kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Mengapa Masjid Cut Meutia Harus Ditutup?

Mengapa Masjid Cut Meutia Harus Ditutup?

Minggu, 25 Februari 2024 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

Foto: Net

DIALEKSIS.COM | Indept - Viral di dunia maya, membuat Masjid Cut Meutia di Banda Aceh menjadi perhatian. Publik menanggapinya dengan beragam pernyataan. Pro dan kontra penutupan sementara masjid ini tidak terelakan.

Penutupan sementara Masjid Cut Meutia di Banda Aceh telah menciptakan gelombang kontroversi. Muncul pertanyaan yang mendalam terkait pengelolaan tempat ibadah, relasi antara lembaga pendidikan dan keagamaan, serta dinamika sosial masyarakat Aceh secara umum.

Bagaimana pendapat mereka soal penutupan masjid ini. Pro dan kontra menarik untuk disimak, agar melahirkan sebuah solusi yang tepat. Ibarat menarik rambut di tepung, rambut tertarik, tepung tidak berserak. Dialeksis.com merangkumnya dari berbagai sumber.

Kisah ini berawal ketika masjid ini ditutup, Jumat (23/2/2024) sore, salah seorang jamaah masjid mengunggah video yang menunjukkan ketidakpuasannya atas penggunaan masjid oleh siswa SMK Yayasan Cut Meutia. 

Video ini menjadi viral dan menciptakan kontroversi di media sosial. Kontroversi semakin memuncak ketika adu argumen terjadi antara pihak sekolah dan jamaah masjid.

Pihak keamanan setempat kemudian turun tangan untuk melakukan mediasi. Namun, belum ada informasi resmi yang diperoleh terkait penyebab pasti penutupan tersebut dari pihak Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh dan aparat keamanan setempat.

Sebelum persoalan ini viral dalam beberapa hari ini, para tokoh masyarakat sekemukiman Baiturahman, Forum Mukim, Keuchik, Tuhapeut Gampong, Imum Gampong dan tokoh-tokoh masyarakat dan adat, sudah menggelar rapat di Aula Kantor Camat, Senin 18 Desember 2023 lalu.

Dalam berita acara hasil rapat tersebut seperti yang diterima Dialeksis.com, topik materi yang dibahas menyelesaikan permasalahan keresahan masyarakat Gampong Ateuk Pahlawan, atas keberadaan Jama’ah Mesjid Yayasan Cut Meutia.

Menutup segala bentuk pengajian dan aktifitas keagamaan selain kegiatan proses belajar mengajar yang dilaksanakan di Mesjid Yayasan Cut Meutia. Mengembalikan fungsi yayasan sesuai yang diatur oleh kementerian Pendidikan RI.

Rapat memutuskan pemberhentian segala aktifitas di Mesjid Yayasan Cut Meutia Aceh diluar jam pelajaran sekolah, baik itu untuk perorangan maupun masyarakat umum.

Mengembalikan fungsi mesjid sebagai sarana aktifitas siswa dan guru untuk mendukung kegiatan sekolah dibawah Yayasan Cut Meutia Aceh.

Menolak Program Islamic Boarding School (IBS) yang di programkan oleh TIM pengembang sekolah (Pengurus Mesjid).

Untuk menyukseskan hasil rapat koordinasi ini, ada berepa rekomendasi pihak yang mendukung, antara lain Forum Muki, untuk emantau dan mengkaji kembali pengajian yang ada di Mesjid Cut Meutia agarberjalan sesuai dengan Syari’at Islam di Aceh.

Memberikan pertimbangan MPU Kota Banda Aceh untuk menetapkan keputusan yang harus diambil dalam permasalahan ini.

Sementara tokoh agama diberikan peran memantau dan mengkaji kembali pengajian yang ada di Mesjid Cut Meutia agar berjalan sesuai dengan Syari’at Islam di Aceh. Memberikan pertimbangan kepada MPU Kota Banda Aceh untuk menetapkan keputusan yang harus diambil dalam permasalahan ini.

Untuk Keuchik-Keuchik, membantu dalam proses penertiban sebagai pengawasan dilingkungan yayasan Mesjid Cut Meutia. Mengawasi dan berkoordinasi dengan pihak terkait terhadap proses pendidikan dilingkungan yayasan Mesjid Cut Meutia.

Sebuah Informasi diunggah oleh akun instagram bandaaceh.info, Jumat malam (23/2/2024), akun tersebut mengunggah sebuah foto pamplet yang ditempelkan di gerbang sekolah dengan bertulisan "Untuk Sementara Masjid Ini Ditutup untuk Umum dan SMK", akun bandaaceh.info tidak menuliskan penyebab ditutupnya masjid itu.

Postingan itu pun menuai beragam komentar warganet. Paling banyak netizen menduga masjid tersebut ditutup karena diduga sering dikunjungi oleh jemaah beraliran Wahabi.

Seperti yang dituliskan akun @apa_syam77 "Masjid itu dikuasai oleh wahabi". Akun @tgk_zainuddin.ubit menuliskan "Di Aceh wahabi sembunyi-sembunyi pas ketahuan ya gitu deh". @wahyu_van_houten "Wahabi di Aceh ka ramee, rata sagoe kana".

