan mengharamkan cuka pula? Kalau cuka pun haram, menurut Suryani harus menyusul pula pengharaman terhadap tape, brem, dan makanan-makanan beralkohol yang berasa sengak lainnya.
Agar tidak muncul kecurigaan bahwa dia merupakan orang sewaan PT. MBI untuk membela Green Sands, Suryani menyatakan: “Saya tidak minum Green Sands, namun merasa perlu untuk mengusulkan agar MUI Aceh merevisi fatwanya berdasarkan sifat yang memabukkan dari suatu minuman, bukan berdasarkan kandungan alkohol”.
Suryani percaya Green Sands tak mungkin memabukkan setiap peminum karena “teler-tidaknya seseorang tergantung ketahanan orang tersebut dalam meminumnya”. Sekiranya seseorang tidak mabuk usai menyantap Green Sand, Suryani menyarankan agar MUI Aceh menganggap minuman tersebut halal. “Seseorang mungkin belum mabuk walaupun sudah menenggak satu liter minuman yang beralkohol, tapi orang lain mungkin sudah teler walaupun satu satu sendok makan,” Suryani berasumsi.
Pengkritik lain, Nadirsyah, mengajukan argumen yang agak mirip. Menurutnya, kalau MUI Aceh tetap mengharamkan Green Sands karena mengandung alkohol, semestinya keputusan tersebut harus konsisten. MUI Aceh juga harus mengharamkan obat-obatan yang mengandung alkohol. Konsekuensinya, kata Nardirsyah, dalam keadaan darurat pun obat-obatan tersebut haram diminum “mengingat masih banyak obat tradisional dan teknik akupunktur yang aman dari kandungan alkohol” (“Fatwa Green Sands: Perlu Konsistensi dan Konsekuensi”, Tempo, 11 Mei 1991).
Di tengah polemik fatwa MUI Aceh itu, tiba-tiba muncullah kontroversi baru. Fuad Rasyid, mahasiswa Indonesia di Departemen Ilmu dan Teknologi Makanan Ohio State University, suatu ketika meminta kawannya di Jakarta mengirim sebungkus tape singkong dan tape ketan untuk diteliti. Kedua tape itu lalu dibawa ke laboratorium dan dianalisis sebanyak dua kali.
Pada minggu pertama, kadar alkohol dalam tape singkong lebih dari 13 persen dan hampir 15 persen alkohol terdeteksi terkandung dalam tape ketan. Pada minggu kedua, tape singkong mengandung alkohol lebih tinggi, hampir 15 persen. Sementara tape ketan kandungan alkoholnya sudah melampaui 17 persen. Semakin lama disimpan, kadar alkohol dalam tape yang muncul secara natural semakin tinggi. Kandungan alkohol dalam tape-tape tersebut bahkan cukup tinggi bila dibandingkan dengan alkohol dalam bir di Amerika yang tak sampai 4 persen.
Berbekal temuan itu, Fuad Rasyid dengan percaya diri menyebut status tape sama dengan minuman keras. Dia juga membuat orang lain yang terlebih dahulu melakukan penelitian serupa bertambah yakin akan keharaman tape.
Orang itu adalah Dr. Zulkifli Yunus, peneliti Balai Laboratorium Kesehatan Aceh. Dokter sekaligus penceramah ini hanya menemukan alkohol sebanyak 3 persen dalam tape ketan hitam yang ditelitinya. Dr. Zulkifli pun mulai berpikir bahwa tape haram dimakan. Dan setelah mendengar hasil penelitian Fuad Rasyid, ia jadi yakin untuk menyimpulkan bahwa tape memang haram.
“Tape jadi penganan justru pada hari ketiga, ketika kadar alkoholnya lebih tinggi daripada alkohol Green Sands. Apalagi kalau penelitian Fuad Rasyid itu benar, maka kadar alkoholnya pada hari itu sudah jauh di atas kadar alkohol dalam bir,” kata Dr. Zulkifli.
Sanggahan terhadap pengharaman tape datang dari Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Azhar Basyir. Dia menjelaskan, haram-tidaknya setiap makanan dan minuman yang mengandung alkohol tergantung dari statusnya. Tape bukan makanan yang dipakai orang untuk mabuk-mabukan. Tidak ada orang mabuk karena memakan tape meskipun kandungan alkoholnya jauh lebih tinggi daripada bir. Dengan demikian, tape tidak bisa disebut makanan haram (“Siapa Mabuk karena Tape?” Tempo, 14 Desember 1991).
Akhirnya, Ali Hasjmy hadir dengan argumentasi lain untuk mematahkan pendapat tape dan Green Sands sama-sama harus diharamkan karena mengandung alkohol. Ali Hasjmy menilai, makanan dan minuman jadi haram disantap kalau alkohol yang terkandung adalah alkohol yang “sengaja dicampurkan ke dalamnya. Alkohol yang sengaja dimasukkan ke dalam air, ubi atau beras akan membuat semua itu jadi haram. Berbeda halnya dengan alkohol dalam tape yang muncul secara alami.
Tape tak bisa diharamkan lantaran alkohol yang terkandung di dalamnya muncul dari tape itu sendiri, bukan dari campuran yang dilakukan manusia seperti pada minuman Green Sands. [**]
Penulis: Bisma Yadhi Putra (Sejarawan)