Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Menanti Dugaan Korupsi Wastapel sampai ke Pengadilan

Menanti Dugaan Korupsi Wastapel sampai ke Pengadilan

Sabtu, 06 Juli 2024 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Aryos Nivada & Bahtiar Gayo
Salah satu proyek pengadaan wastafel semasa negeri ini dilanda wabah Covid-19, bersumber dari APBA 2020 [Foto: Bahtiar Gayo]

DIALEKSIS.COM | Indepth - Sudah lebih dua tahun perkaranya hanya “diendus-endus”, belum ada kepastian. Apakah akan ada tersangka seumur hidup, tanpa ada kepastian hukum?

Apakah dugaan korupsi pengadaan wastafel di Dinas Pendidikan Aceh serius didalami pihak penyidik, akan sampai ke persidangan di pengadilan? Dua tahun lamanya pihak penyidik sudah menetapkan tersangka, tetapi kapan akan disidangkan?

Publik mempertanyakan keseriusan aparat penegak hukum dalam memproses perkara ini, apalagi sudah ditetapkan adanya tiga tersangka yang sudah dua tahun lamanya. Dugaan korupsi ini menelan biaya terbilang besar, mencapai Rp43,7 miliar bersumber APBA 2020.

Catatan Dialeksis.com, berkas perkara yang ditangani tim penyidik Tipikor Polda Aceh ini sudah bolak-balik ke Kejaksan, karena dinilai belum lengkap. Kini pihak penyidik kembali menyerahkan berkas dugaan korupsi dengan tiga tersangka ini.

Pelimpahan berkas perkara dugaan korupsi pengadaan wastafel pada Dinas Pendidikan Aceh ke Kejaksaan Tinggi (Kejati), kembali disampaikan pihak penyidik Polda Aceh pada 25 Juni 2024, namun apakah harus kembali disempurnakan penyidik? Sampai kapan?

“Benar kita telah menyerahkan berkas perkara tersebut ke Kejati Aceh pada Selasa, 25 Juni 2024,” kata Dirkrimsus Polda Aceh, Kombes Winardy menjawab media, sehubungan dengan pelimpahan berkas yang dilakukan tim penyidik Polda.

Menurutnya, sebelumnya kasus tersebut sudah pernah dilimpahkan, namun dinyatakan P-19 oleh Kejati Aceh. Setelah P-19, kemudian dilengkapi penyidik untuk disempurnakan sesuai petunjuk jaksa,” ujarnya.

“Semoga berkasnya lengkap dan dinyatakan P 21, agar proses selanjutnya dalam berjalan sesuai dengan mekanisme hingga digelar di persidangan pengadilan,” katanya.

Sebelumnya, Kasibun Daulay, praktisi hukum dan advokat terkemuka, menyoroti lambatnya proses perkara ini. Dalam keteranganya kepada Dialeksis.com, dia mengungkapkan kendala komunikasi antara penyidik di Polda Aceh dan Kejaksaan Tinggi Aceh (Kejati Aceh).

"Saya pikir ada kendala komunikasi antara penyidik dengan kejaksaan, sehingga menimbulkan kebuntuan. Apakah komunikasi ini terkait hal-hal substantif atau mungkin hal-hal yang tidak substantif, ini yang mungkin tidak diketahui publik," ujarnya saat diwawancarai Dialeksis.com, Kamis (4/7/2024).

Menurut Kasibun Daulay, dalam sistem penanganan pidana, ketika berkas dianggap lengkap atau P21, seharusnya perkara dapat segera dilimpahkan ke pengadilan untuk proses penuntutan. Namun, dalam kasus wastafel ini, berkas nampaknya belum mencapai tahap P21 atau belum dinyatakan lengkap.

Kasibun Daulay menyoroti dampak penanganan yang berlarut-larut terhadap para tersangka.

"Sekarang, tersangka yang sudah ditetapkan oleh Polda pun sampai sekarang tidak dimajukan ke pengadilan. Tidak ada kepastian hukum apakah mereka akan diadili dan dinyatakan bersalah, dibebaskan, atau mungkin perkaranya dihentikan dengan SP3," jelasnya.

Ia menambahkan, kondisi ini sangat tidak adil bagi para tersangka yang sudah menyandang status tersebut hampir dua tahun lamanya.

"Kalau proses perkara tidak berjalan, mereka akan menyandang status tersangka seumur hidup. Ini sangat tidak adil dan tidak memenuhi unsur kepastian hukum," tegasnya.

Kasibun juga mengamati maraknya desakan dari masyarakat, terutama kalangan akademisi, LSM, dan mahasiswa, yang menuntut transparansi dan kepastian hukum dalam penanganan perkara ini.

"Saya pikir media harusnya bertanya kepada penyidik dan Kejati Aceh, ada apa sebenarnya? Apakah terkait ketidaksepahaman antara penyidik dengan kejaksaan dalam hal siapa yang harus jadi tersangka?" sarannya.

Ia menekankan bahwa penyidik di Polda Aceh dan Kejaksaan yang paling mengetahui detail kasus ini. Yang paling tahu pasti karena mereka yang melakukan gelar perkara, mereka yang menangani. Penyidik di Polda dan juga di kejaksaan yang mengoreksi hasil penyidikan itu," jelasnya.

Untuk menyelesaikan kasus ini, Kasibun menyarankan koordinasi yang lebih baik antara penyidik dan kejaksaan. Kedua institusi ini harus bersinergi dalam menyelesaikan berbagai hambatan yang ada, baik terkait penentuan tersangka, objek penyidikan, maupun besaran kerugian negara yang ditimbulkan.

"Saya berharap penyidik dan kejaksaan segera menuntaskan kasus ini agar kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum dapat kembali pulih," tutup Kasibun.

Apakah Didiamkan?

Kasus dugaan korupsi pengadaan wastafel dan sanitasi sebesar Rp 43,7 miliar di Dinas Pendidikan Aceh yang belum terselesaikan setelah hampir dua tahun menuai sorotan publik. Muhammad Khaidir, Direktur Pusat Analisis Kajian dan Advokasi Rakyat (Pakar) Aceh, menyoroti lambatnya proses hukum kasus tersebut.

"Sudah hampir dua tahun berlalu, proses hukum kasus ini belum juga mencapai titik terang. Bahkan tersangka yang sudah ditetapkan oleh Polda Aceh yakni RA, Zu, dan Mu pun sampai sekarang tidak dimajukan ke pengadilan," ujar Khaidir kepada Dialeksis.com.

Menurut Khaidir, situasi ini menimbulkan spekulasi di masyarakat. Jangan sampai terkesan didiamkan karena telah terjadi kebuntuan barang bukti, atau terlalu kuat tekanan politis," tegasnya.

Khaidir menekankan pentingnya penuntasan kasus ini bagi kepercayaan publik terhadap penegak hukum. Polda Aceh wajib menuntaskan agar kepercayaan masyarakat Aceh terhadap aparat penegak hukum semakin kuat," katanya.

Menurutnya, bahwa penyelesaian kasus ini berpotensi meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melaporkan kasus-kasus korupsi lainnya.

"Jika tuntas, kasus tersebut akan memicu partisipasi masyarakat untuk melaporkan kasus lain karena sudah semakin percaya kepada aparat penegak hukum," jelasnya.

Khaidir memperingatkan bahwa kegagalan menuntaskan kasus ini bisa berdampak serius pada kepercayaan publik.

"Ini menjadi pertaruhan serius Polda Aceh. Jika tidak tuntas, kepercayaan kepada kepolisian akan semakin menurun di mata masyarakat Aceh," tegasnya.

Ia menambahkan, jangan heran jika masyarakat akan semakin apatis melaporkan kasus atau tidak peduli kepada kepolisian karena menuntaskan kasus korupsi wastafel di Dinas Pendidikan Aceh saja tidak mampu.

Sementara salah seorang aktivis antikorupsi Azis Awee, yang mengetahui pihak Polda kembali menyerahkan berkas perkara kasus dugaan korupsi wastafel ini, dia berharap kejaksaan segera melimpahkan perkara ini ke pengadilan.

Hal ini menurutnya penting karena perkara wastafel merupakan korupsi yang dilakukan saat bencana covid-19, melibatkan pejabat utama pemerintah Aceh. Kerugian negara yang ditimbulkan cukup besar, kasusnya juga menjadi perhatian publik Aceh.

Azis juga mendesak penyidik tindak pidana korupsi polda Aceh segera menetapkan tersangka baru dalam kasus ini terutama rekanan.

"Yang menikmati kerugian negara dari perkara ini yaitu rekanan, demi keadilan dan kepastian hukum penyidik harus menetapkan para rekanan pengadaan wastafel, termasuk yang sudah mengembalikan kerugian negara," katanya.

Bagaimana kelanjutan kasus dugaan korupsi yang sudah dilimpahkan pihak penyidik Polda Aceh ke Kejati ini, akankah sampai di pengadilan, setelah dua tahun terkatung-katung belum ada kepastian.

Keterangan dan keseriusan pihak kejaksaan yang menangani perkara ini dinanti publik. Namun sampai dengan saat ini pihak Kejati Aceh yang menangani perkara ini tidak memberikan penjelasan detil ke publik.

Apakah perkara ini berlanjut, atau tetap tergantung dengan status tiga tersangka ini tidak ada kepastian hukum. Bukan tergantung tanpa tali. Publik menanti keseriusan pihak kejaksaan. [arn&bg]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda