Beranda / Kolom / Bendera dan Teman Seperjuangan

Bendera dan Teman Seperjuangan

Sabtu, 15 Agustus 2020 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Alm. Muhammad Rizal. [Foto: Ist.]


15 Agustus tahun ini menjadi lebih bermakna bagi penulis. Tak hanya sekedar menjadi hari damai yang disepakati di Helsinki 15 tahun silam dan bendera sebagai ikon yang paling dimunculkan. Namun lebih dari itu, setiap membicarakan bendera (Aceh) selalu saja tersirat kenangan seorang teman seperjuangan. Ia bukan anak pejabat, bukan keturunan eks kombatan, bukan anak dari orang kantoran. Ia hanya seorang anak muda, yang penulis kenal dengan baik karena kecintaannya pada tanoh indatu.

Tulisan ini hanya ingin mengenang kembali, sosok teman seperjuangan. Muhammad Rizal namanya, mahasiswa Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Bagi penulis, ia kini pahlawan tanpa tanda jasa. Maaf, sebelumnya penulis beritahu bahwa ia telah meninggal dunia.

Ada banyak hal yang terkenang pada sosok Muhammad Rizal. Teman-teman sering memanggilnya dengan sapaan 'Rizal Bendera'. Iya, pasalnya ia begitu fanatik dengan bendera Aceh (Bulan bintang). Setiap diskusi yang kami lakukan di ruang kuliah hingga meja kopi, sangat jelas ia selalu saja berpendapat dengan sisi ke-Aceh-annya. Prinsipnya tegas, ia seorang Aceh.

Rizal bendera telah berpulang keharibaan-Nya pada 2 Desember 2019 sekitar pukul 04.00 WIB. Ia menghembuskan nafas terakhir setelah dirawat sekian lama di rumah sakit. Awalnya, ia sehat-sehat saja sebelum mengikuti aksi damai yang diselenggarakan oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Ar-Raniry pada 15 Agustus 2019 silam yang berlangsung chaos!.

Saat kondisi chaos itu, ia terpukul di sekitaran rahang sebelah kiri. Namun, ia menyimpan rasa sakit itu tanpa memberitahu seorangpun. Rizal adalah mahasiswa yang aktif mengikuti diskusi-diskusi ke-Acehan Ia giat dan progresif, ingin tahu segalanya. Ia paham sejarah konflik. Bahkan ia pernah bercerita pada penulis bahwa pernah melihat ayahnya dipukul oleh aparat hingga tulang pinggangnya patah dan diseret dengan mobil, mengerikan bukan?.

Suatu malam, ia pernah menelpon penulis menanyakan sedang dimana. Katanya, ia sedang pulang dari Lamteumen sehabis mengikuti diskusi yang membahas isu ke-Acehan, lalu ada yang mengikutinya ketika sedang dalam perjalanan pulang. "Jangan pulang ke rumah!" jawabku panik dan seketika pulang, maklum kami tinggal di tempat yang sama, bedanya cuma di lantai 1 dan 2 saja.

Kembali pada aksi yang chaos 15 Agustus 2019 silam, tepat di hari damai Aceh itu banyak teman-teman yang ikut aksi dipukuli secara membabi buta, termasuk Rizal. Kemudian, ada beberapa yang diamankan ke kantor itu, yang kemudian setelah ditahan beberapa jam baru dibebaskan. Namun teman-teman itu dipanggil lagi ke kantor, tentunya dengan surat pemanggilan sesuai aturan. Untungnya teman-teman ini didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Berbeda nasibnya dengan Rizal, ia dipanggil tanpa surat. Ceritanya pada penulis dan beberapa teman di Ilmu Politik bahwa ia dipanggil, tapi tidak ada suratnya. Kemudian, datanglah kami ke kantor itu di temani Pak Taufik Abdullah, dosen kami. Kata beliau, "Kah enteuk eh inan, lam moto na kumee kaso ngoen bantai", katanya menakuti, tapi dibalas tawa oleh kami.

Setelah memenuhi panggilan dan dicerca beberapa pertanyaan sekitar 3 jam (sehabis maghrib), akhirnya kami pulang. Tak lama setelah itu, ia dipanggil lagi untuk yang kedua kalinya dengan cara yang sama tanpa surat pemanggilan. Konon, panggilan itu belum sempat ia penuhi. Beberapa hari setelah pemanggilan pertama, ia pernah berkata sering ada yang mengikuti, kemudian ia jatuh sakit dan belum bisa memenuhi panggilan kedua kalinya.

Anehnya, Rizal dipanggil tanpa surat dan tanpa pendampingan oleh LBH seperti teman-teman DEMA UIN Ar-Raniry lainnya. Katanya, alasan Rizal dipanggil adalah sebagai yang memiliki bendera. Memang benar Rizal yang mempunyai bendera, tapi setahu penulis ia membawa bendera dari kampung (Pidie) ke Banda Aceh adalah atas instruksi Presma kala itu, ia sempat mengirimkan tangkapan layar chattingan tersebut.

Setelah kasus yang begitu rumit berlangsung, ia masih dalam keadaan sakit. Hingga pada 2 Desember 2019 menghembuskan nafas terakhir. Kisah yang memilukan dari seorang teman seperjuangan. Bagi penulis, kini ia adalah pejuang, memang bukan anak syuhada, tetapi perjuangannya kala itu adalah bak pejuang Aceh tempo dulu. Ia teman yang baik, setia kawan, dan siap menghadapi apapun. 

Ia pejuang yang tidak pernah peh-peh dada! Harusnya kini ia sudah hampir menyelesaikan proposal skripsi sama seperti teman-teman lain. Namun Illahi Rabbi lebih sayang padanya, semoga mendapat tempat terbaik disisi-Nya teman seperjuang! Bendera itu akan naik jika sudah waktunya. Terima kasih atas banyak pelajaran berharga, salam mahasiswa! Al-fatihah.

Penulis:

Muhammad Zaldi (Mahasiwa Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry, Banda Aceh)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda