Beranda / Kolom / Munir

Munir

Selasa, 22 September 2020 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak 

Sekitar 2 hari sebelum Munir berangkat ke Belanda, kami foto bersama di halaman kantor Imparsial. Karena keesokannya, saya berangkat ke Vietnam untuk menghadiri ASEM5 PEOPLE's FORUM, pada 6-10 September 2004, di Hanoi, Vietnam.

Rupanya takdir Ilahi, kenangan itulah saat-saat terakhir saya bersama Munir, yang dimulai sejak kampanye pelanggaran HAM di Aceh dalam masa konflik hingga diajak mendirikan IMPARSIAL.

Saya juga tidak tahu dengan pasti kapan mulai berhubungan dengan Munir. Mungkin saat Munir di LBHI mengirim Munarman dari LBHI Palembang untuk membenahi manajemen LBHI Banda Aceh.

Kemudian berlanjut, saat Munir memimpin Kontras. Munir memberikan mandat pada Iqbal Farabi untuk merintis mendirikan Kontras Aceh. Sejak itu pula, setelah sama-sama sejumlah perkawanan mendirikan KIPP (Komisi Independen Pemantau Pemilu) Aceh pada 1996, untuk pemilihan umum 1997. Saya kembali bekerjasama dengan Iqbal Farabi cs.

Suatu kala, paska boikot Pemilu, kami diundang kenduri Maulid oleh Adnan Prang di Alue Bungkoh, Aceh Utara. Saya datang bersama Iqbal Farabi cs sebagai pengurus KIPP dan Kontras Aceh. Kami menginap di rumah Adnan Prang (yang kemudian dibakar, lalu atas bantuan kawan-kawan asing yang bekerja untuk kemanusiaan di Aceh, maka Adnan bersama keluarganya mengungsi ke AS dan kini menjadi warganegara di negeri Paman Sam).

Adnan, rupanya telah bekerja untuk Aceh Merdeka (AM-1976, yang sekarang cenderung dibedakan dengan GAM-1998). Dia membantu gerak-gerik orang tuanya di kawasan Timur Aceh. Ia baru bercerita pada saya, saat ia sudah berada di AS.

Adnan Prang tampak gelisah malam itu. Voltase listrik turun drastis setelah terjadi penyerangan atas Polsek oleh anggota GAM, yang menewaskan anggota Brimob dari Timur. Akibatnya, radio panggil (handy talky) tak bisa bekerja karena serdadu menembaki gardu listrik. Adnan sibuk meraba-raba goni padi, rupanya disitulah ia menyimpan senjata.

Keesokan paginya, kami mendapat kabar bahwa sejumlah truk reo serdadu masuk ke desa. Gara-gara radio tak berfungsi, maka informasi terlambat sampai. Biasanya, informasi demikian juga datang dari anak-anak yang bermain bola (laki-laki) dan bermain lompat karet (perempuan) di mulut desa.

Tentu kami pada gugup sejak malam. Apalagi pagi-pagi mendapat kabar bahwa di kampung tetangga serdadu mulai membariskan para lelaki dan mencoba mengidentifikasi pengikut GAM. Sudah kelajiman, para pemuda itu menjadi sasaran kekerasan.

Kami segera bersiap untuk meninggalkan kampung itu. Kami semakin gugup, karena Adnan agak menahan kami, dengan alasan ada orang yang ingin sekali bertemu dengan kami. Setelah itu, kami keluar desa.

Tiba di mulut jalan menuju Polsek, dari sebuah mobil muncul Umar HN wartawan TV. Rupanya, ia sedang menunggu, tepatnya mencari kawan untuk meliput Polsek yang dibakar.

Lalu, Iqbal bertanya: kita masuk, bang? (Suasana di mobil sudah tegang karena dicengkeram rasa takut). Saya jawab: masuk!

Tak lama mobil bergerak, terlihat serdadu loreng yang kekar-kekar dengan senjata laras panjang menuju ke arah kami. Mobil distop. Terjadi dialog berikut:

+ Serdadu bertanya: dari mana kalian?!

- Kami serentak menjawab: Kontras!

+ Kontras Munir atau Kontras tabloid?!

- Kontras koran!

Kami semua lega karena boleh melanjutkan perjalanan, sehingga kami bisa melihat polsek dan terus menuju jalan besar Banda Aceh-Medan.

Kami mampir ke warung kopi, istirahat sejenak, melepaskan ketegangan bersama setelah dicekam rasa takut berjam-jam. Ketakutan kolektif sirna, dan kami melanjutkan perjalanan pulang.

Peristiwa itu, agaknya cukup untuk menjelaskan siapa Munir dalam konteks konflik Aceh. Tentu, sangat luas dan dalam keterlibatan Munir untuk Aceh. Apalagi, sebagai strategi advokasi, saya membutuhkan orang non-Aceh yang dengan sukarela mengadvokasi kondisi kemanusiaan di Aceh.

Mungkin, dari sisi Munir juga membutuhkan informasi yang valid. Akhirnya, antara saya dan Munir terbangun trust yang kuat.

Bayangkan, sebagaimana ditulis oleh Iqbal Farabi, Munir juga merintis upaya damai hingga Munir membangun silaturrahmi dengan Tgk Abdullah Syafii. Munir, sungguh manusia yang mengerahkan semua talentanya untuk Aceh.

Pada 7 September 2004 sore, usai saya presentasi tentang kondisi Aceh pada salah satu sesi ASEM5 PEOPLE's FORUM, ketika istirahat, kawan Hilmar Farid (sekarang Dirjen Kebudayaan) mendekati saya. Dia menyampaikan kabar bahwa Munir telah meninggal dunia dalam penerbangan menuju Belanda. Al-Fatihah untuk Munir!*

Penulis: pengajar di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda