Ketika Ketokohan Seorang Tergilas Siraman
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bahtiar Gayo
Apakah rakyat Aceh, sudah tentu termasuk Gayo di dalamnya, tidak percaya kepada sosok pemimpin yang dijadikan panutan? Apakah karena kepentingan sesaat, sosok yang layak menjadi pemimpin, menjadi panutan, ketokohanya sudah teruji, justru karena “siraman” mereka diabaikan?
Pertanyaan itu muncul seiring dengan dinamika kehidupan yang kini mengitari sikap dan pola pikir sebagian rakyat Aceh. Apakah karena finansial, ketokohan seseorang dan rasa kekerabatan begitu gampangnya tergerus?
Tolak ukurnya sederhana, Pileg 2024 menjadi gambaranya. Tokoh yang seharusnya menjadi panutan dan menjadi wakil mereka untuk bersuara, namun karena kurang siraman “uang dan materi”, tokoh ini tidak dipercaya, tidak dipilih.
Ketokohan seseorang tergilas dengan siraman. Salah seorang putra terbaik Aceh yang kini duduk di DPD, Fahrurrazi, dengan terang terangan menyebutkan ketokohan di Aceh menjadi pertaruhan, publik dalam menentukan pilihanya bukan lagi melihat pigur seseorang.
Untuk duduk di DPR RI saja pada Pileg 2024 ini, DPD asal Aceh yang turun bertarung di Pileg DPR RI ini menyebutkan seseorang menghabiskan dana mencapai Rp 5 sampai 15 miliar. Caleg “menyiram” pemilih. Keterangan Caleg Gerindra ini bagaikan ingin mengungkapkan budaya Aceh yang tergerus.
Himbauan ulama, agar tidak bermain uang, yang menerima suap dan yang memberi suap sama-sama berdosa, melanggar kaidah agama, tidaklah membuat mayoritas penduduk yang islami ini “manut” dan mau mengamalkanya.
Budaya “paduem dijoek, peu dijoek “ berapa dikasih, apa dikasih”, masih menjadi pilihan sebagian besar masyarakat. Dampaknya mereka yang memiliki kemampuan, berintegritas, bisa dihandalkan untuk menata negeri, justru tidak dipilih. Uang, kekuatan dalam mengerakan masih menjadi penguasa.
Demikian dengan keterangan Ismarissiska, mantan Sekda Bener Meriah, ketika diminta dia untuk maju dalam pertarungan Pilkada di negeri lembah merapi ini. Siska menyatakan masih mikir mikir melihat fenomena yang berkembang di masyarakat saat ini.
Ketokohan seseorang, rasa kekerabatan tergilas oleh kepentingan sesaat, kata Siska. Artinya sehebat apapun ketokohan seseorang akan tergilas dengan siraman uang dan materi saat pesta demokrasi dilangsungkan.
Mereka yang punya modal, punya kekuatan untuk mengerakanya, akan berpeluang untuk menjadi pemimpin. Karena masyarakat memilihnya berdasarkan kekuatan materi, bukan lagi berdasarkan kempuan dan ketokohan seseorang.
Fenomena ini membuat posisi wilayah tengah Aceh dengan kopi terbaik dunia, saat ini dilanda dilema. Rasa memiliki dan untuk Gayo sudah sudah tergerus.Tidak ada tokoh Gayo yang bertengger di DPR RI dan DPD pada Pileg 2024 ini.
Kalau dilihat dari ketokohan, Gayo punya kesempatan untuk mendudukan wakilnya ke Senayan. Namun karena gempuran siraman, tokoh yang menjadi harapan Gayo kandas diperjalanan. Untuk DPD Gayo tidak punya wakil, demikian dengan DPR RI.
Dampaknya pada Pilkada 2024 yang akan berlangsung dalam tahun ini? Hingga saat ini mereka yang akan maju sebagai Calon Gubernur Aceh “sepertinya” tidak memperbincangkan lagi ketokohan seseorang dari negeri penghasil kopi.
Bila pada Pilkada sebelumnya tokoh Gayo dipinang untuk mendampingi kandidat sang gubernur, kini terlihat sepi. Ada kesan kini suara rakyat Gayo diukur dengan materi (walau tidak semuanya benar, masih banyak yang punya prinsip).
Tolak ukurnya sederhana. Bila pada Pileg 5 tahun lalu, dari sekian banyak Caleg, ada dua tokoh Gayo yang muncul bertarung di DPR RI, Nasaruddin dan Tagore, sehingga suara dari Gayo mayoritas terbagi untuk dua tokoh ini.
Namun pada Pileg 2024, ketokohan Nasaruddin masih berada di atas diantara sejumlah kandidat Caleg yang muncul dari Gayo. Namun faktanya, ketokohan seseorang dan rasa ingin mengantarkan putra Gayo ke Senayan, tergerus. Suara terpecah-pecah.
Kini dalam pertarungan Pilkada Aceh, akankah muncul tokoh dari Gayo yang akan meramaikan dunia perpolitikan Aceh? Jawabanya sampai saat sekarang ini belum muncul.
Berbeda dengan Aminullah Usman, yang gagal ke DPR RI dari Dapil II Aceh, namun namanya masih ramai dibicarakan sebagai kandidat pasangan gubernur, mewakil dari barat selatan.
Bila kekuatan uang menjadi ukuran seseorang untuk menjadi pemimpin, apakah ini yang terbaik untuk rakyat, sehingga mereka menentukan pilihanya? Kemampuan, ketokohan seseorang mulai tergilas karena siraman.
Bagaimana dengan Pilkada kali ini, baik untuk level Kabupaten/Kota dan untuk menentukan orang nomor satu dan dua di Aceh? Apakah ketokohan seseorang karena kemampuanya akan menjadi pertimbangan, atau “paduem dijeok” yang akan membuat masyarakat menentukan pilihanya?
**catatan Bahtiar Gayo, Pimred Dialeksis.com