Selain itu ada juga komentar, "Nyo memang mesjid nyoe dikuasai wahabi saboh get cit geucok pulang lee pemko. Semoga mesjid laen yg dikuasai wahabi bagah geuambil alih lee pomko sgolom jeut keu mslh rayeuk", tulis akun @dhop.210.

Penjelasan Yayasan

Persoalan ini menjadi konsumsi publik, bagaimana penjelasan yayasan. Melalui Kuasa Hukum Yayasan Cut Mutia Aceh, Nauval Pally Taran, S.H. dan Tim.(Kantor Hukum Ethics Lawyers), mengirimkan relis kepada Dialeksis.com, Minggu (25/02/2024). Ini penjelasanya.

Pada Selasa (20 Februari), pihak sekolah SMK Farmasi Cut Mutia meminta izin kepada Ketua Yayasan Cut Mutia (Hj. Rohani) untuk menyelenggarakan kegiatan pramuka pada hari Selasa dan Kamis dengan memakai tempat ruang upacara dan masjid. Dan pihak yayasan memberikan izin untuk pemakaian tempat tersebut.

Pada Kamis pagi, peserta kegiatan (dari siswa-siswi SMK dan para guru termasuk pihak sekolah) melaksanakan kegiatan zikir di masjid yang berlangsung hingga menjelang zuhur. 

15 menit sebelum zuhur, pihak BKM meminta pihak SMK untuk berhenti sejenak untuk persiapan shalat zuhur berjemaah termasuk mengatur saf shalat agar perempuan dan laki-laki dapat terpisah shalat di safnya masing-masing seperti biasanya.

Namun, pihak SMK menolak permintaan tersebut dan melanjutkan zikir berjemaah hingga tiba waktu zuhur. Sehingga mereka shalat dengan saf yang tidak teratur antara laki-laki dan perempuan. Akibatnya, sebagian Jemaah masjid Cut Mutia pergi mencari masjid lain karena kondisinya tidak nyaman.

Pada jumat pagi kegiatan zikir di masjid berlanjut. Artinya, ini adalah hari kedua mereka tidak melaksakan kegiatan belajar mengajar seperti biasa dan berkegiatan lain dengan menduduki masjid.

Pada hari jumat ketika menjelang waktu asar, Rosadi, bendahara BKM masjid mencoba bernegosiasi agar shalat asar bisa dilakukan dengan format yang tertib sebagaimana aturan BKM, agar semua jemaah dari mana saja bisa shalat dengan nyaman seperti biasa.

Pada saat itu pak Rosadi juga mencoba untuk mendokumentasi keadaan di dalam masjid untuk melaporkan kepada ketua BKM. Tetapi ketika saya hendak mendokumentasikan, saya seketika diteriaki oleh kepala sekolah, beberapa guru dan siswa-siswa dengan teriakan “usir wahabi”. Pak Rosadi dikerumuni dan diusir keluar dari masjid. 

Di jelaskan penasihat hukum ini, Pak Rosadi tidak melakukan perlawanan dan memilih mundur untuk menghindari cekcok berlanjut. Tetapi ternyata momen itu dijadikan peluang untuk memperbesar masalah, di mana pihak sekolah turut memanggil aparat kepolisian setempat. 

Sore itu juga, pihak SMK sekonyong-konyong memasang spanduk penutupan masjid, dengan disaksikan aparat kepolisian. 

Penasihat hukum ini juga menjelaskan kedudukan hukum lembaga pendidikan dan masjid di bawah Yayasan Cut Mutia Aceh.

Berdasarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Yayasan Cut Mutia Aceh, masjid dan sekolah (termasuk SMK) adalah dua entitas berbeda di bawah yayasan yang masing-masing menjalankan fungsi dan tujuannya sendiri.

Jadi, jika ada anggapan bahwa masjid itu adalah bagian dari SMK, itu keliru. Karena keduanya adalah unit kegiatan yang berbeda dari Yayasan, walaupun demikian, tentu saja pihak SMK boleh dan memang diizinkan untuk menggunakan fasilitas masjid. 

Tidak ada persoalan di situ. Yang menjadi soal adalah, mengapa pihak SMK berani dan berupaya mengangkangi Yayasan selaku pemilik otoritas tertinggi atas masjid dan bahkan terhadap SMK sendiri.

Pihak Yayasan akan segera mengambil langkah terbaik dan tegas sesuai dengan aturan hukum yang berlaku untuk menyelesaikan persoalan ini.

Pihak Yayasan juga berharap agar pihak manapun termasuk pihak luar agar tidak terprovokasi dengan berbagai disinformasi yang beredar. Semuanya diharapkan agar tetap tenang.

“Kita inginkan konflik ini tidak dipeluas, atas nama konflik keagamaan, mahzhab keyakinan, kita inginkan konflik ini dipersempit. Biarkan yayasan itu menyelesaikan secara internal. Karena masalahnya adalah persoalan internal,” sebut Nauval Pally Taran, S.H.

Menurutnya, walaupun ada dugaan keterlibatan pihak luar dan lainya, tetapi yang jelas ini ada masalah internal. Pihak yang melakukan penutupan dan penyegelan adalah pihak SMK, itu kan anak dari yayasan, jelasnya.

“Artinya biarkan yayasan sebagai orang tua menyelesaikan persoalanya.tidak perlu banyak pihak ikut terlibat yang kemudian menggiring ini seakan akan konflik horizontal masalah keyakinan keagamaan.Kita kepingin ini dipersempit konfliknya,” sebut penasihat hukum ini.

Bagaimana Pendapat Pemerhati dan Pengamat?

Pengamat Kebijakan Publik Aceh Nasrul Zaman menilai penutupan masjid di komplek Yayasan Cut Meutia Banda Aceh yang berlokasi di jalan Tgk Chik Ditiro, Ateuk Pahlawan, merupakan tindakan kesewenang-wenangan yang menindas pada era keterbukaan. 

“Tidak ada logika yang mampu membenarkan penutupan masjid itu, mengingat tidak ada satupun syariat islam yang dilanggar, bahkan MPU Aceh pun belum punya keputusan tentang pelanggaran syariat yang terjadi di masjid tersebut,” kata Nasrul kepada Dialeksis.com, Sabtu (24/2/2024). 

Menurut Nasrul Zaman, tidak baik mempertontonkan kejahatan kekuasaan pada orang atau kelompok yang lemah, karena bisa jadi saat ini yang terkena adalah jamaah masjid Cut Meutia tetapi bisa jadi kelak akan terjadi pada jamaah masjid lainnya.

“Kita berharap pihak keamanan dalam hal ini polisi mengambil sikap tegas untuk menangkap provokator dan pelaku penutupan Masjid Cut Meutia. Kita minta untuk diberikan perlindungan dan pengamanan pada jamaah masjid tersebut dalam melaksanakan ibadahnya,” tuturnya. 

Ia mengatakan polisi tidak boleh berpihak pada satu kelompok, kecuali berpihak pada aturan dan perundang-undangan dan tetap memberi pengayoman pada warga tertindas.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Filsafat Islam dari UIN Ar-Raniry, Prof. Syamsul Rijal, memberikan tanggapan bijak terkait penutupan sementara Masjid di Komplek Yayasan Cut Meutia Banda Aceh.

Dalam konstelasi kehidupan terkini, Prof Syamsul menekankan pentingnya kembali kepada ajaran Rasulullah, yang mengajarkan sistem sosial keagamaan sebagai landasan.

"Dalam konteks internal keislaman, kita tidak boleh saling mengkafirkan, tapi yang dituntut adalah saling mengingatkan kebenaran, bukan saling menghujat, apalagi saling komplen bahwa kita yang benar itu bukan prinsip islami," kata Prof Syamsul saat diwawancarai Dialeksis.com, Sabtu (24/2/2024).

Prof Syamsul Rijal menyoroti bahwa Rasulullah adalah satu-satunya yang tidak memiliki kesalahan dan dosa, sementara manusia lain memiliki kekurangan.

"Hanya Rasulullah yang tidak punya kesalahan dan dosa, sementara di luar itu semua punya kesalahan dan dosa," ujarnya.

Ia menegaskan bahwa sebagai manusia yang hidup dalam dosa, tugas kita adalah memperbanyak amal ibadah untuk seimbang dengan dosa-dosa yang dilakukan. Oleh karena itu, saling mengkafirkan dan mengklaim bahwa satu pihak benar dan yang lain salah bukanlah tindakan bijak dalam perspektif Islam.

"Kita ini sebenarnya manusia pendosa yang menjalani kehidupan untuk memperbanyak amal ibadahnya agar seimbang dengan dosa-dosa yang dilakukan," tambahnya.

Prof Syamsul mengajak untuk menjauhi tindakan saling mengkafirkan, menyudutkan, dan mengklaim bahwa satu pihak benar dan yang lain salah. Tanggapan bijak ini menggarisbawahi pentingnya menjaga persatuan dan toleransi di dalam masyarakat, terutama dalam konteks kehidupan beragama.

Dengan penuh hikmah, Prof Syamsul menyampaikan pesan bahwa dalam merespons perbedaan pendapat atau situasi yang kompleks, penting untuk mengutamakan dialog, pemahaman, dan semangat kebersamaan untuk mencapai solusi yang harmonis dan membangun.

Kini masjid itu telah ditutup untuk sementara. Belum ada kejelasan terkait langkah selanjutnya dari pihak terkait dalam menyelesaikan permasalahan ini.

Perbedaan pendapat ini menunjukkan kompleksitas dalam pengelolaan masjid dan tempat ibadah di Aceh, serta pentingnya dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan konflik. Tidak ada persoalan yang tidak mampu diselesaikan, asalkan semua pihak terbuka dan saling menerima.

Semoga penyelesaian riuhnya penutupan Masjid Cut Mutia Banda Aceh ini terselesaikan dengan baik. Ibarat menarik rambut di tepung, rambutnya tertarik tepungnya juga tidak terserak. *** Bahtiar Gayo

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda