kip lhok
Beranda / Kolom / Bansa Teuleubeh: Sebuah Pertanggungjawaban

Bansa Teuleubeh: Sebuah Pertanggungjawaban

Selasa, 18 Juli 2023 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Fauzan Azima
Fauzan Azima. 

DIALEKSIS.COM | Kolom - ACEH disebut-sebut sebagai tanah mulia. Di punggungnya hiduplah “bansa teuleubeh ateuh rueng donya” (bangsa yang punya kelebihan di dunia). Frasa tersebut sering kali diulang-ulang dalam pertemuan resmi maupun tidak resmi untuk menunjukkan kekentalan nilai ke-Aceh-an.

Tentu saja makna bangsa yang punya kelebihan itu bangsa lain menjadi rendah dibandingkan Bangsa Aceh dalam segala hal; ilmu pengetahuan, politik, budaya. Bahkan lebih dekat kepada Tuhan dibandingkan dengan bangsa lain yang hidup di kolong langit.

Orang pertama yang mengucapkan “bansa teuleubeh” tempo dulu tidak sedang bermain-main. Mereka pasti memahami “asbabun nuzul” sehingga ungkapan itu menjadi pekerjaan rumah bagi generasi sekarang. 

Kini “bansa teuleubeh” patut kita mintai pertanggungjawaban kerelevansiannya bagi manusia Aceh. Pada saat ini ungkapan itu tidak lebih dari sekadar suara. Faktanya jauh dari maksud sebenarnya. Frasa itu sekarang menjadi bahan bercanda dengan tujuan mengejek.

Beberapa hal yang menjadi pertanggungjawaban adalah mengancam perang jika nafsunya tidak terpenuhi. Termasuk yang viral akhir-akhir ini, soal penolakan terhadap penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Achmad Marzuki. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh mengusulkan sosok lain sebagai calon tunggal. Dan itu dapat dimaknai dengan kegagalan politik representasi rakyat Aceh. Semakin lama, Aceh semakin buta terhadap peta politik Indonesia. Politikus Aceh lebih mengedepankan emosi, alih-alih rasionalitas.

Sikap DPRA ini mengingatkan saya pada kebalikan dari kisah Nabi Nuh As ketika membuat bahtera dalam menghadapi banjir bandang. Konon, ketika itu, Nuh yang disebut “nabinya kayu” itu meminta tolong kepada empat orang tukang, tapi semua tukang itu meminta imbalan, yakni menikah dengan putrinya semata wayang. Sedangkan tukangnya ada empat orang. 

Sebagai nabi yang dilebihkan akal, fikiran, rasa dan perasaannya, tentu tidak ingin mengecewakan para tukang itu. Dia lantas berdoa agar diciptakan tiga orang perempuan lagi. Tuhan pun mengabulkan permintaannya dan menciptakan seorang perempuan dari kuda, kemudian seorang lagi dari anjing dan seorang lainnya dari ular.

Sehingga sifat istri sekarang ini, selain mewakili sifat manusia seutuhnya, juga mewakili sifat satwa yang “bereinkarnasi” menjadi manusia. Kalau dia suka berpetualang, ingin bebas dan keras kepala, itu dipastikan dari “titisan” kuda. Kalau selalu ribut, bertengkar, berkelahi dan tidak punya malu berarti mewakili sifat anjing. Sedangkan sifat ular mewariskan kelicikan, sering menipu dan berkhianat.

Berkaca dari cerita di atas, seharusnya DPRA menampung semua aspirasi. Tidak memaksakan kehendak untuk satu orang. Bahkan jika ada sepuluh orang yang dianggap sanggup sebagai seorang penjabat gubernur, semua nama diusulkan ke pemerintah pusat. Biarlah pertarungan itu di Jakarta. Kesempatan harus dibuka lebar agar terlihat mana petarung dan mana pecundang. 

Pada masa silam “Bansa teuleubeh” juga ahli meramal. Meskipun menjangka masa depan adalah merampas hak Allah, tapi salah satu kelebihannya kemampuan untuk melihat masa depan. Sayangnya, dalam 15 tahun terakhir, kemampuan itu semakin kabur. Pilihan-pilihan, yang didasarkan atas penglihatan dari masa depan, sering kali meleset. Hal ini menjadikan Aceh sebagai korban politik nasional.

Hal itu juga menunjukkan bahwa sebenarnya kita hanya katak dalam tempurung. Merasa diri hebat tapi ternyata rontok di berbatasan Besitang. Aceh yang dulu sangat terbuka, kini semakin tertutup dan cenderung rasis. Tidak saja kepada suku dari luar, tetapi juga sesama orang “dalam negeri” bangsa Aceh. Tidak ada lagi semangat kebersamaan.

Akibat lanjutnya, kita menjadi kalah dalam politik dan ekonomi. Lalu kita sebagai orang-orang yang merasa perlu dikasihani karena menganggap diri paling depan dalam berjuang dan menderita hidup. Sampai Tuhan pun dipaksa harus menyayangi kita. Begitulah fakta merasa diri lemah tak berdaya. Padahal dalam pengajian kita diturunkan ke dunia sebagai khalifah.

Saya ingat cerita kawan tentang dialog ayam dengan kambing. Kedua hewan ini merasa menderita dalam hidup di dunia ini. “Hidup saya sangat menderita. setiap pagi saya bertelur, tapi tidak pernah dinafkahi.” Itu kata Ayam dengan wajah sedih.

Lantas kambing membalas dengan nada tinggi, “Hey Ayam, penderitaanmu tidak seberapa dibandingkan saya. Asal kamu tahu, setiap hari susu saya diperas, tetapi tidak pernah dinikahi.” 

Tidak sedikit manusia berlaku seperti itu; ketika diceritakan kepadanya tentang sebuah penderitaan, dia membalas cerita itu dengan menceritakan penderitaannya yang lebih dahsyat lagi. Itu adalah tanda untuk lawan bicara supaya berhenti mengobral penderitaan. Tamat.

“Bansa teuleubeh” harus siap dalam kondisi apapun. Sepanjang hayat masih dikandung badan, pantang mengeluh. Apalagi merasa paling menderita. Segala kelebihan pada masa silam yang berkelanjutan harus dipertanggungjawabkan pada hari ini. [**]

Penulis: Fauzan Azima (Mantan Kombatan GAM]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda