Program “Unik” Handuk BRA
Font: Ukuran: - +
Reporter : Baga
Apakah handuk kebutuhan urgen bagi mantan kombatan GAM, sehingga Badan Reintegrasi Aceh (BRA) menyiapkan anggaran mencapai Rp 1,2 miliar untuk membeli handuk? Bantuan sosial berupa handuk itu akan diterima para mantan kombatan dan korban konflik.
Daftar nama penerima handuk sudah disiapkan. Puluhan ribu lembar handuk ini merupakan program “eklusif” BRA, sehingga anggaran APBA 2021 ini menjadi pembahasan publik. Urgenkah handuk sehingga BRA mencantumkanya sebagai program mereka?
Tak hayal program yang dinilai banyak pihak di luar nalar itu menjadi sorotan. Kualitas manusia yang mengusulkan dan menetapkan nilai anggaran untuk handuk ini dipertanyakan. Sebuah program yang mengerutkan kening dan menarik untuk dikaji.
Pengamat kebijakan publik Aceh, Dr Nasrul Zaman menilai, soal anggaran puluhan ribu handuk oleh Badan Reintegrasi Aceh (BRA) merupakan cerminan dari buruknya proses perencanaan di Pemerintah Aceh.
Nasrul menilai, seperti ada akselerasi program sejak masa pemerintahan Irwandi-Nova tahun 2017 lalu dengan kepemerintahan Aceh yang sekarang.
“Saat ini, hampir seluruh Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) melakukan copy-paste dengan program tahun sebelumnya. SKPA sekarang sangat minim inovasi dan kreatifitas dalam penyusunan program untuk percepatan capaian visi dan misi Pemerintah Aceh,” sebut Nasrul.
Menurut Nasrul menjawab Dialeksis.com menyebutkan, seharusnya Gubernur Aceh dan Sekda menjadikan memperhatikan keadaan ini, melakukan hal hal yang penting untuk rakyat. Bukan hanya sekedar bagi masker, dan mengurus handuk.
Nasrul khawatir, kebijakan dan program yang seperti ini akan terus terjadi berulang-ulang untuk tahun berikutnya. Oleh karena itu, Nasrul meminta Pemerintah Aceh untuk meningkatkan kapasitas bagi eselon IV pada setiap SKPA dan unit Pemerintah Aceh.
“Jangan sampai nanti Gubernur Nova Iriansyah dianggap orang tidak meninggalkan legacy (warisan) apapun pasca jabatannya berakhir tahun 2022 mendatang dan itu sangat menyedihkan,” jelasnya.
Bagaimana menurut kacamata LSM? Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) juga memberikan penilaian yang tak kalah menariknya dengan Nasrul Rizal. MaTA meminta Pemerintah Aceh untuk segera mengevaluasi kinerja Badan Reintegrasi Aceh (BRA) saat ini.
Alfian MaTA menilai, kebijakan yang dipopulerkan BRA melalui program handuk tidak ada relevansi dengan kebutuhan para korban dan eks kombatan. Seperti acara motor gede (Moge) dan pengadaan handuk untuk eks Kombatan dan korban konflik, apa relevansinya.
“Ini kebijakan yang tidak ada relevansinya dengan kebutuhan sebenarnya. Seperti ada yang tidak beres diperencanaan dan ini perlu dievaluasi secara menyeluruh, terutama terhadap kinerja BRA,” kata Koordinator MaTA, Alfian melalui keterangan tertulis yang diterima Dialeksis.com Kamis (25/3/2021).
Alfian menilai, tata kelola BRA saat ini sudah menjadi perhatian publik. Maka tiap perencanaan harus berbasis kebutuhan para korban, bukan kebijakan yang tidak waras dimunculkan.
“Apakah mantan kombatan dan korban konflik saat ini kebutuhannya handuk? kalau alasan hanya perencanaan dibuat sementara malah lebih bahaya lagi karna anggaran yang telah teralokasi wajib direalisasikan dan sesuai dengan kewenangan,” jelas Alfian.
MaTA memandang perlu ada perhatian semua pihak terhadap tata kelola BRA saat ini. Sehingga harapan ke depan, para korban konflik dan mantan Kombatan dapat terpenuhi sesuai dengan kebutuhannya.
“Anggaran Aceh yang saat ini mereka kelola tidak boleh terjadi bentuk kesewenang-wenangan. Jadi BRA perlu dibangun dengan transparan yang bisa memberi kepercayaan kepada korban dan publik untuk memiliki kewajiban mengontrol terhadap kinerja BRA saat ini,” kata Alfian.
Rasa keadilan? Bagaimana dengan rasa keadilan tentang program handuk ini? Koordinator Masyarakat Pengawal Otsus (MPO) Aceh, Syakya Meirizal mempertanyakan Bantuan Sosial (Bansos) apakah sudah memenuhi rasa keadilan bagi kalangan mantan kombatan dan korban konflik di Aceh.
Menurut Syakya, jika program ini tidak mampu menjawab persoalan substansial bagi eks kombatan dan korban konflik, maka kepentingan program Bansos yang dianggarkan dalam APBA 2021 ini dianggap hanya untuk kepentingan oknum-oknum tertentu.
“Jika hanya sekedar menghambur-hamburkan uang takziah korban perang untuk kepentingan oknum-oknum tertentu, maka Gubernur Nova, Sekda Taqwa dan Ketua BRA wajib mempertanggungjawabkannya kepada seluruh rakyat Aceh,” tulis Syakya melalui postingan Facebook pribadi sebagaimana dikutip Dialeksis.com, Selasa (23/3/2021).
Dalam postingannya itu, Syakya juga melampirkan lembaran data penerima Bansos tersebut. Ia juga meminta warga net untuk menilai soal kepatutan dan kelayakan penerima Bansos dari BRA itu.
Ramai menjadi pembahasan, namun alasan mengapa menjadi program handuk, jawaban sederhana didapatkan dari pengelola anggaran BRA. Jawaban klasik bagaikan tanpa beban.
Menurut Nurmalis, Kepala Bagian Data, Program dan Keuangan BRA, menjawab AJNN menjelaskan, bahwa nama handuk dalam DPA milik BRA untuk menyelamatkan anggaran sehingga dibuat nama sementara.
Menurut Nurmalis, kegiatan yang akan dilakukan BRA merupakan pemugaran 159 unit makam di Aceh Besar, memberikan bantuan becak, modal usaha serta modal rehabilitasi mental.
Namun, lanjut Nurmalis, karena belum ada komponen untuk makam syuhada, sehingga pihaknya mencantumkan nama handuk untuk sementara agar menyelamatkan anggaran.
"Anggarannya sebesar Rp 1,2 miliar, nama handuk itu untuk menyelamatkan anggaran, karena pada saat input anggaran dalam aplikasi SIPD belum tersedia komponen untuk makam syuhada, jadi untuk menyelamatkan anggaran kita tarok untuk sementara," kata Nurmalis.
Saat ini, kata Nurmalis, pihaknya sedang menunggu revisi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sehingga, ketika revisi sudah turun pihaknya segera merevisi nama tersebut.
Apakah mendesak kebutuhan ini sehingga anggaran perlu direvisi? Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Mochamad Ardian Noervianto menjelaskan terkait mekanisme perubahan kegiatan dari sebelumnya nama handuk akan berubah menjadi nama lain tidak jadi masaalah jika kegiatan tersebut sangat mendesak.
Namun, kata Mochamad Ardian, jika kegiatan tersebut tidak mendesak, maka pihak Badan Reintegrasi Aceh (BRA) harus menunggu perubahan ABPA 2021.
"Jika kegiatanya tidak mendesak dan darurat harus menunggu perubahan APBA. Jika masuk kategori mendesak dan darurat silahkan aja dirubah," kata Mochamad Ardian, seperti dilansir AJNN.
Untuk lebih lanjut, Mochamad Ardian meminta agar menanyakan langsung kepada Sekretaris Daearah (Sekda). Sebab, SIPD bukan instrumen atas kebijakan pembayaran tetapi SIPD sifatnya merekam.
"Sebaiknya ditanyakan ke Pak Sekda, SIPD bukan instrumen atas kebijakan pembayaran tetapi SIPD sifatnya merekam," tutupnya.
Mendesak dan daruratkah program BRA ini sehingga harus direvisi. Publik disuguhkan dengan pertanyaan yang jawabanya belum berujung.
Mungkin menurut pihak BRA itu mendesak dan darurat sehingga harus diubah dari program handuk menjadi program pemugaran 159 unit makam di Aceh Besar, memberikan bantuan becak, modal usaha serta modal rehabilitasi mental.
Bila benar program itu urgen, mengapa pihak BRA tidak menyiapkan dari awal? Nasrul Rizal Pengamat kebijakan publik Aceh sudah memberikan penilaian ini merupakan cerminan dari buruknya proses perencanaan di Pemerintah Aceh. Bagaimana penilaian Anda? **** (Bahtiar Gayo)