Km50 dan Cebongan
Font: Ukuran: - +
Oleh: Otto Syamsuddin Ishak
Anda masih ingat dengan serangan sejumlah anggota Kopasus ke penjara Cebongan, Sleman pada paruh 2013? Hanya berlangsung selama 15 menit. Hal itu merupakan kelanjutan dari peristiwa pembunuhan terhadap anggota Komando Pasukan Khusus, Sersan Satu Santoso.
Suatu hari, pada jam istirahat makan siang, saya berjalan bersama Mayjen Herindra (sekarang menjabat sebagai Wamenhan) dari ruang kuliah Lemhanas - karena kami sama-sama peserta PPSA-XX, menuju ruang makan yang berbeda gedungnya.
Sayapun membuka pembicaraan dengan pertanyaan, apakah mungkin Om peristiwa pembakaran rumah ibadah non-Islam di Singkel melibatkan anggota Kopasus?
Jawabnya: Nggak mungkinlah! Kami tidak ada gelar operasi di sana. Aceh sudah damai. Kalau tidak percaya, mari kita berangkat ke sana!
Saya pikir pembicaraan sudah selesai. Tapi rupanya, Herindra justru balik bertanya: Bagaimana itu kejadian di Cebongan, masak Komnasham mengatakan peristiwa itu pelanggaran HAM berat? Peristiwa itu, kan bukan terjadi dalam sebuah operasi militer. Peristiwa itu terjadi karena spirit korp saja.
Kebetulan, saat itu saya hanya komisioner Komnasham 2012-2017. Saya sedang ikut pendidikan di Lemhanas, sehingga banyak jenderal sebagai teman belajar Bersama. Baik dari militer, kepolisian dan para pejabat eselon I, serta kawan-kawan dari partai politik dan ormas. Saya tidak ikut sebagai tim investigasi. Tapi, dengan enteng saya menjawab: itu sebuah kebodohan, Om!
Memang, Ketua Komnasham pada saat itu, juga merangkap sebagai ketua Tim Pemantauan. Mereka menyimpulkan bahwa peristiwa itu adalah pelanggaran HAM dengan indikasi, antara lain: menghilangkan hak hidup 4 tahanan; perlakuan yang kejam; di luar proses hukum; pelanggaran atas hak rasa aman; pelanggaran hak milik karena mengambil CCTV.
Nampaknya, Ketua Komnasham tidak mengacu pada Undang-undang 26/2000, khususnya Pasal 9 tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, yang mana “serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
Memang, aktivis HAM pun sudah menggeser tuntutannya dari pelanggaran HAM berat ke tuntutan gelar perkara di pengadilan umum, bukan pengadilan militer. Mungkin, minimal pengadilan koneksitas kalau ada korban sipil.
Semua pembicaraan itu, kembali menginspirasi saya untuk memantau (via media) perisiwa yang terjadi di Km50, yang mengakibatkan 6 orang warga sipil meninggal. Apakah peristiwa ini sebangun dengan peristiwa di Cebongan? Yakni ada unsur pelanggaran HAM (berat)?
Kalau kita kembali ke Pasal 9 Undang-undang 26/2000, maka ada beberapa unsur yang terpenuhi untuk termasuk dalam katagori kejahatan terhadap kemanusia, antara lain: pembunuhan, penyiksaan dan penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu (dalam hal ini FPI yang berdasarkan kesamaan agama).
Hal yang penting, peristiwa itu terjadi di dalam sebuah operasi aparat negara yang bersenjata. Karena itu, bila mengacu pada Pasal 42 Undang-undang 26/2000, maka komandan atau seorang atasan bertanggungjawab secara pidana.
Oleh karena itu, penanganan kasus ini oleh Komnasham, sudah tepat. Adapun tahapan kerjanya melalui Undang-undang 39/1999 untuk membentuk tim pemantauan. Kemudian, tim melanjutkan bekerja atas dasar amanat Undang-undang 26/2000 untuk melakukan penyelidikan proyustisia.
Masalahnya, pihak kepolisian juga melakukan proses penyelidikan. Pertanyaannya, atas dasar payung hukum yang mana pihak kepolisian mendapat tupoksi untuk melakukan penyelidikan?
Apakah penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian tidak akan terjadi konflik kepentingan karena pelaku yang diduga melakukan pelanggaran berupa tidak kejahatan terhadap kemanusiaan, atau pun justru didorong oleh mens rea?
Alangkah baiknya, merujuk pada konstitusi UUD NRI 1945, bahwa republik ini adalah negara hukum, maka setiap aparat negara, baik sipil maupun militer dan kepolisian, dalam melaksanakan tugas berpayungkan pada undang-undang tertentu. Demikian pula, hendaknya dalam bertindak menghormati hukum yang melimpahkan tupoksi pada lembaga Negara lainnya, yakni Komnasham RI.*
• Penulis adalah Ketua Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik (PRPRK), Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.