Pengkhianatan
Font: Ukuran: - +
Yudi Latif Cendekiawan dan Penulis Buku
DIALEKSIS.COM | Kolom - Mencermati pesan penting yang pernah disampaikan oleh Mohandas K. Gandhi tentang apa yang ia sebut sebagai "tujuh dosa sosial." Pesan ini, seolah menjadi pandangan klasik yang mendefinisikan realitas kehidupan kita saat ini.
Gandhi merinci tujuh dosa sosial tersebut sebagai berikut: politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa humanitas, dan peribadatan tanpa pengorbanan. Sangatlah mencolok bagaimana tujuh dosa sosial ini telah mengakar dalam berbagai aspek masyarakat kita, menjadi semacam warna dasar dalam kanvas kehidupan kita.
Politik yang sering kali terdistorsi oleh taktik tanpa prinsip, kekayaan yang sering terkait dengan kurangnya kerja keras yang seimbang, dunia bisnis yang terkadang kehilangan moralitas dalam mengejar keuntungan, hiburan yang terlalu sering mengesampingkan pertimbangan moral, pendidikan yang sering hanya fokus pada aspek akademik tanpa membangun karakter, kemajuan ilmu pengetahuan yang terkadang terlepas dari sisi kemanusiaan, dan praktik agama yang terkadang kehilangan substansi dalam pengorbanan adalah tantangan nyata di dunia modern.
Pesan Gandhi adalah pengingat yang kuat bahwa kita harus selalu menilai dan meningkatkan nilai-nilai etika, moralitas, dan kemanusiaan dalam segala aspek kehidupan kita. Pesan klasik ini adalah pedoman yang membantu kita membangun masyarakat yang lebih baik, didasarkan pada prinsip-prinsip yang teguh dan perdamaian yang sejati.
Kehidupan kota (polis) yang mestinya menjadi basis keberadaban (madani) terjerumus ke dlm apa yg disebut Machiavelli sbg “kota korup” (citta corrottisima), atau yg disebut Al-Farabi sbg “kota jahiliyah” (almudun al-jahiliyyah).
Di republik korup dan jahil, persahabatan madani sejati hancur. Elit negeri berlomba mengkhianati teman dan negaranya; rasa saling percaya lenyap krn sumpah dan keimanan disalahgunakan. Hukum dan institusi lumpuh tak mampu meredam perluasan korupsi.
Ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela. Akhirnya timbul kematian dan pengasingan: kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan.
Kehidupan publik kita merefleksikan nilai moralitas kita, demikian pula sebaliknya. Sebegitu jauh, kehidupan publik-politik selama ini lebih merefleksikan nilai buruk, dan kurang mengaktualisasikan nilai luhur masyarakat.
Praktik politik-kenegaraan di negeri ini telah direduksi sekadar menjadi perjuangan kuasa (demi kuasa) ketimbang sbg proses pencapaian kebajikan bersama. Politik dan etika terpisah spt terpisahnya air dgn minyak. Akibatnya kebajikan dasar kehidupan bangsa spt keadaban, responsibilitas, keadilan dan integritas runtuh.
Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan bahwa utk memulihkannya kita memerlukan lebih dari sekadar politics as usual. Kita memerlukan visi politik baru dgn tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera yg taat asas dgn prinsip moral publik.
Visi tersebut harus berangkat dari keinsyafan bahwa kehilangan terbesar bangsa Indonesia bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah atau popularitas tokoh, melainkan kehilangan harga diri karena diabaikannya semangat moral kehidupan bernegara. Suatu usaha “national healing” harus dilakukan dgn menjangkarkan kembali kepentingan pada nilai. (Belajar Merunduk, YL)
Penulis: Yudi Latif (Cendekiawan dan Penulis Buku)