Jalan buntu APBA Cermin Buruk Elite Politik
Font: Ukuran: - +
Reporter : ampuh devayan
Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2018 akhirnya menemui jalan buntu, setelah deadline 27 Februari untuk pengesahan tidak berhasil disepakati. Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) menempu "jalan tikus" mengusung Rancangan KUA-PPAS dan Rancangan Peraturan Gubernur Aceh tentang APBA tahun anggaran 2018 kepada Menteri Dalam Negeri, pada hari Jumat (2/3).
Ehem, apa yang diprediksi banyak pihak mengenai APBA tidak akan selesai karena silang pendapat antara eksikutif dan legislative Aceh, menjadi nyata. Dalam ilmu persilatan, masing-masing pihak (pemerintah Aceh) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) memiliki jurus pamungkas, sehingga perkelahian tidak akan berkesudahan.
Jalan buntu setelah beberapa kali diagendakan pertemuan untuk membahas anggaran tersebut gagal dilakukan. Berbagai alasan mengemuka, eksekutif dan legeslatif masing-masing memiliki argumentasinya sendiri. Keadaan tersebut menjadi cermin bagi rakyat, bahwa itulah potret obyektif para elite Aceh.
Potret hitam bahwa elite politik Aceh memang tidak serius mengurus negeri ini, bahkan menunjukkann sikap kenak-kanakan dalam menjalankan amanah rakyat. Ironi atas nasib rakyat Aceh yang telah menyematkan harapan kepada para pemimpinnya, menggaji mereka dari dari uang rakyat-- akan tetapi berkhianat atas rakyatnya. Bayangkan, bila untuk bertemu saja gagal, bagaimana mungkin bisa dibuat kesepakatan? Hal ini telah menjadi preseden buruk dalam perencanaan dan penganggaran Aceh selama dikuasai para elite baru Aceh.
Tidak ada cara lain untuk menyelesaikan "perkelahian" politik kanak-kanak Aceh karena tidak bisa diakhiri itu adalah menemui tuan guru Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Sebagaimana dijelaskan Juru Bicara (Jubir) Pemerintah Aceh, Wira Atmadinata, bahwa sebagai komitemen pemerintah Aceh dalam menyelesaikan RAPBA 2018, maka tim TAPA akan menghadap Mendagri. "Insya Allah, Jumat 02 Maret 2018, menghadap Mendagri, untuk membahas hal ini sekaligus meminta pengesahan," kata Wira mengutip keterangan Ketua TAPA Drs Dermawan MM,
Langkah itu, kata Jubir pemerintah Aceh itu sebagai konsekuensi dari tidak tercapainya kesepakatan tentang KUA-PPAS dan R-APBA 2018 antara Gubernur Aceh dan DPRA, setelah batas waktu perpanjangan pada tanggal 27 Februari. "Batas waktu 60 hari kerja yang diatur undang-undangan sudah berakhir. Jadi, mau tak mau Pemerintah harus mengikuti regulasi yang ada untuk segera membuat Pergub untuk APBA 2018".
Ada sebesar Rp 15,3 triliun lebih, pagu anggaran dalam rancangan KUA-PPAS dan Rancangan Pergub APBA 2018 yang akan diusulkan ke Mendagri. Jumlah ini di atas Pagu KUA-PPAS yang dibahas dengan DPRA selama ini, yakni sekitar Rp 14,7 triliun. Penambahan itu berasal dari peningkatan pendapatan dan Silpa tahun lalu. Itulah yang akan dibahas bersama Dirjend Bina Keuangan Daerah Kemedagri RI di Jakarta yang kemudian ditetapkan menjadi APBA Tahun 2018.
Nah, kita tunggu bagaimana keputusan dan titah "tuan guru" yang harus turun ke gelanggang kelakar politik Aceh. Sebab hanya itulah satu-satunya harapan. Karena anggota dewan sedang galau, sehingga proses pembahasan dan pengesahan APBA berpidah dari kantor Dewan ke kantor Kemendagri.
Itulah dunia persilatan elit politik kita, satu realitas perilaku berpolitik yang tidak berkarakter; politik alang-alang--tidak bodoh tapi juga tidak pernah pandai. Dampaknya, APBA menjadi elegi tahunan yang berketerusan di ranah politik Aceh.
Ketidaktercapainya kesepakatan antara elit Aceh (legislatif-eksekutif) itu semakin mempertegaskan bagaimana buruknya pengelolaan dana rakyat oleh elit Aceh. Itu menjadi prestasi mengagumkan. Mereka melakukan penkhianatan hanya untuk memenuhi hasrat dan kepentingan pribadinya. Tentu saja, dampaknya semakin memastikan ketidak-percayaan rakyat atas para pemimpinnya.
Betapa, mindset rakyat terhadap internal capasbility para elite pemerintahan sudah sangat buruk. Rakyat kemudian menjadi infeel karena ketidak-konsistenan elit yang egois, pragmatis, penuh friksi dan karakter buruk lain, sehingga banyak energi yang terkuras untuk itu. Sementara masyarakat sudah lelah sehingga apatis atas segala karut-marut yang dilakukan elit-nya. Atau boleh jadi kondisi masyarakat juga sedang sakit, dalam hal ini secara mental (meski tidak semuanya), karena ketika dibentangkan spanduk bertuliskan: "Ada uang ada suara, mereka terus saja menentukan pilihannya.
Menjadi aneh ketika cara dan gaya politik alang-alang terus dipertontonkan, elit kekuasaan hanya mementingkan diri sendiri, mengkhiati rakyat, tidak ada respon dari rakyat terutama kalangan rakyat berpendidikan dan melek politik. Menjadi aneh, karena masing-masing merasa sangat nyaman. Sehingga drama eligi APBA sudah menjadi tabiat setiap akhir tahunan. Setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan rakyat seperti labirin yang tidak ada buhulnya.
Tabiat berketerusan akibat dari akhlak politik atau etika politik para elit sekarang. Mereka menghalalkan segala cara untuk menegasikan lawan politiknya atau bila tidak ada sesuatu yang memberi keuntungan pribadinya. Menghalalkan segala cara melahirkan prilaku politisi yang minus etika dan akhlak itu semakin merapukan sendi-sendiri kehidupan sosial dan politik, masyarakat Aceh.
Sejatinya, para elite menyadari, pilar demokrasi harusnya menjadi pelopor dan berkoalisi sehingga benar-benar menjadi muara aspirasi rakyat. Bukan sebaliknya, terkuras habis untuk mengikuti syahwat elite politik. Wallahu’alam bisshawab!