Kedatangan Presiden Jokowi dan Hancurnya Rumoh Geudong
Font: Ukuran: - +
Reporter : Baga
Potret Rumoh Geudong dan momen Presiden Jokowi Kunker ke Aceh (Foto: Kolase Dialeksis]
Pemenuhan Hak Hak Korban
Soal penghancuran Rumoh Geudong, organisasi masyarakat sipil mengevaluasi, tindakan ini merupakan upaya penghilangan barang bukti, pengaburan kebenaran, penghapusan sejarah, dan memori kolektif rakyat Aceh terhadap konflik yang terjadi di wilayah tersebut dari tahun 1976 hingga 2005.
Para organisasi masyarakat sipil menekankan bahwa negara harus memastikan adanya memorialisasi yang melibatkan partisipasi yang berarti dari korban dan berfokus pada kebutuhan serta kepentingan para penyintas.
Pendekatan ini harus didasarkan pada prinsip-prinsip hak korban pelanggaran HAM, yang menempatkan korban sebagai pusat perhatian.
Tindakan penghancuran yang dilakukan oleh tim pemerintah Kabupaten Pidie sebagai bagian dari pelaksanaan rekomendasi Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat (PKPHAM).
Namun, organisasi masyarakat sipil menilai bahwa penghancuran tersebut bertentangan dengan prinsip transparansi, keadilan, dan akuntabilitas dalam menangani masa lalu yang penuh trauma.
“Penghancuran ini sangat merendahkan martabat korban dan masyarakat setempat. Suara mereka telah diabaikan dalam proses ini,” tegas Farida Haryani, Direktur Paska Aceh dalam keterangan yang diterima DIALEKSIS.COM, Kamis (22/6/2023).
Dalam sambutan peresmian tugu Rumoh Geudong yang diinisiasi oleh penyintas tahun 2018, Bupati Pidie, Roni Ahmad, ketika itu menyatakan, monumen ini harus menjadi pelajaran bagi semua.
Semua untuk terus berbuat yang terbaik dalam membangun dan merawat kesejahteraan masyarakat. Jangan lupakan apa yang terjadi di masa lalu dan teruslah melangkah menuju masa depan.
Farida Haryani menjelaskan, bahwa narasi kekerasan pada masa lalu serta praktik memorial, haruslah berpusat pada korban dan penyintas. Konsultasi dan partisipasi yang berarti dengan korban harus dilakukan, agar tindakan membangun memorialisasi dan reparasi formal memiliki makna serta memenuhi prinsip-prinsip hak korban. Termasuk memastikan agar korban tidak dikorbankan kembali.
“Upaya negara melalui tim PPHAM semestinya memperkuat upaya korban dan masyarakat sipil yang telah berlangsung sebelumnya, termasuk merawat tugu memorialisasi Rumoh Geudong, dan bukan justru menjadi mekanisme penyangkal atas kebenaran peristiwa kekerasan yang terjadi,” katanya.
“Pemenuhan hak korban pelanggaran HAM merupakan perwujudan hak konstitusional dan hak asasi yang paling mendasar. Negara harus mematuhi standar internasional dalam membangun memorialisasi, termasuk memastikan agar prinsip-prinsip hak korban pelanggaran HAM dipenuhi,” ujarnya.
“Langkah-langkah simbolik yang akan dilakukan harus ditindaklanjuti dengan reparasi komprehensif. Negara juga harus memastikan langkah-langkah perlindungan yang memadai bagi para penyintas dan keluarga ,” jelasnya.
Ini merupakan bagian bentuk pengakuan atas kerentanan dan ancaman yang mereka hadapi, sebagai akibat dari upaya mereka dalam memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan melawan impunitas,” pungkas Farida Haryani.
Sementara itu, Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna mengatakan, sejak dibentuknya Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) melalui Keppres 17/2022 hingga berlanjut pada pelaksanaan rekomendasi tim tersebut (Inpres 2/2023) dan pemantauannya (Keppres 4/2023), KontraS Aceh menemukan banyak persoalan di lapangan.
Dalam hal ini, banyak tim yang turun untuk memverifikasi data korban hanya mendata sebagian korban saja.
"Tim yang turun untuk memverifikasi data korban seringkali tidak memperjelas informasi soal agenda pemulihan ini, selain juga hanya mendata sebagian korban saja, tidak keseluruhan, sehingga ini membingungkan korban,” kata Azharul Husna kepada Dialeksis.com, Kamis (22/6/2023).
Azharul Husna mengatakan upaya pemulihan yang tidak partisipatif hanya akan menimbulkan persoalan baru ke depannya.
“Jangan sampai praktik memorial dibajak untuk kepentingan politik semata. Atau, jadi alasan memecah belah dan merugikan kelompok masyarakat korban. Dalam hal ini memastikan partisipasi korban menjadi penting,” ujarnya.
Dalam hal ini, dirinya menyayangkan adanya upaya menghilangkan bukti sejarah berupa tugu memorialisasi di Rumoh Geudong, sehingga memunculkan keresahan di tengah masyarakat sekitar.
“ KontraS Aceh mengecam keras rencana penghilangan bukti sejarah pelanggaran HAM berat di Rumoh Geudong,” tegas Husna.
Bagi KontraS Aceh, memorialiasi merupakan bagian krusial dari kebenaran peristiwa kekerasan di daerah tersebut. Karena itu jangan sampai praktik peringatan sejarah melalui tugu memorialisasi di Rumoh Geudong dimusnahkan.
"Penghancuran tersebut merupakan upaya langsung penghilangan barang bukti, pengaburan kebenaran, penghapusan sejarah dan memori kolektif rakyat Aceh atas konflik di Aceh sejak tahun 1976 hingga 2005," pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Masthur Yahya, SH.MHum, menyampaikan penghormatan terhadap kebijakan Presiden Republik Indonesia terkait tiga peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu di Aceh.
KKR Aceh memberikan penghormatan yang tinggi terhadap kebijakan Presiden RI terkait pelanggaran HAM berat di Aceh. Keberanian untuk mengungkap dan menangani masa lalu yang kelam ini merupakan langkah penting dalam upaya memulihkan keadilan dan mewujudkan rekonsiliasi di Aceh.
Selain itu, Masthur Yahya juga mengungkapkan apresiasinya terhadap tindak lanjut pemulihan korban yang dilakukan oleh tim lintas kementerian. Upaya ini menunjukkan komitmen nyata dari pemerintah dalam mendukung korban-korban pelanggaran HAM berat dan memberikan mereka akses keadilan dan pemulihan yang pantas.
“Pandangan KKR sepatutnya juga bekas atau jejak bangunan Rumoh Geudong sebagai salah satu tempat peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut tetap dapat “dikenali” sebagai memorial walau sedikit yang tersisa, “ jelasnya.
“Kalau di lokasi tersebut nanti akan dibangun bangunan baru apapun namanya, apakah berupa taman kehidupan, museum HAM atau sarana lain, perlu dimusyawarahkan dengan korban, elemen masyarakat sipil tingkal lokal maupun nasional, bahkan masyarakat internasional,” kata Masthur Yahya.
Sementara itu, sesepuh sekaligus politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Karimun Usman menjelaskan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebelumnya telah digagas Amran Zamzami pada tahun 2001-2004.
Namun tidak tuntas dan tidak ada kejelasan penyelesaiannya. Dengan presiden sendiri turun tangan dan telah ditunjuk Menko Polhukam sebagai ketua tim penyelesaian pelanggaran HAM berat, maka ini merupakan harapan semua masyarakat Aceh agar pelanggaran HAM di Aceh tuntas,” kata Karimun Usman kepada Dialeksis.com, Kamis (22/6/2023).
Untuk itu, Karimun Usman selaku Wantim PDI Perjuangan Aceh berharap, para tokoh masyarakat jangan segan-segan memberikan kesaksian. Apakah pelakunya pihak pemerintah (TNI-Polri) atau pihak (Aceh Merdeka).
“Di Aceh terjadi pembunuhan masal bukan hanya di rumoh gedung, tetapi juga terjadi Nagan Raya, Tgk Bantaqiyah dan santrinya tewas lebih dari 57 orang,” sebutnya.
Ia berharap dengan turun langsung presiden Jokowi, dapat segera menemukan kejelasan dan terang benderang soal siapa yang melakukan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Pihaknya sangat berkepentingan sebagai warga PDI Perjuangan Aceh, karena selama ini yang berkembang dari tahun 2004 sampai sekarang, Megawati dan PDI Perjuangan adalah pembunuh rakyat Aceh.
“Padahal zaman ibu Megawati jadi Presiden dan SBY sebagai Menkopolkam, dalam rangka usaha-usaha perdamaian, maka diterapkan darurat militer. Panglimanya adalah Pangdam Iskandar Muda tahun 2002-2003, kemudian tahun 2004 dicabut darurat militer ditunjuk Gubernur Abdullah Puteh sebagai pelaksana darurat sipil,” jelasnya.
“Usaha perdamaian telah terjadi dua kali, namun warga PDIP tetap saja dituduh pembunuh rakyat Aceh. Padahal semua masyarakat tahu bahwa pembunuh rakyat Aceh adalah masa daerah operasi militer (DOM) tahun 1987-1998,” jelasnya.
Soal pemeenuhan hak hak korban, Ketua Komisi I DPR Aceh Iskandar Usman Al-Farlaky, memberikan beberapa catatan penting yang harus diperhatikan Presiden Jokowi.
Iskandar mengatakan catatan yang perlu diperhatikan oleh Presiden, adalah pemenuhan hak korban pelanggaran HAM terutama yang di Aceh harus sesuai dengan nilai, standar dan mekanisme Hak Asasi Manusia.
Selain itu, yang tak kalah penting, sambung dia lagi, pemulihan korban, dan menjamin pemenuhan hak dasar korban harus menjadi fokus utama.
"Selain tiga kasus itu, pemerintah sebaiknya juga mengambil data dari KKR Aceh, yang sudah terverifikasi, guna tidak muncul kecemburuan sesama korban pelanggaran HAM di Aceh," katanya.
Iskandar mengatakan bahwa bagi korban dan keluarga kasus pelanggaran HAM di Aceh harus segera dipulihkan, Anak-anak korban harus dijamin hak atas pendidikannya, pemberdayaan ekonomi korban juga harus menjadi fokus. Dirinya berharap agar kegiatan ini menjadi tidak cuma agenda seremonial.
Rumoh Geudong sebuah situs sejarah masa kelam Aceh sudah diratakan dengan tanah. Presiden Jokowi akan menginjakan kakinya disana, bertemu dengan para korban pelanggaran HAM berat. Apa lagi sejarah yang akan diukir di bumi Aceh ini? Bahtiar Gayo