Beranda / Kolom / Resensi Buku: Misi "Membunuh Tuhan" Fuad Mardhatillah

Resensi Buku: Misi "Membunuh Tuhan" Fuad Mardhatillah

Jum`at, 23 Agustus 2024 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Risman Rachman
Risman Rachman bersama Fuad Mardhatillah. [Foto: dialeksis.com]

DIALEKSIS.COM | Kolom - “Tuhan sudah mati. Kita sudah membunuh Tuhan.” Pemakluman dari filsuf Jerman Friedrich Nietzsche ini sampai ke telinga filsuf Aceh, Fuad Mardhatillah

Keduanya jelas tidak sezaman. Nietzsche memaklumkan “kematian tuhan” dalam karyanya “Die fröhliche Wissenschaft” (1882) lalu dikuatkan dalam Also sprach Zarathustra. 

Tentu saja pemaknaan sosok yang akrab disapa Bang Fuad berbeda spiritnya dengan Nietzsche. Bagi filsuf Jerman kematian tuhan sebagai pertanda telah datang Abad Pencerahan yang menafikan Tuhan. 

Sedangkan bagi filsuf Aceh “kematian tuhan” sebagai pertanda munculnya abad kehidupan yang gila karena orang-orang yang seharusnya menjalankan misi Tuhan malah melakukan kudeta kepada Tuhan. 

Selanjutnya, manusia itu sendiri yang menjadi Tuhan dengan segenap wajahnya. Dari mulai wajah penuh kasih tapi untuk menipu hingga wajah penuh kuasa untuk mengendalikan dan menindas manusia lainnya. 

Jadilah hidup terbagi dalam kasta yang oleh Nietzsche juga disebut yaitu kasta penindas sebagai Tuhan dan kasta kaum tertindas sebagai hamba. Dan, paska manusia memproklamasikan kematian Tuhan, mereka merayakannya dengan penuh kegilaan hingga manusia tidak sadar lagi sudah begitu gilanya. 

“Di sini, para manusia di segala penjuru dinia dan di semua lini kesadarannya, secara fenomenal menunjukkan suasana yang tampak makin kesurupan dalam rasukan birahi kekuasaan.” 

Begitu salah satu petikan dari pembacaan Bang Fuad yang masih sangat kontekstual meski ditulis Mei 2004. Saat itu, Aceh sedang dalam kepungan konflik dan beberapa bulan kemudian Aceh diguncang gempa yang diikuti tsunami dahsyat Desember 2004. 

Konflik jelas sebuah bala kemanusiaan yang harusnya tidak dilakukan oleh manusia yang bertuhan Allah SWT. Meski di dalam sejarah manusia tidak bisa lepas dari konflik dan perang tapi Allah menyeru kepada manusia untuk condong kepada perdamaian. 

Namun, sekalipun Indonesia sudah menumbangkan Tuhan Orde Baru, dalam laku politiknya tetap betindak sebagai Tuhan yang boleh menghukum. Maka ide Aceh untuk merdeka dilawan dengan kekuatan penghancur laksana Allah mengutus malaikat penghukum. 

Padahal, Nabi sudah memberi contoh nyata untuk sedapat mungkin menghindari pendekatan kekerasan dan memilih menolak tawaran malaikat yang punya kemampuan menghukum. Jika pun harus berperang itu semata-mata sebagai mekanisme pertahanan agar terhindar dari tindakan kejahatan yang lebih parah. 

Bahkan, Nabi lebih memilih jalur berunding meski dibaca oleh para sahabatnya sebagai kelemahan dari isi isi perjanjian. Tapi, segenap aklak baik Nabi dari Allah ini justru diabaikan oleh Tuhan-Tuhan manusia. 

Tuhan-Tuhan manusia hanya maha kasih kepada pemujanya, yang mencium tangannya, yang berharap padanya dan bergantung hidup kepadanya. Sedangkan kepada yang mengganggu kekuasaannya dan merusak nama baiknya apalagi sampai mengganggu wibawanya akan didera dengan kesusahan hidup dan dihukum pedih. 

Dan gilanya kasih sayang pamrih dan pengkuman itu dilakukan dengan meminjam peralatan Allah. Mereka meneriakkan Allah marah dan menghukum orang yang disebut membuat Allah murka tapi semua itu dilakukan untuk menutupi kegagalan mereka dalam mewujudkan masyarakat yang berdaya. 

Begitulah Bang Fuad menelanjangi kehidupan saat ini dalam tulisan berjudul “Merayakan Kegilaan, Memproklamasikan Kematian Tuhan: Sebuah Teropong Eskatologis. 

Tulisan itu hanya salah satu dari 9 tulisan dalam Bab 2 yang diberi judul: Jalan Memahami Masa Depan. Dan kesembilan tulisan di Bab 2 benar-benar usaha Bang Fuad membuka topeng-topeng yang oleh umum atau cendikia non kritis sebagai hal biasa padahal cukup mematikan kemanusiaan manusia sebagai hamba pembebas. 

Buku yang diterbitkan oleh Bandar Publishing tahun 2024 ini adalah kumpulan pemikiran Bang Fuad dari 1999 hingga 2006. Dengan begitu bisa dibilang buku ini respon atas keadaan pada masanya. Namun, karena ditulis dari sudut pandang filsafat dengan dibantu peralatan berpikir sosiologis, budaya, politik, dan agama maka ke 35 judul tulisan yang dibagi dalam 5 bab jadi sangat relevan dengan kondisi saat ini. 

Hal itu dikarenakan kehidupan tidak berubah secara revolusioner. Pergantian pemimpin dan pemerintahan memang terjadi. Gagasan bernas memang ditawarkan oleh masing-masing pemimpin. Namun dalam prakteknya hanya pergantian posisi “Tuhan” semata yang masih rajin menggunakan “peralatan” langit untuk memenuhi hasrat berkuasa manusia yang berujung penjajahan ke penjajahan. 

Dan, sampai saat ini orang-orang dengan senang hati masih merayakan kegilaannya hingga makin menegaskan hilangnya dimensi transenden atau dimensi ilahiyah dari perjalanan sejarah umat manusia. 

“Akhirnya, semuanya terpulang kepada kita, sadar atau tidak, bahwa setiap individu memiliki kewajiban sosial untuk menata kembali kebudayaan yang lebij memberi jaminan bagi tumbuhnya keadilan dan kesejahteraan bersama.”

Penutup itu, terasa sebuah proklamsi Bang Fuad untuk menjalankan misi “membunuh Tuhan” yang kini masih terus diperankan oleh manusia. Tanpa mengembalikan hidup kepada Allah yang sejati, maka Tuhan Maha Asyik tidak akan pernah hadir karena Tuhan Maha Murka akan terus dihadirkan oleh manusia yang memakai surban Tuhan. [**]

Penulis: Risman Rachman

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI