Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Pertanahan di Aceh, Kepala Dikasih Ekor Dipegang

Pertanahan di Aceh, Kepala Dikasih Ekor Dipegang

Selasa, 19 Februari 2019 14:04 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh -  Masyarakat di Aceh bertanya, hingga saat ini sejauh mana wewenang Dinas Pertanahan Aceh? Dinas ini diberikan kekuasaan, namun seperti perumpamaan, kepala dikasih ekor dipegang.

Dinas Pertanahan Aceh hingga kini belum dapat melaksanakan kewenangan meski sudah hampir tiga tahun lalu dibentuk. Memunculkan tanda tanya di masyarakat Aceh.

Jika merujuk Undang-undang Pemerintah Aceh, BPN di Aceh akan beralih menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2015 juga mengamanatkan hal serupa, bahwa kantor wilayah pertanahan di Provinsi Aceh dan kabupaten/kota akan menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota. Namun hingga kini Pemerintah Pusat belum mengalihkan kewenangan kepada Dinas Pertanahan Aceh yang sudah dibentuk berdasarkan perundang-undangan itu.

Melalui media ini Kepala Dinas Pertanahan Aceh Dr Edi Yandra SSTP MSP, mengatakan saat ini dinas yang dipimpinnya sangat terkendala dalam melakukan kerja-kerjanya akibat kewenangan belum sepenuhnya diberikan pemerintah pusat.

Menurut Edi, saat ini Dinas Pertanahan Aceh dan kabupaten/kota hanya menjalankan sembilan dari 22 kewenangan yang harusnya dimiliki dinas tersebut berdasarkan lampiran huruf J UU 23 tahun 2014 meliputi, izin lokasi, penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, penyelesaian sengketa tanah garapan, penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat, pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong, pemberian ijin membuka tanah danperencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.

"Selebihnya 13 kewenangan yang ada dalam PP 3 Tahun 2015, belum operasional untuk dilaksanakan dan menunggu Qanun Aceh tentang Kewenangan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kab/Kota," kata Edi.

Edi menyebutkan setidaknya ada sejumlah manfaat dan kelebihan urusan pertanahan jika ditangani perangkat daerah seperti penanganan penyelenggaraan urusan pertanahan terpadu (satu pintu) sehingga penyelesaian seluruh permasalahan urusan pertanahan lebih mudah terselesaikan dan kesejahteraan masyarakat akan meningkat.

"Kemudian juga dapat meminimalisir benturan antar intansi/tupoksi sehingga tupoksi

urusan pertanahan lebih jelas, sumber anggaran dari APBN dan APBA/APBK sehingga menjadi lebih besar dan pejabat eselon bertambah sehingga kesempatan karir ASN lebih baik," katanya.

Akibat pelimpahan kewenangan yang tidak sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat, Dinas Pertanahan Aceh saat ini mengalami berbagai kendala dalam menjalan tupoksinya seperti, banyaknya permasalahan sengketa dan konflik tanah khususnya yang telah bersertifikat kurang tertangani, sehingga masyarakat meminta Pemerintah Aceh/Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menyelesaikan. Hal ini disebabkan karena data & dokumen tidak dimiliki oleh Pemerintah Aceh.

"Pemerintah Aceh juga belum memiliki tenaga teknis pengukuran yang legal dalam rangka kepentingan penyelesaian permasalahan tanah Kurangnya pembinaan PPAT,  lambat dan banyaknya permasalahan proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan program pensertifikatan tanah milik masyarakat miskin masih belum berjalan," ungkapnya.

Disisi lain, berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN), jumlah sengketa konflik dan perkara pengadilan mengenai pertanahan berjumlah sekitar 8.500 kasus. Jumlah kasus ini tersebar di seluruh wilayah provinsi di Indnesia.

Catatan LBH Banda Aceh, dari rentang  2005 - 2016, terdapat 76 kasus konflik pertanahan di Aceh yang belum terselesaikan dan terus meningkat setiap tahun. Di akhir tahun 2017, Kasus konflik agraria yang tersebar di sejumlah wilayah di Aceh masih tetap saja langgeng dan belum terselesaikan, diantaranya kasus masyarakat Babahrot, Aceh Barat Daya yang berkonflik dengan PT Dua Perkasa Lestari; perkara konflik masyarakat Cot Mee, Nagan Raya yang berkonflik dengan PT Fajar Baizury and Brothers; konflik masyarakat Krueng Simpo, Kabupaten Bireuen dengan PT Syaukath Sejahtera; serta kasus masyarakat Gampong Tengku Tinggi, Tanjung Lipat I, Tanjung Lipat II, Perkebunan Sungai Iyu dan Paya Rahat, Kabupaten Aceh Tamiang yang berkonflik dengan PT Rapala.



Macetnya Peralihan Status

Jaringan Survey Inisiatif (JSI) juga merilis kajian pelimpahan Kewenangan Badan Pertanahan Aceh, dalam kajian itu disebutkan dikeluarkannya PP Nomor 23 tahun 2015 belum menyelesaikan persoalan.

Terdapat sejumlah kendala besar yang menjadikan pengalihan kantor BPN Aceh dan Kantor BPN Kabupaten Kota menjadi perangkat daerah Aceh maupun perangkat daerah Kabupaten/Kota berujung pada stagnasi.

Macetnya pengalihan status kelembagaan tersebut dapat disederhanakan dalam dua masalah utama meliputi belum terbentuknya tim pengalihan status kelembagaaan dan Disharmonisasi hukum/Benturan peraturan perundangan. (lihat : http://jsi.web.id/2019/02/mengurai-sengkarut-regulasi-kelembagaan-badan-pertanahan-aceh/ )

Dalam kajian itu JSI menyimpulkan proses pengalihan status kelembagaan Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Aceh Kab/Kota terkendala karena adanya proses tarik ulur antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh.

PP yang seharusnya selesai tahun 2008 molor menjadi tahun 2015. Demikian juga dengan tim pengalihan yang seharusnya telah terbentuk pasca sebulan PP 23 Tahun 2015 diundangkan hingga kini belum dibentuk oleh Pemerintah Pusat.

Kemudian sebagai lex specialis di Aceh, secara kelembagaan Badan Pertanahan Aceh sejatinya mampu mencerminkan otonomi khusus Aceh berdasarkan UUPA, khususnya kedaulatan dan kemandiran dalam pengelolaan sektor agraria di Aceh.

Namun kewenangan ini menjadi tergerus dengan adanya sejumlah regulasi yang dikeluarkan dalam rangka meminimalisir kewenangan pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal pengelolaan tanah di Aceh. Pusat ingin tetap memegang kendali/kontrol terhadap pengelolaan sektor agraria di Aceh, khususnya yang bersifat strategis.

JSI mendesak Pemerintah Pusat agar secepatnya membentuk tim pengalihan kelembagaan agraria di Aceh. Yaitu BPN dan Kantor Pertanahan Kab/kota menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Kab/kota yang merupakan bagian dari SKPA maupun SKPD.

Serta melakukan harmonisasi peraturan perundang undangan, terutama merevisi ketentuan PP Nomor 23 Tahun 2015 dan PP Nomor 3 Tahun 2015 agar sejalan dengan UUPA maupun peraturan pemerintahan daerah.

Dilansir Portalsatu.com, Anggota DPR Aceh, Iskandar Usman Al-Farlaky menyebutkan tidak ada sesuatu yang istimewa dari pemberlakukan Badan Pertanahan Aceh. Selama ini lembaga tersebut hanya menjalankan tugas dan fungsi koordinasi saja, Kewenangan yang diberikan juga setengah- tengah.

Dikatakan Iskandar, pengalihan personel, pembiayaan, Perlengkapan dan Dokumen (P3D) dari BPN ke BPA melalui gubernur sampai sekarang tidak dilakukan. Selama ini, kata dia, BPA diberikan kewenangan terkait izin lokasi, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, penyelesaian sengketa tanah, dan ganti rugi tanah.

"Kelembagaan BPA yang dibentuk dengan qanun SOTK baru itu seperti macan ompong. Kita berharap, keberadaan BPA bisa mengatur, mengurus peruntukan, pemanfaatan tanah bagi rakyat Aceh," ujarnya.

Seharusnya kata Iskandar, dengan hadirnya lembaga otonom seperti BPA ini, maka Kanwil BPN lebur dan bergabung dengan lembaga otonom baru. Kasus ini sama dengan Dinas Pendidikan yang sebelumnya lembaga vertikal, begitu menjadi Dinas Pendidikan, Kanwil Pendidikan menjadi lebur dengan sendirinya.

Menurutnya, keberadaan BPA sebagaimana diamanatkan dalam UUPA harus bertaring, meski dalam Perpres 23 tahun 2015 soal pengalihan lembaga ini banyak pasal dan ketentuan di dalamnya tidak sesuai dengan hasil pembahasan tim Aceh dengan Jakarta.

"Maka, kita sudah pernah melayangkan surat keberatan, tapi sampai kini belum direspon oleh pusat. Waktu itu kita sampaikan keberatan Perpres 23 tahun 2015 dan PP 3 Tahun 2015 tentang kewenangan pemerintah yang bersifat nasional di Aceh. Sangat lamban sekali, pusat terkesan membiarkannya begitu saja. Padahal sudah lama keberatan itu dikirim oleh pihak Aceh," ujar mahasiswa program magister Fisipol Unida Banda Aceh itu.

Politisi Partai Aceh ini mengungkapkan,  keberatan sebelumnya sempat dibawa  dalam rapat bersama antara Pemerintah Aceh dan DPRA, menghasilkan sejumlah item yang menjadi poin-poin keberatan untuk selanjutnya Pemerintah Aceh menyampaikan secara resmi ke Pemerintah Pusat di Jakarta. Hal yang memicu keberatan terdapat dalam dua aturan yang telah diberikan ke Aceh tersebut, diantaranya harus dilakukan peninjauan ulang kembali materi PP N0 3 Tahun 2015 Tentang Kewenangan.

Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh, khususnya terhadap materi yang tidak sesuai dengan MoU Helsinki dan UUPA/atau tidak dibahas bersama dengan tim pemerintah Aceh waktu itu, serta mereduksi kewenangan yang sudah ada.

Adapun materi tersebut, sambung mantan aktivis mahasiswa ini, a) pasal 10 ayat (1), tidak pernah dibahas dengan tim Pemerintah Aceh: b) pasal 10 ayat (2) dan ayat (3), bertentangan dengan pasal 213 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) UU N0 11 Tahun 2006. Begitu juga dengan pasal 11 mereduksi kewenangan yang telah ada dan bertentangan dengan pasal 213 UUPA, UU N0 2 Tahun 2012 dan lampiran bidang pertanahan UU N0 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.

Selain  itu, di Peraturan Presiden N0 23 Tahun 2015 terjadi penambahan tanpa melalui pembahasan, pada pasal 6 yakni kepala Badan Pertanahan Aceh sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1), diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional atas usul Gubernur Aceh.

Lalu di pasal 9, Kepala Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1), diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agraria  dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional atas usul Gubernur Aceh.

"Tambahan pada batang tubuh sebahagian tidak sejalan dengan pasal 111 ayat (4) dan ayat (5) serta pasal 253 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006. Subtansi tambahan dalam batang tubuh cenderung mereduksi kewenangan pemerintah Aceh seperti pengangkatan dan pemberhentian Kepala Badan Pertanahan dan Kepala Kantor PertanahanKabupaten/Kota. Kita menginginkan agar seluruh produk hukum yang dihasil benar- benar menguntungkan Aceh," ujarnya. (PD)




Keyword:


Editor :
Pondek

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda