kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Tambang Ilegal di Aceh Mungkinlah Legal?

Tambang Ilegal di Aceh Mungkinlah Legal?

Minggu, 18 Juni 2023 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga

Foto: Ilustrasi Tambang Ilegal (Mindra Purnomo/Tim Infografis detikcom)


DIALEKSIS.COM| Indepth - Maraknya tambang ilegal di Aceh makin hangat dibahas. Tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan. Ada “mafia” yang bermain. Dilain sisi, ada rumor yang berkembang Pj Gubernur Aceh sudah “mengeluarkan” izin pertambangan.

Bagaikan mengurai benang kusut menyelesaikan persoalan tambang di Aceh. Menjamurnya tambang ilegal di Aceh seperti lingkaran setan. Uang panas berputar, para cukong bebas bermain, bagaikan tak tersentuh hukum.

Banyak pihak yang menyebutkan, bila ada penertiban, hanya mereka yang “kecil-kecil” yang terjerat. Sementara pemodal utama bebas menikmati hasil usahanya dalam merusak alam. Aparat penegak hukum bagaikan tak punya taring untuk menyelesaikanya.

Namun aparat penyidik “tidak” terima juga kalau mereka dituding tak punya taring dalam menertibkan tambang illegal. Kasubdit IV Tipidter Polda Aceh AKBP Muliadi, S.H menyebutkan, bila serius menghentikan tambang ilegal, tidak cukup sekadar melakukan penegakan hukum.

Selama 2022 hingga minggu kedua April 2023, polisi telah menangangi 21 kasus tambang ilegal. 39 orang menjadi tersangka, yang terdiri dari pekerja, pemodal, pemilik beko dan lainnya.

Bagaimana carut marutnya pertambangan illegal di Aceh, apa upaya yang dilakukan pihak terkait untuk menyelesaikanya, adakah solusi yang berpihak kepada rakyat, Dialeksis.com merangkumnya.

Tambang Ilegal

Persoalan tambang illegal yang setiap hari tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan, sebenarnya bukan hanya terjadi di Bumi Serambi Mekkah. Hampir diseluruh penjuru pertiwi persoalan tambang illegal senantiasa membuat masalah.

Untuk Aceh, berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh pada September 2018, terdapat kawasan Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) seluas 1.534,25 hektare yang tersebar pada enam kabupaten di Aceh.

Tidak tertutup kemungkinan, area pertambangan tanpa izin ini akan terus bertambah. Para pemodal juga semakin melirik area yang memungkinkan untuk menambah pundi-pundi rupiah. Jaringan ini terus berputar di bumi Aceh.

Soal maraknya tambang illegal yang kian hari semakin bertambah diakui oleh Kepala Bidang Mineral dan Batubara (Minerba) Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Aceh (ESDM Aceh) Khairil Basyar,S.T.,M.T.

Dalam sebuah dalam diskusi bertajuk Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tambang Ilegal di Aceh, yang digelar oleh Aceh Resource & Development (ARD), Senin (17/4/2023) sore di Hermes Palace Hotel, pihak dari ESDM Aceh ini mengurai persoalan tambang yang kini bagaikan lingkaran setan.

Khairil menyebutkan enam lokasi tambang emas ilegal di Aceh. Sepanjang aliran Sungai Emas, Kabupaten Aceh Barat. Di kawasan ini tambangnya dengan teknik placer, karena bahan baku yang ditambang telah berbentuk aluvial akibat proses pelapukan.

Demikian juga kawasan tambang ilegal di sepanjang Krueng Kila, Beutong yang ditambang secara placer.

Kawasan tambang emas illegal lainya di Gunong Ujeun, Kecamatan Krueng Sabe, Aceh Jaya yang ditambang secara primer. Kemudian di Aceh Selatan (Manggamat dan Sawang), Desa Lumut, Kecamatan Linge, Aceh Tengah, dan Geumpang dan Mane, Pidie. Untuk Pidie, proses tambangnya placer dan primer.

Menurutnya, luas tambang ilegal saat ini di Aceh 1.177 hektare. Secara rinci yaitu, 837 hektare di Geumpang, Kabupaten Pidie, yang ditambang di areal konsesi PT WAM dan HL.

Di Kampung Lumut, Kecamatan Linge, Aceh Tengah, luas area yang sudah dirambah secara ilegal di lahan konsesi Linge Mineral Mining (LMM) seluas 35 hektare.

Di Manggamat, Aceh Selatan lebih dari 40 hektar sudah ditambang secara ilegal di kawasan konsesi PT BMU dan KSU. Di Sawang, 65 hektare telah digarap tanpa izin. Di Krueng Kila dan Krueng Cut, Nagan Raya lebih kurang 45 hektare.

Di Panton Rheu dan Lacong, Aceh Barat. Tambang ilegal ini dilakukan di dalam kawasan KPPA dan PT MGK. Luas kawasan yang sudah dieksploitasi 75 hektare. Di Gunong Ujeun, Aceh Jaya, luas lahan yang telah ditambang secara ilegal 80 hektare.

Dari pertambangan tanpa izin ini sudah pasti uang berputar di sana, jumlah manusia yang bekerja juga terbilang banyak. Bagaikan mata rantai yang saling terkait, bukan hanya pekerja pencari emas, namun ada bisnis-bisnis lainnya yang menyatu dengan pertambangan.

Direktur Eksekutif Walhi Aceh Muhammad Sholihin, dalam diskusi Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tambang Ilegal di Aceh, yang digelar oleh Aceh Resource & Development (ARD), menyebutkan, saat ini ada lebih dari 6.000 orang menjadi tenaga kerja di dalam bisnis itu.

Para pekerja ini terdiri dari penduduk tempatan, warga lokal Aceh, warga Indonesia dari provinsi lain, serta tenaga kerja asing. Selama ini bisnis tambang emas ilegal ditopang oleh bisnis bahan bakar minyak subsidi dan oplosan yang diusahakan oleh oknum tertentu secara melawan hukum.

Direktur Walhi Aceh tidak merincikan berapa ton BBM subsidi dan oplosan terserap ke dalam bisnis tambang ilegal. Namun secara sosial dan ekonomi, antrean panjang di SPBU serta sering kosongnya BBM subsidi menjadi petunjuk, betapa banyaknya BBM terserap ke dalam bisnis pertambangan tak berizin tersebut.

Selain BBM, mercury juga menjadi kebutuhan utama penambangan emas. Dampak jangka panjang mungkin belum terlihat nyata seperti di Teluk Buyat, Minahasa Tenggara.

Menurutnya, secara ekonomi, sejumlah pihak mulai menghindari membeli ikan air tawar yang ditangkap dari kawasan Geumpang dan sekitarnya. Berapa jumlah mercury yang terserap ke sana setiap tahun? Pegiat lingkungan ini tidak merincinya.

Dijelaskan Muhammad Sholihin, demikian juga dengan bisnis sewa eskavator, logistik (konsumsi), dan penampungan emas ilegal, merupakan jejaring mata rantai pertambangan ilegal yang selama ini tumbuh dengan baik.

Menyinggung soal rumor yang berkembang, bahwa Pj Gubernur Aceh sudah mengeluarkan izin pertambangan di Aceh, Direktur Eksekutif Walhi Aceh menjawab DIALEKSIS.COM mengatakan, tidak ada izin aktivitas tambang legal yang diberikan. Namun hanya izin tahap ekplorasi yang dikeluarkan kepada 5 perusahan.

Izin itu dikeluarkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh berdasarkan rekomendasi dari Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh.

Menurut catatan Walhi Aceh, dalam periode Juli-Agustus 2022 ada lima izin tahap ekplorasi yang dikeluarkan oleh Dinas ESDM Aceh. Izin tahap ekplorasi merupakan langkah awal dalam penelitian dan pengumpulan data untuk menentukan potensi wilayah pertambangan.

 “Pak Pj Gubernur Aceh tidak menandatangani izin, karena izinnya dikeluarkan oleh DPMPTSP berdasarkan rekomendasi dari ESDM, tentu mereka berkoordinasi dengan Pj gubernur Aceh,” tambah Ahmad Shalihin.

Penegakan Hukum

Penambangan illegal yang terjadi di Bumi Aceh telah mengharuskan pihak kepolisian bekerja ekstra. Namun mereka masih dituding belum mampu menertibkan penambangan illegal, dengan semakin maraknya bisnis gelap ini.

Pihak Polda Aceh mengakui menemukan beberapa titik penambangan ilegal di Kabupaten Aceh Barat serta penebangan hutan tanpa izin di Kabupaten Aceh Jaya.

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh, Kombes Pol Winardy mengatakan, temuan tersebut setelah dirinya bersama sejumlah pejabat terkait di Pemerintah Aceh memantau dari udara menggunakan helikopter.

"Kami berkomitmen akan melakukan penegakan hukum terkait temuan tersebut. Selain penegakan hukum, kami juga akan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait bahaya penambangan ilegal dan penebangan hutan ilegal," kata Winardy, kepada media Rabu (15/2/2023).

Menurutnya, praktik penambangan maupun penebangan hutan tanpa izin merupakan tindakan melanggar hukum. Polda Aceh sudah berulang kali menindak pelaku tambang emas ilegal tersebut, jelasnya.

Dijelaskan, penegakan hukum ini merupakan perintah Presiden RI Joko Widodo dan juga sesuai arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melalui Kapolda Aceh Irjen Pol Ahmad Haydar.

"Kami juga mengajak pemerintah daerah berkomitmen menyelesaikan akar masalah timbulnya penambangan dan penebangan hutan ilegal, terutama berkaitan dengan faktor ekonomi," pinta Direskrimsus ini.

Menurutnya, pihak Kepolisian akan berkoordinasi dengan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Aceh, Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan Aceh serta Balai Pengelolaan Hutan Lestari Wilayah I Aceh mencegah praktik tambang ilegal maupun penebang hutan lindung.

"Secara ekonomi masyarakat, kami juga mempertimbangkan dan menjadi kendala dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, kami mendorong masyarakat mengurus izin sesuai peruntukan," pintanya.

Soal tersangka penambangan illegal, Polda Aceh telah menetapkan delapan tersangka dalam kasus tambang ilegal dalam kurun waktu 2023. Sementara tahun lalu ada 14 perkara yang ditangani dengan 29 pelaku penambangan illegal.

Kasudit Tipidter Ditreskrimsus, AKBP Mulyadi, meminta kepada semua pihak mendukung upaya polisi dalam memberantas pertambangan ilegal. Bila ada oknum Polisi yang bermain tolong disampaikan,” kata Mulyadi, saat diskusi ‘Bongkar Mafia Tambang di Aceh’ yang digagas oleh Komunitas Jurnalis Lingkungan (FJL), di Banda Aceh, Kamis, 9 Maret 2023.

Disebutkan, kepolisian tidak mampu mengawasi pertambangan di Aceh. Karena jumlah personil terbatas, yaitu 14 ribu sekian. Untuk itu pihaknya, akan tetap mendorong pemerintah daerah terkait pertambangan, agar persoalan dari hulu ke hilir bisa diselesaikan.

Menurut Muliadi bisnis tambang ilegal melibatkan ribuan orang yang mayoritas tenaga kerja. Mereka bergantung di sana karena tidak ada alternatif lain yang menjanjikan. Bila hanya mengandalkan penegakan hukum maka tidak akan ada ujungnya.

Pandangan lain dikatakan Aryos Nivada, Pengamat Politik dan Keamanan menegaskan masalah tambang illegal harus dilibatkan semua sektor kelembagaan penegakan hukum, tanpa terkecuali.

“Idealnya dibentuk task force penanganan tambang illegal di Aceh melibatkan kepolisian, kejaksaan, BIN, serta komunitas intelijen lainnya dalam menyelesaikan masalah maraknya tambang illegal,” tegas Aryos kepada Dialeksis.com (18/06/2023).

Masih menurut Aryos kuncinya pada komitmen semua pihak dalam menuntaskan secara bersinergis dan berkolaborasi, sehingga tindakan nyata dirasakan masyarakat Aceh dalam penanganan tambang illegal di Aceh.

Bukan Hanya Persoalan Hukum

Menertibkan pertambangan illegal, bukan hanya berbicara soal penegakan hukum, namun semua pihak, khususnya pemerintah Aceh harus jeli dan mampu menjawab tantangan yang terjadi di lapangan.

Ketika rakyat butuh makan, menjadi sumber ekonomi, mereka akan berjuang melakukan apapun, bahkan mereka “main” kucing-kucingan walau itu resikonya berbuntut penjara. Akankah pemerintah senantiasa membiarkan persoalan ini bergulir bagaikan labirin tanpa ada kesudahan?

Rakyat tempatan biasanya hanya pekerja. Mereka tidak punya modal yang terbilang besar, orang-orang bermodal besar yang mampu menggerakan pertambangan, walau itu illegal.

Bukan lagi rahasia, pertambangan emas secara ilegal di Aceh digerakan oleh mereka yang punya kekuatan, baik modal dan jaringan. Ada sebuah permainan yang dikemas rapi untuk memuluskan praktik pertambangan.

Persoalanya bagaikana mengurai benang kusut, sehingga dalam sebuah diskusi muncullah ide Pemerintah Aceh harus melahirkan solusi, melegalkan tambang ilegal melalui mekanisme yang berlaku. Walau tidak semudah membalik telapak tangan, namun bila persoalani senantiasa dibiarkan, akan menambah sejumlah masalah, bukan menyelesaikan masalah.

Koordinator Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Askhalani mencontohkan, sama antara pemegang IUP PT Megallanic yang membeli emas yang ditambang oleh masyarakat di Aceh Barat. kemitraan ini juga menguntungkan daerah dan melindungi masyarakat.

“Polanya berikan konsesi lahan ke pengusaha besar. Penambangnya tetap rakyat. Daerah untung, pajak masuk, rakyat tidak terancam, dan peraturan dapat ditegakkan. Ketimbang saat ini, hutan tetap rusak, uang tidak masuk ke negara, bencana tetap akan datang,” sebut Askhalani.

Demikian dengan Ketua Komisi V DPRA M. Rizal Fahlevi Kirani, yang juga Sekretaris Pansus Minerba dan IUP, Izin Perkebunan. Dia menyarankan karena pemerintah tidak mampu mengkontrol, sebaiknya bisnis-bisnis tambang yang selama ini ilegal, dilegalkan saja sesuai peraturan yang berlaku.

“Pemodalnya dari luar, dibentengi oleh oknum penegak hukum. Pihak yang mendapatkan keuntungan besar tetaplah pemodal utama dan para centeng yang membekengi. Sedangkan rakyat sekitar tambang ilegal, hanya menjadi buruh kasar,” jelasnya.

“Saat ini yang kaya dari bisnis tambang ilegal para cukong dan pemasok kerja dari Jawa. Masyarakat hanya menjadi operator dan buruh, atau agen yang memasukkan eskavator, dan bukan yang mengelola dan mendapatkan profit dan benefit,” kata Rizal Falevi Kirani.

Pihaknya melihat Pemerintah Aceh kurang serius dalam menertibkan pertambangan ilegal. Jika pemerintah tegas, dan memberikan solusi, tentu pihak keamanan tidak akan kesulitan dalam melakukan penegakan hukum.

“Salah satu solusi yang bisa dilakukan yaitu dengan mendorong pemerintah daerah untuk mempermudah izin, atau para pelaku tambang membentuk satu BUMDES,” imbuhnya.

Solusi?

Kepala Bidang Mineral dan Batu Bara ESDM Aceh, Khairil Basyar, dalam diskusi publik Aceh Resource & Development (ARD) terkait pro kontra perizinan tambang emas di Beutong Ateuh Nagan Raya, di Banda Aceh menyebutkan, pihaknya akan mengusulkan pertambangan rakyat untuk mengatasi pertambangan ilegal yang selama ini banyak di Aceh.

"Kita punya wacana untuk menerbitkan wilayah pertambangan untuk rakyat di sejumlah titik yang ada pertambangan PETI," sebutnya. Menurutnya, untuk menerbitkan pertambangan rakyat bukan hal yang mudah karena harus ada diterbitkan dahulu data-data potensi tambang di kawasan tersebut.

“Jika sudah cukup data-data yang sudah dipetakan oleh pemerintah kabupaten setempat, maka baru bisa diusulkan kepada pemerintah pusat sebagai kawasan pertambangan rakyat,” jelasnya.

"Mungkin ini pemerintah Kabupaten yang harus siapkan. Jika memang segala persiapan yang dibutuhkan sudah cukup maka baru bisa kita usulkan kepada pemerintah pusat. Tentunya ini tidak tumpang tindih dengan wilayah izin lainnya," sebutnya.

Menurut Khairil Basyar, saat ini belum ada wilayah yang direkomedasikan menjadi pertambangan rakyat, karena masih banyak hal-hal yang harus dicarikan solusi dan masih banyak kendala. Permsalahanya sangat kompleks, dan banyak pihak yang harus dilibatkan.

"Sebenarnya kemarin kita wacanakan wilayah Aceh Barat dan Nagan Raya menjadi pilot project untuk wilayah yang akan kita jadikan sebagai wilayah legal dari aktivitas tambang," jelasnya.

"Pemerintah masih terus mencari solusi terbaik agar tidak ada yang dirugikan.Pelaku PETI di Aceh sangat banyak sehingga untuk menghentikan secara aturan akan menimbulkan resiko yang sangat besar. Hal ini yang menjadi pertimbangan pemerintah maupun aparat dalam menindak pelaku PETI,” jelasnya.

Pertambangan Emas Tindak Ilegal (PETI) lokasinya di Aceh tersebar di Aceh tersebar di enam kabupaten, Aceh Tengah, Pidie, Aceh Barat, Aceh Selatan, Nagan Raya dan Aceh Jaya.

Menurutnya, salah satu solusi terbaik adalah terkait wacana pengusulan diterbitkannya wilayah pertambangan rakyat pada sejumlah titik PETI. Pemerintah Aceh juga memiliki wacana untuk membuka peluang kepada BUMD untuk mengurus izin. Kemudian, untuk lokasi pertambangan yang berada dalam wilayah izin eksisting (milik perusahaan lain) bisa bekerjasama.

“Sistem mawah yang diterapkan bukan untuk Pertambangan Emas Tindak Ilegal (PETI) melainkan terhadap Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Aceh, Ini masih dalam wacana,” jelasnya.

Menurut Khairil Basyar, direncanakan alam sistem mawah terhadap pertambangan berbeda dengan sistem pertambangan sebelumnnya. Dalam sistem mawah, investor diundang, berapa habis biaya, sementara kita tetap sebagai pemilik sumber daya alam tersebut," ujarnya.

Dalam system mawah ini masih menjadi wacana dan akan terus dipersiapkan untuk diversifikasi oleh pemerintah pusat.Disaat sebuah aturan kita usulkan nanti ada verifikasi dari pemerintah pusat, jadi butuh waktu lama, semoga bisa terealisasikan," ujarnya.

Menurut Khairil, wacana tersebut sangat memungkinkan diaplikasikan di Aceh. Dikarenakan Aceh memiliki Undang Undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang menjadi Lex specialis atau hukum khusus, sehingga Aceh memiliki wewenang dalam mengelola pertambangan.

"Aceh ini mempunyai kewenangan di bidang pertambangan. Cuma kan butuh tenaga dan waktu untuk bisa mencapai dalam titik tersebut," pungkasnya.

PETI bila dibiarkan berkembang liar, bukan hanya merugikan pemerintahan Aceh, rakyat Aceh akan sangat dirugikan, karena mereka akan senantiasa berbenturan dengan hukum. Namun mereka akan tetap melakukanya demi sesuap nasi, karena ada yang memodalinya.

Alam akan rusak, kontroling tidak dapat dilakukan dengan maskimal, pemerintah akan rugi pemasukan PAD tidak ada. Sementara di lapangan luas area PETI senantiasa terus bertambah, menjamur bagaikan cendawan di musim hujan.

Sampai kapan hal ini dibiarkan? Tidak adakah orang Aceh yang mampu mengatasi persoalan ini, senantiasa membiarkanya bagaikan lingkaran setan, sementara penjara jumlahnya akan bertambah diisi oleh mereka yang dijerat dengan pasal melanggar hukum pertambangan.

Solusi dibutuhkan bukan hanya sekedar wacana dan retorika. Sementara disisi lain pihak yang menolak hadirnya pertambangan di Aceh juga dengan prinsipnya. *** Bahtiar Gayo

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda