kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Melegalkan Tanaman Ganja, Tapi Kapan?

Melegalkan Tanaman Ganja, Tapi Kapan?

Selasa, 10 Januari 2023 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo
Cannabis. [Foto: iStock]

DIALEKSIS.COM |  Negeri paling ujung barat Pulau Sumatera dikenal dengan tanaman ganja berkualitas terbaik dunia. Tanaman yang daunnya berbentuk jari, tumbuh dengan baik di bumi Aceh.

Walau termasuk dalam benda “haram”, tapi tetap dicari dan diburu. Mereka yang membutuhkan cannabis ini bertaburan di seluruh penjuru. Tidaklah heran bila terdengar kabar banyak yang harus berhadapan dengan hukum dalam persoalan narkotika kategori satu ini. 

Bagaimana kalau ganja dilegalkan? Penelitian sudah dilakukan oleh banyak kalangan. Manfaat cannabis untuk medis sudah diakui dunia.

Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merestui rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menghapus ganja dari kategori obat paling berbahaya di dunia dan bisa digunakan untuk keperluan medis.

Banyak negara - negara sudah melegalkan cannabis demi keperluan medis dan mempertimbangkan kembali undang-undang tentang penggunaan untuk rekreasi.

Aceh misalnya yang disebut-sebut sebagai tempat tanaman ganja terbaik dunia, banyak elemen sudah mengumandangkan agar cannabis dilegalkan. Rafly Kande anngota DPD RI misalnya, pernah membuat pernyataan pada tahun 2020 agar ganja dilegalkan.

Demikian dengan Universitas Syiah Kuala (USK) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) tentang pemanpaatan cannabis indica dalam konsktek penelitian dan industri. Rektor Unsyiah ketika dijabat Prof. DR. Ir. Samsul Rizal, M. Eng, mengundang sejumlah dekan dan staf (Fakultas Kedokteran, gigi, pertanian, kedokteran hewan, keperawatan, FMIPA, dan peneliti dosen FISIP, untuk mengikuti diskusi tersebut.

FGD ini diselenggarakan di Balai Senat Unsyiah, pada Senin (3/2/2020), merupakan kerjasama Universitas Syiah Kuala dengan Frince of Songka University Thailand.

Bagaimana bila ganja dilegalkan, ditinjau dari segi medis, hukum dan agama? Bukanlah berita baru bila banyak pihak yang bersuara agar ganja dilegalkan. Dialeksis.com merangkum catatan dari berbagai sumber tentang tanaman daun berbentuk jari ini.

Manfaat Medis

Hingga saat ini beberapa negara di dunia menjadikan cannabis indica sebagai sumber kuatan ekonomi. Regulasi mereka jelas, tumbuhan yang mengandung senyawa cannabinoids, sangat dibutuhkan manusia, dunia medis menjadikanya sebagai penawar yang baik.

Beberapa negara yang menjadikan ganja sebagai kekuatan ekonomi untuk penunjang kesehatan, antara lain; Uruguay, Amirika Serikat, Portugal, Israel, Belanda, dan Chile, Peru, Australia, Spanyol, Korea Utara, Jamaika, Swiss, dan Republik Ceko.

Dari berbagai sumber yang berhasil Dialeksis rangkum, pertama sekali ganja dilegalkan dunia, dilakukan oleh Uruguay 10 Desember 2013. Namun, belum diketahui berapa nilai perputaran ekonomi dari hasil pelegalan ganja di negara ini. Peredaranya di apotik baru dilakukan pada tahun 2017.

Dirangkum dari sejumlah sumber, obat yang berasal dari daun cannabis ini mengandung zat Tetrahidrokanibinol (THC), salah satu dari 400 zat kimia yang dapat menyebabkan efek perubahan suasana hati.

Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati, Ph.D., menjelaskan bahwa ganja bisa digunakan untuk terapi atau obat karena di dalamnya mengandung beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi.

Ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari berbagai senyawa lainnya. Yang utama adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.

“Psikoaktif artinya bisa memengaruhi psikis yang menyebabkan ketergantungan dan efeknya kearah mental,” sebut Zulies.

Senyawa lainnya adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif. CBD ini dikatakan Zullies memiliki efek salah satunya adalah anti kejang.

Ia menuturkan bahwa CBD telah dikembangkan sebagai obat dan disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika. Misalnya epidiolex yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup. Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), yang sudah tidak berespons terhadap obat lain.

“Di kasus yang viral untuk penyakit Cerebral Palsy, maka gejala kejang itulah yang akan dicoba diatasi dengan ganja,” ucapnya.

CBD memang telah teruji klinis dapat mengatasi kejang. Kendati begitu untuk terapi antikejang yang dibutuhkan adalah CBD-nya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja. Sebab, ganja jika masih dalam bentuk tanaman maka masih akan bercampur dengan THC. Kondisi ini akan menimbulkan berbagai efek samping pada mental.

“Ganja medis mengacu pada suatu terapi yang terukur dan dosis tertentu. Kalau ganja biasa dipakai, missal dengan diseduh itu kan ukurannya tidak terstandarisasi, tapi saat dibuat dalam bentuk obat bisa disebut ganja medis,”jelasnya.

Guru Besar Fakultas Farmasi UGM ini menuturkan jika ganja bukanlah satu-satunya obat untuk mengatasi penyakit termasuk cerebral palsy. Namun, masih ada obat lain yang dapat digunakan untuk mengatasi kejang.

“Ganja bisa jadi alternatif namun bukan pilihan pertama karena ada aspek lain yang harus dipertimbangkan. Namun jika sudah jadi senyawa murni speerti CBD, terukur dosisinya dan diawasi pengobatannya oleh dokter yang kompeten itu tidak masalah,”tegasnya.

Lalu terkait legaliasai ganja medis, Zullies mengungkapkan obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat seperti BPOM dan disetujui untuk dapat digunakan sebagai terapi.

“Menurut saya, semestinya bukan melegalisasi tanaman ganja-nya karena potensi untuk penyalahgunaannya sangat besar. Siapa yang akan mengontrol takarannya, cara penggunaannya, dan lainnya walaupun alasannya adalah untuk terapi,” urainya.

Untuk penggunaan ganja medis ini dapat melihat dari obat-obatan golongan morfin. Morfin juga berasal dari tanaman opium dan menjadi obat legal selama diresepkan dokter. Selain itu, digunakan sesuai indikasi seperti nyeri kanker yang sudah tidak respons lagi terhadap analgesik lain dengan pengawasan distribusi yang ketat.

Opium tetap masuk dalam narkotika golongan 1 karena berpotensi penyalahgunaan yang besar, begitupun dengan ganja. Oleh sebab itu, semestinya yang dilegalkan bukan tanaman ganjanya, tetapi obat yang diturunkan dari ganja dan telah teruji klinis dengan evaluasi yang komperehensif akan risiko dan manfaatnya,”sebut Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati, Ph.D.

Catatan Dialeksis, bersumber dari artikel CNN , "Manfaat dan Bahaya Penggunaan Ganja untuk Kesehatan" dijelaskan, sejumlah manfaat tanaman cannabis ini untuk kesehatan, antara lain;

Pertama, penghilang rasa sakit sebagaimana dilansir Healthline, ganja telah digunakan untuk mengobati rasa sakit sejak 2900 SM.

Para ilmuwan telah menemukan bahwa komponen tertentu dari mariyuana, termasuk CBD, bertanggung jawab atas efek penghilang rasa sakitnya.

Kedua mengurangi Kecemasan dan depresi. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), depresi adalah penyumbang kecacatan tunggal terbesar di seluruh dunia, sedangkan gangguan kecemasan menempati peringkat keenam.

Sejumlah peneliti dari Harvard Medical School mengungkapkan ganja bisa membantu menenangkan kecemasan seseorang dengan catatan dosis yang tepat.

Ketiga Meringankan gejala terkait kanker. CBD dapat membantu mengurangi gejala yang berhubungan dengan kanker dan efek samping yang berhubungan dengan pengobatan kanker, seperti mual, muntah dan nyeri.

Mengurangi Jerawat. Berdasarkan penelitian ilmiah, minyak CBD dapat membantu mengobati jerawat karena sifat anti-inflamasi dan kemampuannya untuk mengurangi produksi sebum.

Satu studi tabung reaksi menemukan bahwa minyak CBD mencegah sel-sel kelenjar sebaceous dari mengeluarkan sebum yang berlebihan, menggunakan tindakan anti-inflamasi dan mencegah aktivasi agen-agen "pro-acne" seperti sitokin inflamasi.

Epilepsi. Para peneliti percaya bahwa kemampuan CBD untuk bertindak pada sistem endocannabinoid dan sistem pensinyalan otak lainnya dapat memberikan manfaat bagi mereka yang mengalami gangguan neurologis.

Faktanya, salah satu kegunaan CBD yang paling banyak dipelajari adalah dalam mengobati gangguan neurologis seperti epilepsi dan multiple sclerosis. Meskipun penelitian di bidang ini masih tergolong baru, beberapa penelitian menunjukkan hasil yang menjanjikan.

Satu studi lain menemukan bahwa minyak CBD secara signifikan mengurangi aktivitas kejang pada anak-anak dengan sindrom Dravet, gangguan epilepsi masa kanak-kanak yang kompleks, dibandingkan dengan plasebo.

Bermanfaat bagi kesehatan jantung. Penelitian terbaru mengaitkan CBD dengan beberapa manfaat untuk jantung dan sistem peredaran darah, termasuk kemampuan menurunkan tekanan darah tinggi.

Tekanan darah tinggi dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi dari sejumlah kondisi kesehatan, termasuk stroke, serangan jantung, dan sindrom metabolik. Studi menunjukkan bahwa CBD mungkin dapat membantu tekanan darah tinggi.

Selain manfaat-manfaat tersebut, CBD juga diyakini memberi manfaat kesehatan dengan catatan perlu lebih banyak penelitian. Studi menunjukkan bahwa CBD dapat membantu orang dengan skizofrenia dan gangguan mental lainnya dengan mengurangi gejala psikotik.

Efek antitumor: Dalam uji tabung dan hewan, CBD telah menunjukkan efek antitumor. Pada hewan, telah terbukti mencegah penyebaran kanker payudara, prostat, otak, usus besar dan paru-paru.

Pencegahan diabetes: Pada uji tikus diabetes, pengobatan dengan CBD mengurangi kejadian diabetes hingga 56 persen dan mengurangi peradangan secara signifikan.

Kendati demikian, penggunaan ganja juga memiliki sejumlah risiko di balik sederet kegunaannya. Salah satunya adalah halusinasi dan hilang kendali. Di tingkat paling parah, penggunaan ganja berlebihan juga bisa membuat orang mengalami gangguan jiwa.

Ganja juga memiliki kadar bahan aditif yang bisa menyebabkan ketergantungan dan berujung overdosis. Di sisi lain, kecanduan tersebut bisa memicu penggunanya berbuat apa saja demi mendapatkan ganja, seperti berbuat kriminal.

Dari segi kesehatan, Steadyhealth juga pernah melaporkan, ganja lebih berisiko menyebabkan gangguan paru-paru dibanding rokok. Konsumsi tiga-empat puntung ganja sama bahayanya dengan mengkonsumsi 20 puntung rokok.

Penggunaan ganja, setelah melalui penelitian, ternyata bisa mengganggu sistem produksi seperti mengurangi jumlah sperma pada pria serta membuat siklus menstruasi tidak teratur pada wanita.

Selanjutnya »     Segi hukum Dari berbagai sumber yang be...
Halaman: 1 2 3 4
Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda