kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Tunggakan BPJS Membuat RSU “Sesak” Napas

Tunggakan BPJS Membuat RSU "Sesak" Napas

Senin, 16 September 2019 19:13 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM - Beban berat harus ditanggung direktur RSU seluruh Indonesia. Mereka harus memikirkan uang, harus meyakinkan perusahan supplier obat agar perlengkapan medis senantiasa ready. Layanan untuk pasien tetap berjalan dengan baik.

Pasien tidak mau tahu, kalau mereka sakit dan berobat ke RSU, pihak RSU harus melayani. Mereka harus mendapatkan pelayanan medis, obat-obatan dan sejumlah perlengkapan lainya harus tersedia.

Pasien mengantongi kartu BPJS. Mereka punya hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Bila pihak RSU tidak melayani mereka, urusanya bisa panjang.

RSU harus siap sedia menyediakan kebutuhan pasien (tentunya sesuai ketentuan). Tidak ada istilah RSU tidak memiliki dana, sehingga obat obatan dan kebutuhan medis lainya, habis.

Namun bagaimana jadinya kalau setiap saat RSU harus memikirkan obat obatan yang jumlahnya puluhan miliar rupiah. Bila Suplier yang menyediakan obat obatan napasnya sudah tersenggal sengal. Perusahaan supplier apakah mampu senantiasa tahan badan?

Seluruh Indonesia, persoalan tunggakan dana yang dilakukan pihak BPJS telah membuat direktur RSU "megap megap". Bahkan pihak direktur RSU terpaksa mengambil kredit ke bank, demi memenuhi kebutuhan pasien.

Persoalanya karena BPJS Kesehatan menunggak pembayaran untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Nilai tunggakan yang belum diselesaikan BPJS kepada RSU tahun 2019 mencapai Rp 6,5 triliun. Tunggakan itu sudah berlangsung selama 5 bulan.

Bagaimana direktur RSU untuk tetap menahan badan. Bila mereka tidak punya uang dan pihak supplier obat obatan sudah memberikan toleran, namun harus menentukan sikap, karena nilai tunggakan sudah sangat besar.

Tidak tahan dengan sikap BPJS, ahirnya Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) menagih tunggakan BPJS Kesehatan yang mencapai Rp 6,5 triliun pada 2019. Mereka melaporkan ke ombudsman RI, agar persoalan tunggakan itu dapat diselesaikan.

Menurut anggota Kompartemen Jaminan Kesehatan Persi, Odang Muchtar dalam diskusinya dengan ombudsman di Jakarta, Kamis (12/9/2019) gedung mengatakan, tunggakan yang ada sekarang bagaimana dalam waktu sesingkat-singkatnya segera dibayar.

"BPJS Kesehatan kerap menunggak pembayaran JKN selama 4 bulan. Sudah menjadi rahasia umum, selama BPJS menunggak, direktur RSU "dipusingkan" dengan tanggungjawab. Pihak RSU harus menyediakan obat untuk pasien," sebut Odang.

Bila hal ini terus didiamkan kata Odang, maka rumah sakit akan mengalami stunting. Sebab margin tipis dan peluang investasi terganggu oleh tunggakan BPJS Kesehatan. Oleh karena itu rumah sakit membutuhkan uang tunai untuk operasionalnya.

Bahkan kata dia, karena tidak memiliki uang tunai yang cukup akibat tunggakan BPJS Kesehatan, ada rumah sakit yang suplai obatnya sampai diputus oleh suplier.

"Perhatian kita segera lah bisa bayar tunggakan BPJS Kesehatan terpenuhi sampai obat kita distop supplier obat. Kalau iuran naik, darah BPJS juga baik," kata dia.

Ia meminta Ombudsman mendorong BPJS Kesehatan atau Kementerian Keuangan agar sesegera mungkin membayar tunggakan program JKN.

Persoalan tunggakan BPJS sangat memusingkan direktur Badan Layanan Umum Daerah RSU. Jumlah tunggakanya tidak tanggung, ada RSU yang belum dibayar BPJS mencapai Rp 40 miliar selama 5 bulan. Bahkan ada rumah sakit yang lebih dari itu.

"Duh ketika ditanya soal tunggakan BPJS, kepala saya kembali berdenyut. Lelah juga memikirkanya," sebut dokter Hardi Yanis, direktur BLUD RSU Datu Beru Takengon, ketika Dialeksis.com menanyakan soal tunggakan BPJS, via selular, Senin (16/9/2019) sore.

"Saya terpaksa mengambil kredit bank untuk memenuhi obat obatan pasien. Jumlah tunggakan BPJS totalnya mencapai Rp 40 miliar untuk lima bulan," sebutnya.

Pasien tidak mau tahu, apakah pihak RSU ada uang atau tidak untuk mendapatkan obat obatan dari supplier. Ahirnya direktur RSU Datu Beru ini nekat meminjam kredit bank senilai Rp 5 miliar demi memenuhi kebutuhan obat obatan pasien.

"Bagaimana tidak diambil sikap. Lantas saya mau bawa uang dari mana? Pasien kan harus dilayani, tidak mungkinkan ketika pasien datang dengan penyakit yang harus segara dilayani, kita sebutkan, maaf obat enggak ada," sebut Hardy.

Hardi terpaksa "menggadaikan" hartanya sebagai jaminan bank, demi mendapatkan dana menanggulangi obat obatan pasien. " Ini resiko yang harus dilakukan, setiap bulanya saya harus memikirkan penutupan uang bank," jelasnya.

"Kalau cepat dibayar BPJS terhadap tunggakan mereka, tentunya cepat bisa saya tutupi uang bank yang dipinjam. Namun persoalan administrasi dan bunganya, mana ada urusan dengan BPJS, ya harus ditanggung," jelas Hardy.

Dokter ini mengakui kewalahan juga menghadapi tunggakan BPJS. Dia harus meyakinkan supplier agar senantiasa percaya padanya. Namun ketika jumlah tunggakan sudah sangat besar, pihak supplier juga mulai kewalahan, Hardi terpaksa mengambil kredit bank, menutupinya, walau tidak seluruhnya tertutupi. 

Hardi mengakui keterlambatan pembayaran oleh BPJS memang dikenakan denda, tetapi mekanisme perhitungannya tidak  bisa menutup bunga pinjaman di bank.

"lelah juga, kita memikirkan bagaimana melayani pasien agar mendapatkan pelayanan yang baik, di lain sisi kita juga harus memikirkan uang kontan untuk memenuhi kebutuhan obat-obatan. Kami minta agar pihak BPJS dapat segera menyalurkan tunggakan mereka," pinta Hardi.

Menurut Hardi kalau RSU yang masih berada dalam naungan daerah, bila mereka menipis stok dapat dulu dipergunakan uang daerah. Nanti ketika dibayar BPJS uang itu dikembalikan ke daerah, namun bagi BLUD RSU, semua persoalan itu harus ditagani sendiri.

Namun Hardi tidak mengetahui dengan pasti bagaimana tehnis BPJS dalam membayar klaim yang mereka ajukan. Karena Rumah Sakit di Banda Aceh misalnya, tunggakanya tidak lama, paling lama dua bulan, namun mengapa di wilayahnya tunggakan itu mencapai 4 sampai 5 bulan.

Pengalaman RSU Zainoel Abidin

Soal tunggakan BPJS, menurut Dr dr Azharuddin SpOT K-Spine, Direktur RSU Zainoel Abidin Banda Aceh, tidak terlalu memberatkan. Namun ada persoalan lain yang harus mendapat perhatian serius dari BPJS dalam memberikan pelayanan kepada pasien.

"BPJS itu, saya melihat mereka membuat aturan-aturan regulasi itu, karena yang dikendalikan dana APBN. Bila APBN sen per sen harus bisa mempertanggungjawabkan dengan segala konsekwensi," sebut Azharuddin, menjawab Dialeksis.com via selular.

Menurutnya, ada jenis layanan yang bagi pasien dimaknai dengan pembatasan. Namun kesulitan itu semata karena system yang dibangun itu belum terbiasa.

Kalau rumah sakit system rujukan, belum tentu RSU rujukan itu kekuatannya sama di setiap daerah. System mereka berjenjang. Ada infrastruktur dan SDM . Bila infrastruktur dan SDM disana tidak ada, pasien yang tak mau singgah ke rumah sakit.

Azharuddin menilai pasien korban bencana, pihak BPJS tidak menanggungnya. Ada sumber pembiayaan yang lain untuk itu. Negara sudah menyiapkan untuk itu, tetapi sayangnya di level operasional itu tidak jalan.

Contohnya Zainoel Abidin pada kasus musibah gempa Pidie Jaya, 2 tahun yang lalu. Gempa bumi Desember itu telah membuat pihak Zaionel Abidin belum mendapatkan pembayaran oleh kementerian kesehatan.

"Dulu Zainoel Abdin pokoknya kerja dulu, lakukan segala yang terbaik, nanti diklaim terpisah, sudah kami klaim, sudah berkali kali kami surati dan tidak ada jalan keluar. Artinya secara tiori bagus, tetapi secara pelaksanaanya belum terlaksana dengan baik," sebutnya.

Mengenai soal tunggakan BPJS, Azahruddin mengakui tidak terlalu berat. Untuk bulan Agustus ini misalnya, akan dibayar pada September 2019.

"Kabarnya dalam minggu ini akan mendapat pembayaran. Biasanya satu bulan sampai dua bulan. Bila terlambat, BPJS akan membayar kewajibanya berupa denda kepada RSU tersebut. Tujuanya adalah agar RSU itu meminjam uang di bank," jelasnya.

"Kewajiban yang dilakukan RSU itu ditanggung oleh BPJS. Menurut saya BPJS tidak ingkar menjalankan kewenanganya, dalam hal ini Zanoel Abidin sudah mendapatkan kompensasi dari pembayaran itu. Kita tidak terganggu," jelasnya.

Mengapa tidak terganggu? "Katakanlah klaim Rp 38 miliar atau Rp 40 miliar perbulan. Belum dibayar sudah jatuh tempo, maka kami minta ke bank. Dalam 24 jam pihak bank sudah menyalurkanya ke RSU. Rumah sakit melakukan kerjasama dengan bank, jaminanya adalah ketika RSU sudah menyampaikan klaim yang sudah diterima oleh BPJS, tetapi mereka belum mampu bayar sesuai dengan jadwalnya," sebut direktur RSU ini.

Azharuddin kedepanya menyarankan agar BPJS ada hubungan system rujukan berjanjang. Semuanya harus singkron, tentunya kesiapanya itu tidak bisa bagus dihilir, kalau hulunya tidak baik. Level yang dilayani BPJS itu mulai dari Puskesmas, klinik pertama, rumah sakit B, C A, semuanya harus dipastikan dalam link yang terkontrol.

"Jangan dibiarkan bekerja sendiri sendiri. Kalau bekerja sendiri sendiri yang korban adalah pasien. Katakanlah misalnya , pasien harus mendapatkan obat A, padahal obat A itu yang ada hanya di Zainoel Abidin," sebutnya.

"Obat itu hanya bisa diperoleh 10 hari sekali. Bayangkan kalau pasienya tingalnya di Taming, dia harus mengambil obat ke RSU ZA. Harus menyiapkan ongkos 500 ribu, minimal ditemani satu orang. Jangan jangan harga obat cuma Rp 300 ribu, namun dia harus mengambil di Zainoel Abidin," jelasnya.

"Peryataanya saya adalah, sama seperti dialeksis tanyakan, apa salahnya BPJS menyediakan obatnya di rumah Sakit Taming. Dokternya ada di rumah sakit Taming, ngapain dia harus ke Zainoel Abidin, untuk mengambil obat," sebutnya.

Sialnya bukan salahnya, jelas direktur ini setengah berkelakar, obat itu yang ada hanya di RSU Zainal Abidin. Hal seperti ini harus dilakukan koordinasi internal.

BPJS juga, jelasnya, harus mengadakan pertemuan untuk mengakomodir perspektif pasien. Karena yang mengalami dampak itu pasien. Jadi harus mau saling mendengar dengan melibatkan stok holder saling belajar untuk itu, kata Azharuddin.

Demikian dengan RS Mueraxa, mengakui untuk bulan ini belum berpengaruh dengan tunggakan BPJS. Menurut Wakil Direktur Bidang Pelayanan, dr. Ihsan, Sp. M menjawab Dialeksis.com, via selular, menyebutkan, belum ada pengaruhnya.

"Alhamdulilah belum, sampai saat ini belum. Tetapi kalau satu dua bulan lagi terasa pengaruh tunggakan BPJS yang lambat dibayar. Kita berbekal dengan pengalaman 2017, berita tentang RS Meuraxa cukup banyak, untuk itu kita betul betul berhemat," jelas Ihsan.

Pihak RS Meuraxa berupaya lebih hemat dan mengutamakan obat obatan dan kebutuhan pasien, karena mengandalkan dana BPJS.

Menyinggung tentang pembayaran BPJS, menurut Ihsan, tehnisnya tidak bermasalah. Misalnya untuk bulan 9, ketika awal bulan 10 pihaknya sudah memberkas dokumen. Semua data tentang pasien diupload disampaikan ke BPJS untuk mendapatkan klaim pengganti.

"Pihak BPJS yang sudah mempelajari berkas dan bila sudah tidak ada masalah, maka kita masuk dalam daftar antrian mereka. Dalam bulan 10 dana itu sudah dicairkan. Enggak mungkin untuk bulan 10 dibayar dalam bulan 10," sebutnya.

Ihsan juga mengakui, pembaharuan dalam penataan BPJS sudah mulai bagus, ada pembenahan. Namun persoalan BPJS sudah menjadi bahasan tingkat nasional, ya saya tidak bisa menyarankanya. "Kalau mereka enggak ada dana bagaimana mereka bisa bayar," sebutnya.

Namun Ihsan berharap, agar pihak BPJS lebih memprioritaskan RS Pemerintah, karena RS pemerintah mendapat banyak kunjungan pasien BPJS. "Kita punya pegawai, ya kami berharap paling tidak kebijakan BPJS lebih mengutamakan rumah sakit pemerintahlah," pinta Ihsan.

BPJS Senantiasa Defisit

BPJS bagaikan tidak pernah berhenti dari devisit. Setiap tahunya nilai devisit itu membengkak. Meskipun Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dinilai terbukti dalam mengurangi terjadinya ketimpangan dalam mengakses pelayanan kesehatan.

Menurut perhitungan BPKP, tahun pertama misalnya (2014) BPJS mengalami defisit sebesar Rp3,3triliun. Tahun berikutnya semakin membesar, Rp5,7 triliun. Di tahun 2016 bukan menurun, justru naik mencapai Rp9,7 triliun. 2017 mencapai Rp9,75 triliun,hingga tahun 2018 diketahui tersisa Rp10,98 triliun.

Mengapa BPJS senantiasa menunggak? Menurut Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah pada dasarnya ada beberapa faktor lain yang menyebabkan tunggakan hingga Rp 9 triliun. Hal pertama, karena jumlah iuran peserta yang tergolong kecil sehingga pemerintah harus mensubsidi sisanya.

Kemudian, ketidakdisiplinan peserta membayar iuran, cakupan pelayanan kesehatan yang luas, hingga adanya oknum rumah sakit yang memberikan pelayanan lebih dari yang dibutuhkan. Alhasil, beban dari semua lagi-lagi mesti ditanggung oleh pemerintah.

"Permasalahan BPJS Kesehatan muncul disebabkan beberapa faktor, utamanya juga karena masyarakat memanfaatkan sepenuhnya fasilitas yang diberikan BPJS dan adanya oknum rumah sakit dan dokter yang ditengarai memberikan pelayanan melebihi yang dibutuhkan pasien BPJS," ungkap dia kepada detikFinance, Rabu (29/5/2019).

"Dampak dari hal itu, BPJS menerima iuran masyarakat sangat terbatas sementara tagihan dari rumah sakit begitu besar. Defisit yang terjadi menjadi begitu luar biasa yang semuanya dibebankan kepada pemerintah dalam bentuk subsidi," ungkapnya.

Menurut Piter, untuk mencegah tunggakan kembali terjadi, BPJS Kesehatan seharusnya menaikkan besaran iuran. Hal ini juga mesti dilakukan bersamaan dengan meningkatkan kedisiplinan oleh masyarakat. Ia mencontohkan, cara meningkatkan disiplin dengan memberikan sanksi bila mana peserta telat membayar iuran.

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, memeberikan penjelasan, iuran yang diberlakukan saat ini belum sesuai perhitungan dari Dana Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Dana BPJS sering digunakan untuk menangani berbagai penyakit katastropik.

Seperti penyakit jantung, gagal ginjal kronik, serta kanker yang sebenarnya bisa dilakukan pencegahan sebelum diberikan pengobatan penyakit. Hal ini terbukti hingga Agustus 2018, dana BPJS Kesehatan yang digunakan untuk biaya penyakit katastropik mencapai 21,07% atau Rp12 triliun dari keseluruhan biaya kesehatan.

Masalah lain yang muncul, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sampai Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL). Khususnya dalam sistem rujukan pelayanan yang masih tinggi.

Tahun 2017, rujukan di FKTP sebesar 12% mengalami kenaikan pada tahun berikutnya menjadi 15,6%. Peningkatan rujukan tersebut telah meningkatkan jumlah klaim yang harus dibayar BPJS.

Temuan BPK, persoalan lainya, ada di lingkungan pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. adanya tunggakan Jaminan Kesehatan Daerah(Jamkesda) dan penyalahgunaan dana.

Tahun 2016, BPK menemukan 155 pemerintah daerah belum membantu mendukung terlaksananya program JKN BPJS Kesehatan yang optimal. Selain itu, dalam pelaksanaannya, dana BPJS rentan disalahgunakan oleh pemerintah daerah.

Beberapa contoh kasus penyalahgunaan dana BPJS, seperti di Medan, penyalahgunaan dana di kabupaten Jombang, kasus korupsi dana BPJS oleh Bupati Subang sebesar Rp528 juta, serta Kepala Dinas Kesehatan di Gresik, Mohammad Nurul Dohlam, yang terbukti melakukan tindak korupsi dana BPJS sebesar Rp2,451 miliar.

BPJS di negeri ini senantiasa dibalut masalah. Bagaimana mengurai benang kusut itu yang senantiasa menjadi persoalan. Siapa yang akan melakukanya? Persoalan BPJS sebenarnya persoalan semua pihak, mulai dari kesadaran masyarakat untuk menunaikan kewajibanya, dan pihak pengelola untuk memberikan yang terbaik.

Tetapi buktinya persoalan BPJS dari tahun ketahun senantiasa mengurai benang kusut, tidak ada simpul yang mampu dibuka secara permanen, sehingga bisa lepas dari kusut. Sampai kapan negeri ini dibalut dengan persoalan benang kusut BPJS? ( Bahtiar Gayo)

 
Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda