Konstruksi Sosial Kita
Font: Ukuran: - +
Warga melakukan evakuasi paksa pengungsi etnis Rohingya dari kapal di pesisir pantai Lancok, Kecamatan Syantalira Bayu, Aceh Utara, Aceh, Kamis (25/6/2020). (Foto: Antara)
Dulu kita pernah berada dalam situasi konflik vertikal, ya. Sekarang kita berada dalam situasi damai, ya. Kita ber-Indonesia, ya. Kita ber-Aceh, ya. Kita sama!
Dalam bersosiologi, ada satu hal yang penting, yang dapat menjelaskan siapa kita, yakni: apakah status dan peran kita di dalam setiap konteks tersebut tetap sama atau sudah berbeda? Apakah status dan peran di masa kini merupakan kelanjutan dari yang dahulu, atau pun sudah berbeda? Jawaban atas pertanyaan tersebutlah yang mungkin kita menjadi sama atau berbeda. Bahkan mungkin sama atau berbeda bisa terjadi di dalam individu itu sendiri. Mengapa? Karena status dan peran seseorang bisa berkelanjutan maupun tidak di dalam dimensi struktural maupun kultural.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal katagori sosial orang kaya lama dan orang kaya baru. Hal ini menjelaskan kesamaan dan perbedaan sosial dalam kurun waktu antar generasi yang panjang. Hal ini terfaktualkan dalam tindakan-tindakan ketika berinteraksi social sehingga orang bisa mendefinisikan kita masih sama atau sudah berbeda. Tapi bukan hal itu yang hendak saya kisahkan.
Saya ingin merefleksikan kondisi sosial yang faktual di mana kita berada bersama. Yakni, manakala kita tiba-tiba berhadapan dengan peristiwa manusia perahu Rohingya sebulan yang lalu. Kita yang berbeda segera terdefinisikan ketika peristiwa itu ada secara tiba-tiba dihadapan. Dan, kapan kita yang sama terbentuk kembali.
Saya ingin merefleksikan kondisi sosial yang factual di mana kita berada bersama. Yakni, manakala kita tiba-tiba berhadapan dengan peristiwa manusia perahu Rohingya sebulan yang lalu. Kita yang berbeda segera terdefinisikan ketika peristiwa itu ada secara tiba-tiba dihadapan. Dan, kapan kita yang sama terbentuk kembali.
Bagi nelayan (Aceh) ketika melihat kapal lain akan tenggelam, secara refleks memberika bantuan penyelamatan. Mungkin ini adalah bagian dari pemenuhan etika nelayan. Kapal nelayan yang sarat manusia itu (94 jiwa) segera ditarik ke daratan di kawasan Pantai Lancuk, Aceh Utara. Dimensi etika memantik tindakan nelayan untuk segera melakukan penyelamatan.
Bagi warga, yang di masa konflik pernah tinggal di kamp-kamp pengungsian. Lalu, aktivis yang memiliki pengalaman mengurus korban konflik dan pengungsian di masa itu. Mereka saling mendukung untuk segera bertindak memfasilitasi pendaratan manusi perahu.
Lain halnya dengan aparat. Mereka cenderung bertindak untuk menarik kembali perahu yang penuh dengan manusia yang menderita itu, ke laut lepas. Bisa juga mereka berseru: hati-hati dengan Covid! Mereka bertindak atas dasar pertimbangan keamanan. Sama halnya, ketika berada dalam periode konflik, tupoksi mereka adalah keamanan, bukan kemanusiaan, maka semua refleknya berkenaan dengan keamanan.
Berbeda lagi dengan penguasa. Mereka lebih mendahulukan koordinasi dengan institusi terkait, khususnya masalah perizinan untuk mendarat bagi pengungsi Rohingya. Bupati Aceh Utara Muhammad Thaib mengatakan: "Kita sangat mengapresiasi atas penanganan cepat oleh pihak UNHCR, IOM dan juga kerja sama pihak TNI/Polri, juga pihak Imigrasi, saat evakuasi dan pendataan pengungsi Rohingya."
Mereka sudah terikat dengan “sangkar besi” birokrasi kalau meminjam istilah Weber. Status mereka sudah berbeda antara di masa konflik dan damai. Di masa konflik, tindakan mereka dipicu oleh kepentingan perjuangan politik, sekarang mereka bertindak dalam rambu-rambu sebuah rezim politik. Kalau dahulu mereka butuh dukungan untuk perjuangan politiknya, sekarang mereka butuh pengamanan untuk status politiknya yang baru di masa damai.
Memang kita tidak bisa memaksakan kesamaan maupun perbedaan. Kita dikonstruksi oleh berbagai periode politik yang memaksakan status dan peran tertentu; di lain waktu kita diberi kesempatan untuk memilih status dan peran lainnya. Pengalaman-pengalaman itu tersimpan di dalam benak kita, bahkan sangat mempengaruhi kapasitas dan integritas seseorang.
Jika demikian proses konstruksi sosial kita, maka adakalanya kita bersama, dan adakalanya berbeda. Namun, bercermin pada adanya manusia perahu Rohingya bahwa pada awalnya kita berbeda dalam bertindak, namun karena kuatnya arus kemanusiaan yang diorientasikan oleh nelayan, aktivis dan masyarakat, akhirnya aparat negara harus menyesuaikan tindakannya bersama masyarakat.
Oleh karena itu, manakala kita menghadapi fakta social yang tetiba berada dihadapan, maka reflek-reflek tindakan kita mencerminkan apa yang kita akumulasi di masa dahulu hingga saat ini. Itulah kita! Masalahnya apakah kita mengelola itu dengan manajemen konflik atau koordinatif.
Penulis
Otto Syamsuddin Ishak, Sosiolog Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh