Beranda / Kolom / I Joek Peng Le Mak

I Joek Peng Le Mak

Minggu, 25 Agustus 2024 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Risman Rachman

Penulis:  Risman Rachman (Pengamat politik dan pemerintahan)


DIALEKSIS.COM | Kolom - Ada hal menarik di berita Serambi Indonesia saat mengabarkan acara peusijuk Safrizal usai dilantik sebagai Pj Gubernur Aceh oleh Menteri Dalam Negeri, Muhammad Tito Karnavian, Kamis, di Gedung Kemendagri, Jakarta Pusat, Kamis, 22 Agustus 2024. 

Dalam berita berjudul “Tiba di Aceh, Pj Gubernur Dipeusijuek Ibunda” (25/8) Pj Gubernur Aceh ke tiga itu menyatakan “i joek peng le mak.” 

Pernyataan itu walau konteksnya bagian dari acara peusijuek yaitu teumeutuk namun mengandung pesan simbolis kepada ASN di lingkungan Pemerintah Aceh. 

Sayangnya, pernyataan itu disambut tawa para tamu yang hadir. Pesan simbolis itu saya maknai dengan peringatan antikorupsi. 

Gubernur yang berkampung halaman di Montasik, Aceh Besar itu hendak mengatakan kepada ASN Pemerintah Aceh khususnya dan berbagai pihak pada umumnya bahwa penugasannya ke Aceh bukan untuk mencari uang, apalagi mencuri uang. 

“Ie jok le mak!” bermakna pula soal penghidupannya sudah ada dalam jaminan doa seorang ibu. Dengan teumeutuk yang dilakukan oleh ibunya berarti kesejahteraan tidak dicapai dengan tindakan yang salah, apalagi harus melakukan korupsi. 

Pesan simbolis antikorupsi itu tentu sangat penting karena kunci menghapus kemiskinan di Aceh adalah meniadakan korupsi baik dalam proses pengendalian ASN Pemerintah Aceh maupun dalam proses kerja pembangunan Aceh, yang keduanya bertumpu pada APBA. 

Bagi publik, problem inilah yang dipercayai masih sebagai faktor utama penahan laju kemajuan Aceh. Masih tingginya angka kemiskinan dan penangguran serta tiadanya geliat ekonomi yang tumbuh dipercaya karena masih maraknya perilaku mita peng bak kerja mengelola pemerintahan dan kerja mengelola pembangunan. 

Dengan biaya tinggi yang dikeluarkan untuk aparatur serta pihak lain jelas membuat malasnya para investor menanam modalnya di Aceh. Kecuali bagi para pemburu sumber-sumber tambang yang sudah umum dipercayai masih menggunakan jalur kemudahan birokrat bila perlu jalur pemimpinnya. 

Kegiatan-kegiatan ekonomi kelas bawah - menengah sudah jelas menjadi lesu jika akhirnya harus berhadapan dengan pengurusan yang harus mengeluarkan uang pelicin/pelancar. Tanpa uang akan menjadi sulit untuk mendapatkan akses dukungan yang dibutuhkan dari Pemerintah Aceh. 

Di Aceh partisipasi publik disebut juga sudah terkontaminasi dengan uang. Tanpa dukungan uang maka tidak hadir informasi yang berimbang. Padahal informasi yang kredibel sangat dibutuhkan oleh segenap lapisan masyarakat sebagai dasar dalam menentukan hidup dan penghidupannya. 

Begitu pula dengan ragam aktivitas berbagai kelompok masyarakat. Tanpa dukungan anggaran tidak akan ada partisipasi yang sifatnya lebih dalam usaha kolaboratif membangun Aceh. Baru bergerak bila didukung anggaran dan tanpa anggaran yang terjadi justru meletupkan kelemahan. 

Itulah yang terjadi secara terus menerus sejak Aceh bergantung pada APBA yang didukung Dana Otsus sejak 2008. Dengan tekanan yang luar biasa kepada APBA apalagi dalam nuansa politik anggaran yang tidak sehat tentu sangat tidak mungkin berharap ada lompatan pembangunan yang spektakuler. 

Angka kemiskinan dan pengangguran memang bergerak menurun dari waktu ke waktu. Namun, karena tidak ada lompatan pembangunan yang membuka pintu harapan baru dari hasil dukung Dana Otsus maka diujung waktu usia Dana Otsus saat ini gerak Aceh kembali berada dalam kekuatiran yang menakutkan. 

Dalam bahasa kasar dan sarkas, APBA belum menjadi stimulan untuk menghidupkan sektor pertanian, perternakan, perikanan dan kelautan, perkebunan dan lainnya. Yang terjadi adalah orang ramai-ramai “bertani, berternak, berkebun di APBA.”

Dan, orang yang mendapat berkah dari APBA kerap disebut bukanlah masyarakat melainkan pihak-pihak yang memiliki jejaring atau akses ke pemimpin yang mereka perjuangkan melalui Pilkada saban lima tahun. 

Sementara masyarakat hanya mendapat sedikit dari hasil kegiatan “merampok” APBA. Baru masyarakat mendapat penuh dukungan bila itu datang dari para pelaku filantropi. Sementara dari mereka yang mengurus APBA selalu ada berita sunat menyunat bahkan hingga tipuan. 

Dengan waktu yang sangat terbatas tentu saja tidak mungkin Pj Gubernur Aceh yang baru akan mampu menata semuanya. Sebagai petugas yang dikirim dari Pusat, Safrizal akan lebih fokus pada PON dan Pilkada. 

Namun begitu, pesan simbolis antikorupsi itu sangat penting, minimal menjadi terapi untuk menahan laju kerusakan Aceh yang lebih besar.

Kami berharap ada menurun karakter Ali Hasyimi, Muzakir Walad dan juga Majid Ibrahim yang dikenal cerdas dan tegas dalam membawa Aceh bergerak maju. Selamat bertugas Lem Safrizal di Aceh. []

Penulis: Risman Rachman (Pengamat politik dan pemerintahan)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI