kip lhok
Beranda / Kolom / Cermin Otsus Untuk Papua

Cermin Otsus Untuk Papua

Jum`at, 21 Agustus 2020 19:40 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Mengapa akhir-akhir ini muncul gerakan sosial yang menolak Otonomi Khusus Papua? Sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001. Bukankah hal itu pemberian rezim Megawati yang terbaik untuk Papua?

Lalu, rezim Jokowi menaikkan besaran dana Otsus hingga sebesar Rp7,8 triliun pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021 (RAPBN 2021).

Sebaliknya, Pastor Yohanes Jonga, mengatakan: "Secara umum, masyarakat termasuk umat Katolik, menyuarakan setop sudah dengan Otsus. Terlalu banyak dampaknya yang buat masyarakat. Tambah susah seperti pembunuhan, pelanggaran HAM." (Tirto, Senin,27/7/2020).

Masih adakah yang kurang untuk diberikan pada Papua? Mengapa cermin Aceh dapat dipakai untuk Papua?

Jawabannya sederhana saja, bahwa rezim pernah menggunakan Otsus sebagai instrumen resolusi konflik untuk Aceh. Pertama kalinya, di Aceh diberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Namun, konflik bersenjata semakin intensif dan gerakan protes masyarakat sipil kian meluas. Otsus sebagai instrument resolusi konflik gagal.

Untuk kedua kalinya, pasca MoU Helsinki, rezim memberlakukan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Muncul-lah rezim lokal yang merupakan buah dari transformasi politik dimasa damai.

Sekarang, dalam 15 tahun terakhir ibarat sebuah pesta, maka ada gulai kari kambing Aceh. Bumbunya diracik oleh orang Aceh. Kambingnya juga lokal (dana Otsus dari sumberdaya alam Aceh). Mereka yang mengaduk silih berganti-mengikuti pilkada-diantara orang Aceh sendiri.

Nah, kalau masakan itu tidak enak sebagaimana yang diinginkan orang Aceh pada umumnya, atau pembagiannya tidak sesuai, maka Jakarta dapat katakan: “Kan semua sudah serba Aceh. Kan “aweuk” kalian pegang sendiri!”

Meski pun demikian, dapat diambil pelajaran bahwa Otsus yang diberikan antara sebelum dan sesudah MoU-bandingkan antara UU Nomor 44 Tahun 1999 dan UU Nomor 11 Tahun 2006-adalah sangat berbeda.

Sementara untuk Provinsi Papua dan Papua Barat diberlakukan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dengan tanpa melalui proses komitmen politik baru paska Pepera.

Michelle Ann Miller menyunting buku Otonomi dan Separatisme Bersenjata Di Asia Selatan dan Asia Tenggara, ada baiknya kita simak. Apakah pemberian otonomi khusus dapat dipakai sebagai instrumen resolusi konflik vertikal, khususnya dalam konteks Indonesia?

Dari pengalaman Aceh, Otsus paska MoU Helsinki berhasil menghentikan konflik, tapi belum memberikan kesejahteraan dan kepastian hukum bagi para korban dan pelaku.

Konon untuk Timor Timur juga pernah digunakan Otsus sebagai instrument resolusi konflik, namun gagal.

Sudah barang tentu Papua dapat mempelajari Otsus pra MoU Helsinki untuk Aceh dan Otsus untuk Timor Timur.

Terlepas pilihan mana yang akan ditentukan oleh para pelaku gerakan perlawanan di Papua, maka ambillah pelajaran dari Aceh dan Timor Timur.

Pertama, Papua harus melihat ke dalam dirinya sendiri untuk membaca kesiapan diri bilamana alih kekuasaan terjadi, baik melalui MoU maupun Pepera ulang. Kedua, Papua harus mencermati dinamika politik di sekitar Monas.

Apakah karakter rezimnya seperti Habibie, Gusdur, atau Mega dan SBY. Akhirnya, Papua juga harus mencermati dinamika geopolitik di kawasan Pasifik dan Laut China Selatan-ketegangan antara Barat (AS) dan Timur (China) - sebagai lingkungan global yang signifikan dalam mempengaruhi situasi di seputar Monas.*

**Penulis; Sosiolog Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda