Rabu, 11 Juni 2025
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Skandal Chromebook Rp 9,9 Triliun: Digitalisasi Pendidikan atau Ladang Korupsi?

Skandal Chromebook Rp 9,9 Triliun: Digitalisasi Pendidikan atau Ladang Korupsi?

Selasa, 10 Juni 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Ilustrasi indikasi skandal korupsi pengadaan laptop Chromebook. Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Indepth - Program digitalisasi pendidikan digulirkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai bagian kebijakan Merdeka Belajar era Menteri Nadiem Makarim (2019 - 2024). Tujuannya membekali satuan pendidikan dengan fasilitas Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk mendukung pembelajaran digital. Pada 2021 misalnya pemerintah mengalokasikan sekitar Rp 1,3 triliun untuk pembelian 190.000 laptop (produk dalam negeri bersertifikat TKDN) bagi 12.000 sekolah.

Selain itu pemerintah daerah menggelontorkan Rp 2,4 triliun melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk 240.000 unit laptop ke sekolah - sekolah setempat. Menurut Nadiem, kebutuhan laptop dan TIK sangat penting di era pandemi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Namun pengawasan program ini sempat mendapat sorotan. Peneliti ICW dan KoPEL telah memperingatkan bahwa pengadaan massal di masa pandemi bukan prioritas, mengingat pengadaan harusnya berbasis usulan daerah (bottom - up).

Mulai Pengadaan Laptop Chromebook

Pada 2020 - 2022 Kemendikbudristek merencanakan pengadaan laptop berbasis Chrome OS (Chromebook) bagi sekolah dasar, menengah pertama, dan atas. Proyek ini melibatkan anggaran sangat besar, total sekitar Rp 9,9 triliun.

Rinciannya, menurut Kejagung, sekitar Rp 3,58 triliun bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (melalui Dana Satuan Pendidikan) dan Rp 6,3 triliun dari DAK. Spesifikasi perangkat Chromebook yang dipilih beralasan lebih aman dan murah, namun membutuhkan koneksi internet stabil.

Padahal uji coba awal pada 2019 dengan 1.000 unit Chromebook sudah dianggap tidak efektif untuk belajar karena keterbatasan jaringan. Meski demikian, Kemendikbudristek kemudian membentuk tim teknis baru dan “diarahkan” agar dalam kajian pengadaan justru terunggul laptop dengan sistem operasi Chrome.

Publikasi awal proyek menyebut pengadaan hingga 2024 menjangkau ratusan ribu sekolah, meski detail distribusi menurut ICW tidak transparan dan berpotensi melewati prosedur (tidak terdata di sistem LKPP).

Kronologi Pengungkapan Dugaan Korupsi

Penyelidikan dimulai dari sorotan publik atas keberlanjutan program di tengah pandemi. ICW dan KoPEL sejak 2021 mendesak agar Kemendikbudristek menunda pengadaan ini karena tidak masuk skala prioritas. Namun tindak lanjut resmi muncul pada Mei 2025, saat Kejaksaan Agung mengusut kasus tersebut. Kasus dinaikkan ke tahap penyidikan sejak 20 Mei 2025.

Pada 26 Mei 2025, Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar mengungkap bahwa tim penyidik telah memeriksa puluhan saksi (28 orang), termasuk dua mantan staf khusus menteri. Dalam pekan terakhir Mei dan awal Juni 2025, Kejagung melakukan penggeledahan di beberapa lokasi terkait.

Selanjutnya pada 21 Mei 2025, apartemen dua mantan stafsus (Jurist Tan dan Fiona Handayani) digeledah; kemudian pada 2 Juni 2025 giliran rumah stafsus ketiga (Ibrahim Arief) digeledah. Dari penggeledahan tersebut disita puluhan ponsel, laptop, dan bukti elektronik lain yang kini diperiksa penyidik. Ketiga eks - stafsus ini sempat mangkir pemanggilan dan akhirnya 4 Juni 2025 dicekal bepergian ke luar negeri. Kejagung kemudian melayangkan pemanggilan ulang untuk pemeriksaan mulai 10 Juni 2025.

Hingga saat ini penyidikan berjalan intensif, dengan media menggambarkan kasus ini sebagai dugaan pemufakatan jahat mengabaikan kajian teknis demi keuntungan kelompok tertentu.

Pihak - Pihak yang Diduga Terlibat

Penyidik menitikberatkan pada pejabat Kemendikbudristek dan pihak penyedia. Sejauh ini 28 saksi telah diperiksa, termasuk tiga eks-staf khusus Mendikbudristek Nadiem Makarim (Fiona Handayani, Jurist Tan, Ibrahim Arief). Kejagung juga mengidentifikasi 5 vendor penyedia Chromebook yang terlibat dalam proyek ini; nama-nama vendor tersebut belum dipublikasikan.

ICW maupun Kopel menyoroti bahwa selain stafsus, pihak lain seperti pejabat pembuat komitmen (PPK), kuasa pengguna anggaran (KPA), bahkan Nadiem sebagai pengguna anggaran, seharusnya ikut diperiksa. Selain itu, syarat TKDN yang ketat dalam spesifikasi menyebabkan hanya sedikit penyedia lokal yang mampu mengikuti, diduga menimbulkan monopoli pasar.

Hingga sekarang belum ada pejabat tinggi yang ditetapkan tersangka; status ketiganya masih sebagai saksi. Isu kepentingan hubungan (conflict of interest) sempat mencuat di media, namun Kejagung menegaskan kasus ini tetap ditangani secara profesional.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar menegaskan penyidikan kasus ini masih berlangsung intensif hingga Juni 2025. Penyidik Kejagung terus mendalami modus operandi proyek ini, terutama ketidaksesuaian antara volume pembelian dan kebutuhan riil. Pada 3 Juni 2025, Harli menyatakan belum ada tersangka karena penyidikan masih umum, namun kasus ini diperkirakan akan dijerat Pasal 2/3 UU Tipikor (kerugian negara) atau Pasal suap/gratifikasi jika ditemukan.

Langkah penyidik meliputi pemeriksaan saksi-saksi terkait, penggeledahan, serta penelusuran dokumen pengadaan. Penyidik juga menyorot indikasi penyelewengan anggaran, seperti dugaan mark-up harga dan pemungutan biaya ilegal saat distribusi barang. Meskipun spekulasi berkembang, Kejagung memastikan Mendikbudristek Nadiem Makarim tidak ditetapkan sebagai DPO maupun tersangka dalam kasus ini. Semua tersangka dan pasal akan ditentukan setelah penyidikan tuntas.

Estimasi Kerugian Negara

Hingga kini belum ada perhitungan resmi kerugian negara akibat kasus ini. Seperti dikemukakan ICW, baik modus maupun kerugian masih belum terang. Total anggaran proyek pembelian Chromebook sendiri mencapai sekitar Rp 9,9 triliun. Angka ini cukup besar dibandingkan alokasi belanja TIK sekolah biasa. Sebagai perbandingan, ICW mencatat dalam kurun 2015 - 2023 terjadi 424 kasus korupsi sektor pendidikan dengan total kerugian negara lebih dari Rp 916 miliar.

Temuan awal jaksa mengindikasikan adanya selisih harga media melaporkan harga satuan Chromebook di kontrak melambung melebihi estimasi pasar yang dapat menunjukkan kerugian negara. Namun, sampai semua pemeriksaan rampung, angka pasti kerugian negara masih misteri.

Kejadian ini telah menimbulkan keprihatinan luas di dunia pendidikan. Hasil investigasi lapangan menunjukkan penggunaan Chromebook di sekolah jauh dari target. Misalnya, Republika menemukan di sebuah SMA di Jakarta puluhan unit Chromebook (merk Zyrex) hanya. Temuan serupa oleh Pustekkom menguatkan bahwa daya guna Chromebook rendah untuk kebutuhan belajar di banyak sekolah.

Akibatnya, ratusan miliar rupiah anggaran program digitalisasi tidak sepenuhnya berkontribusi pada peningkatan kualitas belajar“mengajar. Hal ini turut memunculkan kekhawatiran soal kepercayaan masyarakat: dana pendidikan yang dianggarkan untuk masa depan siswa malah banyak terbuang. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (pengganti Kemendikbudristek), Mendikdasmen Abdul Mu’ti, menegaskan siap kooperatif mengusut kasus ini dan berharap penegakan hukum berjalan adil. Ia juga berharap agar hasil pendistribusian bantuan laptop dan capaian program digitalisasi 2019“2024 diumumkan publik sebagai bentuk akuntabilitas.

Tanggapan Pemerintah dan Penegak Hukum

Pemerintah menyatakan dukungan penuh terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah) menegaskan kooperasi dengan Kejagung. Menurut Nadiem (saat menjabat Mendikbudristek), pengadaan laptop bertujuan mendukung industri teknologi dalam negeri dan tidak ada maksud lain.

Sementara itu Kejagung menegaskan konsistensi penegakan hukum. Kapuspenkum Harli Siregar berkali-kali membantah kabar bohong, misalnya pernyataannya bahwa Nadiem tidak masuk daftar pencarian orang (DPO).

Kejagung juga menegaskan akan memeriksa siapa saja pihak yang dominan di balik proyek ini, termasuk kemungkinan pimpinan Kemendikbudristek saat itu. Lembaga antikorupsi (ICW, Kopel) mendesak pemerintah memastikan tidak ada pejabat yang kebal hukum; ICW bahkan meminta penegak hukum memeriksa Pejabat Pembuat Komitmen, Kuasa Pengguna Anggaran, dan mantan menteri sebagai bagian penyidikan. Rakyat menunggu transparansi proses ini agar pengawasan anggaran pendidikan menjadi lebih baik ke depan.

Pengawasan Anggaran Pendidikan

Agar tidak mengulangi hal serupa di kemudian hari terkait pengadaan laptop, Direktur Eksekutif The Aceh Institute, Muazzinah, B.Sc., MPA, menurutnya kasus ini menegaskan pentingnya reformasi tata kelola proyek besar pendidikan.

“Penggunaan anggaran negara harus berdasarkan kebutuhan riil di lapangan dan diawasi ketat,” ujarnya kepada Dialeksis saat dihubungi, Selasa (10/06/2025).

Dengan menegakkan reformasi pengawasan, diharapkan anggaran pendidikan lebih efisien dan fokus pada peningkatan mutu pendidikan, kesejahteraan peserta didik dan guru. Sehingga keseimbangan dan kesempurnaan dalam perkembangan indeks pembangunan manusia di Indonesia menjadi lebih baik” tutup Dosen kebijakan publik FISIP Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.

“Untuk mencegah pengulangan, sistem pengadaan perlu transparan dan akuntabel: rencana belanja harus tercatat di portal publik (SiRUP), usulan bersifat bottom - up, serta evaluasi hasil proyek dipublikasi,” tambah aktivis perempuan ini.

Bahkan kritik tajam di sampaikan Indonesia Corruption Watch menyoroti bahwa konspirasi jahat diduga terjadi ketika rekomendasi tim teknis (bahwa Chrome OS tidak cocok untuk daerah 3T) diabaikan demi spesifikasi tertentu. Praktik semacam ini, menurut ICW, senantiasa mengintai anggaran pendidikan nominal besar.

DPR dan pengawas internal harus berperan aktif memantau penyerapan mandatory spending pendidikan agar setiap rupiah manfaatnya jelas. Dengan menegakkan reformasi pengawasan, diharapkan anggaran pendidikan lebih efisien dan fokus pada peningkatan mutu sekolah dan kesejahteraan siswa.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI