kip lhok
Beranda / Kolom / Bintang Mercy dan Manisan

Bintang Mercy dan Manisan

Senin, 15 Maret 2021 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Catatan: Bahtiar Gayo

Sejarah kembali terulang. Saling berebut kekuasaan, jatuh menjatuhkan, tuding menuding dan mencari pembenaran, bukanlah berita baru. Pro dan kontra tidak bisa dihindari. Selagi manusia masih hidup di muka bumi “pertarungan” untuk mencapai pucuk pimpinan kerap akan terjadi.

Lembaran sejarah “kelam” itu sudah terukir. Bukalah sedikit catatanya, pada masa lalu misalnya bagaimana jatuh bangunya sebuah kerajaan. Ada factor internal dan eksternal. Bukanlah kabar asing bila sang anak merebut kekuasaan dari ayah, bukan kabar aneh ketika adik berperang dengan abangnya untuk mendapatkan tahta.

Di masa demokrasi ini juga bukan berita aneh bila saling jatuh menjatuhkan dalam meraih pucuk pimpinan. Lihatlah belahan negeri ini, berita kudeta. Lengsernya sebuah rejim menjadi catatan sejarah yang terus diulang oleh manusia.

Untuk negeri pertiwi, saat ini rakyat sedang disuguhkan sebuah tontotan pertarungan mantan jenderal. Dalam Maret 2021 media meramaikan “pertarungan” memperebutkan bintang mercy merah putih dalam balutan biru.

Pro dan kontra tidak mampu dihindari, kedua belah pihak saling mengklaim bahwa pihaknya yang benar. Demokrat kini sedang diperebutkan. Kubu AHY yang mana ada mantan Presiden RI di dalamnya (SBY) mengklaim bahwa pihak yang menggelar KLB melanggar AD/ART partai.

Mereka mengklaim KLB adalah illegal dan tidak sesuai dengan AD/ART. Bahkan pimpinan majelis tinggi di bintang mercy ini mengakui, ketika dia menjadi presiden di Bumi Pertiwi, dialah yang memilih dan membesarkan jenderal ini, kemudian mengambil alih Demokrat melalui KLB di Sumatra Utara.

SBY bagaikan membesarkan anak harimau yang kemudian menjadi seteru baginya. SBY dalam pengakuanya mengakui kesalahan salah menetapkan seseorang dan memohon ampunan pada sang Khaliq karena telah “salah” memilih seseorang.

Sementara kubu Moeldoko, dimana sebagian besar didukung oleh mereka juga yang pernah mengibarkan Demokrat, menyebutkan upaya ini untuk menyelamatkan partai. Mereka mengakui selama ini sudah terzalimi, terbuang dari partai yang mereka turut membesarkanya.

Mulailah yang selama ini “terpendam” diumbar ke publik. Berbalas pantun tidak terhindari, saling tuding dan membenarkan diri. Muncul laporan. Negeri ini riuh dengan berbagai argument, pendapat dan analisa. Hingar bingar di tubuh bintang mercy ini “mengalahkan” riuhnya gempuran pandemi Corona.

Muaranya nanti berada di Kemenkumham. Bagaimana ahir dari babak “pertarungan” orang orang berpengaruh di negeri ini, publik hanya bisa menyaksikan, menyimak dan berada di luar garis pertempuran kekuasaan.

Demokrat kini sedang mengayuh bahtera, dihadapkan dengan gempuran ombak untuk menguji ketangguhan kapal. Mampukah bintang mercy ini melalui ganasnya ombak? Pelaut handal dan teruji akan lahir ketika dia mampu menghadapi ganasnya samudera.

Bila diibaratkan dengan manisan, tentu akan senantiasa diperebutkan. Di mana ada manisan, sudah pasti akan didatangi semut. Namun tidak semua semut berhasil menikmati manisan, ada juga semut yang mati dalam perangkap manisan karena sang semut terlalu berambisi untuk mendapatkanya.

Semut tidak mampu memanfaatkan manisan untuk dinikmati, namun justru ada semut yang masuk dalam perangkap manisan. Ada juga semut yang berhasil mencicipinya dan keluar dengan selamat dalam pusaran manisan.

Sebagai manusia yang menjadi bagian dari negeri ini, saya hanya bisa menyaksikan kuatnya arus pertarungan di bintang mercy ini, bagaimana ahirnya, saya tidak berani menganalisa dan memberikan pandangan, karena itu bukan kapasitas saya.

Kedua belah pihak saling mengklaim bahwa pihaknya berada di jalur yang benar. Mereka lebih berhak mengelola warna biru berlambang bintang mercy merah putih.

Sebagai masyarakat yang tidak pernah terlibat dalam politik praktis, saya punya tugas sendiri. Bagaimana menghidupi keluarga, nyaman beribadah dan dapat berusaha di saat negeri ini sedang berperang dengan wabah Corona. Bertahan hidup saat negeri ini dilanda wabah adalah sebuah perjuangan bagian dari jihad.

Tuhan sudah membentangkan sejarah perjalanan hidup manusia di muka bumi ini. Banyak catatan sejarah di seluruh penjuru negeri dalam perebutan kekuasaan. Ada sejarah berdarah darah dan banyaknya korban jiwa.

Ada sejarah pertarungan antara ayah dan anak dalam menggapai tahta. Ada perang saudara dalam meraih singasana. Perputaran sejarah itu terus bergulir, walau zamanya dan caranya yang berubah.

Ambisi manusia tidak pernah berubah. Apalagi didalamnya ada “manisan” yang memang harus diperebutkan. Ada kadalanya manisan juga bisa mengundang petaka. Lihatlah semut banyak yang mati, karena caranya yang salah dalam mendapatkan manisan.

Saya juga sedang mencari manisan, menggapai manisan untuk bertahan dalam kehidupan. Mengikuti perputaran zaman agar tidak tergilas dalam ganasnya pertarungan kehidupan.

*** Penulis Penanggungjawab Dialeksis.com


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda