Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Hidup Miskin di Tengah Ladang Gas (Bagian 1)

Hidup Miskin di Tengah Ladang Gas (Bagian 1)

Sabtu, 05 Januari 2019 11:35 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi Potret Kemiskianan.

DIALEKSIS.COM | Aceh Utara - Setiap warga negara tentunya tidak ada yang bercita-cita dilahirkan dalam keadaan miskin, bahkan setiap kepala daerah pun berlomba-lomba menyampaikan program pengentasan kemiskinan saat menjelang Pilkada.

Kemiskinan merupakan persoalan klasik dan tentunya selalu menjadi pembahasan atau pembicaraan dikalangan masyarakat. Apabila suatu daerah yang gersang, serta tidak mempunyai sumber pendapatan sama sekali, maka sangat wajar kemiskinan itu terjadi.

Namun bagi daerah yang menyimpan harta karun di perut bumi berupa gas alam dan bahkan menjadi daerah penyumbang devisi terbesar negara, maka itu sangat tidak wajar. Fenomena seperti itulah terjadi di Aceh yang angka kemiskinannya mencapai diatas rata-rata nasional dan Kabupaten Aceh Utara pernah mendapatkan gelar sebagai daerah termiskin di Aceh, padahal daerah tersebut merupakan sebagai daerah penghasil gas alam.

Sebagaimana diketahui, pada tanggal 24 Oktober 1971 perusahaan minyak asal Amerika Serikat melakukan eksplorasi di Desa Arun, Kec. Syamtalira Aron, Aceh Utara. awalnya perusahaan tersebut mencari potensi minyak bumi, namun saat dilakukan pengeboran ternyata gas alam yang keluar dari perut bumi.

Lokasi pengeboran tersebut, berada 30 kilometer dari tenggara Kota Lhokseumawe dan deposit gas alam itu dikawasan hamparan sawah yang subur mencapai 17,1 triluyun kaki kubik, sehingga layak untuk dikembangkan selama waktu puluhan tahun.

Pimpinan eksplorasi dan produksi Mobil Oil kala itu Alex Massad telah menyediakan dana sebesar 400.000 Dollar Amerika Serikat, untuk melakukan eksplorasi sumur gas yang ditemukan tersebut.

Kemudian Pertamina bekerjasama dengan Mobil Oil dan Japan Indonesia LNG Company (JILCO), membentu perusahaan patungan yang diberinama PT ARUN NGL Co, kini telah berganti nama menjadi PT Perta Arun Gas.

Pada hari Sabtu 16 Maret 1974 didirikanlah PT Arun sebagai perusahaan operator dan peresmian kilangnya, diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 19 September 1978, serta perusahaan itu berlokasi di Desa Blang Lancang, Kec. Muara Satu, Kota Lhokseumawe.

Sebelumnya pada tanggal 3 Desember 1973, telah dilakukan penandatangganan kontrak penjualan LNG dengan sejumlah perusahaan industri di Jepang, untuk tenggang waktu selama 20 tahun.

Demikian pula berikutnya dengan perusahaan Korea Selatan, melalui perusahaan Electric Power Corp. Perusahaan itu menandatanggani kontrak LNG sebanyak 2 juta ton pertahun, mulai tahun 1981 hingga 2006.

Dalam rangkaian kontrak LNG tersebut, dikawasan Blang Lancang, Kec. Muara Satu Lhokseumawe, untuk tahap pertama dibangun tiga train kilang pencairan gas. Pembangunan kilang itu dipercayakan kepada perusahaan Bactel Inc, yang dilakukan dari tahun 1974 sampai tahun 1978.Kilang gas tersebut seluas 271 ha dengan panjang 1,7 km dan lebar 1,5 km serta dilangkapi dengan pelabuhan khusus pengangkut produksinya.

Kilang LNG Arun dilengkapi dengan 2 buah pelabuhan LNG untuk pengiriman produksinya ke negara pembeli, sedangkan untuk pengiriman kondensat dilengkapi dengan 2 buah sarana pemuat, yaitu Single Point Mooring (SPM) dan Multi Buoy Mooring (MBM).

Keunikan yang dimiliki oleh Arun yaitu, belum ada di negara lain kala itu, yang menggunakan tenaga penggerak turbin tidak memakai tenaga air, tetapi memakai sistem gas turbin yang mampu menghasilkan tenaga 30.000 HP dan mampu menggerakkan kompresor pendingin.

Bahkan bisa memanfaatkan isi kontrak untuk pengembangan produk, menurut kontrak LNG yang dijual memiliki kalori antara 1.070-1.170 BTU/SCF. Pada permulaan start sampai 6 train LNG yang dihasilkan PT Arun, mengandung 1.163-1.165 BTU/SCF.

Sehingga teknologi yang digunakan di PT Arun, merupakan teknologi yang bertemperatur rendah, karena LNG merupakan gas betuk liquid bersuhu sampai minus 160 derajat celsius. Selain itu, geotermal gradien sumur Arun, merupakan sumur terpanas di dunia.

Pengapalan perdana condesat yang dihasilkan sumur gas Arun dengan negara tujuan Jepang, dimulai pada tahun 1977, sementara pengapalan LNG dimulai tahun 1978 dan pengapalan LPG dimulai tahun 1988.

Maka dengan demikian, Provinsi Aceh menjadi pemasok energi  bagi beberapa negara dan lokasinya juga sangat strategis. Selain itu, juga sebagai salah satu daerah penyumbang devisi terbesar untuk negara.

Hingga tahun 1977, PT Arun telah mengekspor 663,12 juta BBLS kondesat, 1.904 ton LPG dan 378,27 juta m3 LNG. Daerah Aceh menjelma menjadi pemasok devisa negara yang besar melalui produk LNG, LPG dan Kondesat disamping minyak tanah.

Memasuki 10 tahun kemudian tepatnya pada tanggal 2 Agustus 1988, PT Arun telah melakukan pengiriman LPG perdana ke Jepang. Dengan demikian hingga 1 Juli 1997 PT Arun telah mengapalkan 2938 LNG dan 329 LPG ke Negara Jepang, Korea dan Amerika Serikat.

Akibat melimpahnya gas tersebut, maka dibangunlah beberapa perusahaan lainnya di Kabupaten Aceh Utara, seperti PT Pupuk Iskandar Muda, PT Asean Aceh Fertilizer (AAF), PT Kertas Kraft Aceh (KKA) dan beberapa lainnya.

Namun sayang beberapa perusahaan raksasa yang dibangun tersebut, kini telah berhenti beroperasi karena tidak tersedia pasokan gas. Padahal secara geografis, letak perusahaan itu tidak jauh dari ladang gas.

Meskipun demikian perekonomian masyarakat Aceh, terutama di kawasan Aceh Utara tidak semegah perusahaan raksasa itu. Masih ada yang menempati rumah-rumah yang tidak layak huni.

Apabila merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, maka persentase kemiskinan di provinsi paling barat Indonesia itu terus mengalami kenaikan, yaitu pada tahun 2000 persentase kemiskinannya mencapai 15,20 persen.

Sementara pada tahun 2001 mencapai 19,20; tahun 2002 mencapai 29,83 persen; tahun 2003 mencapai 29,76 persen; tahun 2004 mencapai 28,37 persen; tahun 2005 mencapai 28, 69 persen; tahun 2006 mencapai 28,28 persen; tahun 2007 mencapai 26,65 persen; tahun 2008 mencapai 23,53 persen; tahun 2009 mencapai 21,80 persen; tahun 2010 mencapai 20,98 persen; tahun 2011 mencapai 19,57 persen; tahun 2012 mencapai 19,46 persen; tahun 2013 mencapai 17,60 persen dan tahun 2014 persentase kemiskinannya mencapai 18,05 persen. 

Namun yang sangat ironis, tahun 2015 lalu Badan Pusat Statistik Aceh merilis laporan, Provinsi Aceh menempati daerah miskin kedua di Pulau Sumatera, yang jumlah penduduknya mencapai 859 ribu jiwa dan dengan persentasenya mencapai 17,11 persen.

Peringkat tersebut masih terus bertahan sampai pada tahun 2016, yaitu Provisi Aceh masih menduduki sebagai daerah termiskin kedua di Sumatera, dengan jumlah penduduk miskinnya mencapai 841 ribu jiwa dan persentasenya mencapai 16,43 persen. (agm)


Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda