kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Harapan Transpuan Untuk Mengenyam Pendidikan

Harapan Transpuan Untuk Mengenyam Pendidikan

Rabu, 23 September 2020 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Indra Wijaya

Suasana siang itu tampak lengang, cuaca yang sejak pagi tampak redup kini terlihat terang, matahari yang sebelumnya malu kini mulai menampakkan wajahnya. RA pemilik salah satu salon kecantikan di Kota Bireuen terlihat santai didepan salonnya, duduk menyila di kursi plastik yang tanpa sandaran.

Badannya yang sintal dan kakinya yang jenjang dengan rambut lurus hitam kecoklatan tergerai kebelakang dan dengan polesan make up tipis. Membuatnya tampak catik layaknya wanita normal.

Dengan seutas senyum dan tutur kata yang ramah ia menyambut kedatangan saya siang itu di tempat usahanya Sabtu (29/8/2020). Saat itu Dialeksis.com berkesempatan mewawancarai RA di Bireuen

Meski tidak begitu luas, salon kecantikan milik RA mampu memberi lapangan kerja bagi teman-teman transpuan yang memiliki nasib yang sama dengannya.

RA, salah satu transpuan dari sekilan banyak transpuan lainnya di Aceh yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Ia dipaksa oleh keadaan untuk tidak mengenyam pendidikan hingga selesai, dikarenakan diskriminasi dan hukuman sosial yang dilakukan masyarakat juga dunia pendidikan.

Stikma negative dan hujatan dari teman-teman juga guru di sekolah kerap menjadi sarapannya setiap hari.

Ia dipaksa berhenti sekolah setelah ketahuan memiliki perbedaan orientasi seksual dari teman sekelasnya. Tepatnya saat ia menduduki bangku kelas tiga Sekolah Menengah Atas (SMA) di salah satu sekolah di Bireuen.

“Bukan tidak mau melanjutkan sekolah, tapi saya sudah jenuh dengan hujatan, diskriminasi dari pihak sekolah bahkan sering perlakuan tak elok ditimpakan kepada saya, “Saat itu saya terpuruk dan mengurung diri di kamar. Aku takut keluar rumah,” Jelas RA

Jelang uiian akhir kelulusan (UN), RA membulatkan tekad untuk merantau ke Medan. Ia memilih untuk tidak melanjutkan sekolahnya yang tinggal beberapa bulan lagi, ia pergi mencari pekerjaan di sana.

Jika disuruh memilih, RA sebenarnya ingin menjadi laki-laki bukan transpuan. Karena pada dasarnya menurut RA, laki-laki sendiri punya urutan nomor satu dibanding perempuan.

Namun RA tak bisa memungkiri karena memiliki ketertarikan kepada lelaki. Menurutnya transpuan sendiri merupakan ‘pemberian’ untuk RA.

“Jadi sebenarnya identitas transpuan ini bukan dari pengaruh lingkungan, ‘it is my given’ (ini pemberianku) jadi transpuan ini juga bukan pilihan. Tapi lebih kepada pengakuan,” ungkap RA.

Sesekali ia mulai membenarkan posisi duduknya, stelan jins panjang yang dipadu dengan blus panjang lengan polos semakin mempertegas kecantikannya, bahkan nyaris tak terlihat aura kelelakiannya.

Ia terus menceritakkan kisah hidupnya dan bagaimana perlakuan yang ia terima saat ia menjadi transpuan, terutama saat mengenyam Pendidikan.

RA sedikit bernostalgia kemasa kecilnya dan saat-saat indah ketika ia mengenyam pendidikan menengah pertama (SMP) banyak prestasi yang diukirnya dengan menjadi juara umum dikelas, bahkan ia juga sangat aktif berorganisasi.

Salah satunya menjadi ketua OSIS. Ia juaga anak yang rajin tak pernah gengsi dalam membantu orangtua dengan menjajakan kue buatan ibunya untuk menopang perekonomian keluarganya, lakonan itu ia jalani hingga bangku SMA.

Namun, seiring berjalannya waktu, ia menemukan kejanggalan terjadi pada dirinya. Pada masa itu ia kerap menjadi objek kejahilan teman-temannya, sepeda yang ia tumpangi sering rusak akibat tangan jail temannya.

Namun RA memiliki cara lain menghadapi kenakalan temannya dengan menunjukkannya prestasi. Menurut RA, jika melawan dengan kekerasan atau kenakalan yang sama, itu akan berakibat buruk terhadap dirinya. Ia membuktikannya dengan selalu menjadi juara umum di kelas.

“Jadi cowok-cowok yang bandel itu bisa aku bantuin buat PR, jadi mereka baik sama aku. Strateginya itu prestasi,” ucapnya.

Meski berprestasi, saat di kelas RA mengaku kerap dipaksa oleh gurunya untuk berbicara dengan tegas. Begitu juga saat menjadi ketua OSIS di SMA, RA kerap mendapat pelecehan seksual.

Tubuhnya sering dicolek-colek oleh para siswa lelaki di sekolahnya. Karena sebagai ketua OSIS ia kerap pergi ke kelas-kelas untuk meminta sumbangan kepada siswa lainnya.

Hal itu tak berhenti disitu saja. Saat ketahuan oleh guru di sekolahnya karena memiliki sisi feminim dan memiliki perbedaan orientasi seksual, beasiswa yang dimilikinya pun dicabut oleh pihak sekolah. Perlakukan itu seakan melupakan prestasi yang telah diberikan oleh RA.

Karena kerap mendapat diskriminasi dari teman dan guru di sekolahnya, ia memilih mengurung diri di rumah dan takut untuk kembali ke sekolah. Takut kejadian yang sama menimpa dirinya lagi.

Saat kembali ke sekolah pun RA terpaksa harus mengambil makanan sendiri dari rumah. Untuk pergi ke kantin sekolah ia merasa takut. Dan saat itu hanya makan sendirian di kelasnya. Karena hal itu pula RA memutuskan untuk berhenti sekolah.

“Saat aku berhenti, aku nggak pernah ditanyakan oleh guru kenapa berhenti sekolah, Cuma orang tua aja yang nanyain kenapa berhenti, padahal Pendidikan itu penting bagi aku, semestinya pihak sekolah dan pemerintah bisa mengakomodir hal itu. Karena dalam UU jelas disebutkan Setiap warga negara itu berhak mendapatkan pendidikan. Siapapun orang, siapapun orientasi seksualnya,” ucap RA

Dalam Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 12: Disebutkan Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.

Pasal 60: “Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya”.

Meski dalam UU disebutkan begitu, RA mengaku ia tidak mendapat perlindungan itu. Malahan diskriminasi.

Rata-rata tak menyelesaikan bangku sekolah

Melansir dari independen.id, hasil monitoring yang dilakukan Arus Pelangi di 14 kota di Indonesia sepanjang Januari-Agustus 2016 menunjukkan dari 161 kasus kekerasan yang dialami kelompok LGBT, negara berada di peringkat pertama sebagai pelaku kekerasan terhadap LGBT, menyusul institusi pendidikan, organisasi massa, organisasi profesional dan media.

Stigma dan diskriminasi bahkan terjadi pada level tertinggi institusi pendidikan. Tahun 2016, rektorat Universitas Sumatera Utara melarang komunitas LGBT di kampus.

Tahun yang sama, sivitas akademika Universitas Islam Bandung membuat spanduk bertuliskan kalimat “Kami Mengutuk LGBT”. Tahun 2017, rektorat Universitas Andalas sempat mengeluarkan surat pernyataan bagi calon mahasiswa SNMPTN yang lolos. Isinya menyatakan bahwa calon mahasiswa tersebut tidak termasuk dalam kelompok LGBT.

Selain pendidikan, akses terhadap pekerjaanpun transpuan itu dibatasi. Terbukti dengan keluarnya sejumlah aturan kabupaten/kota dimana transpuan itu dilarang bekerja di instansi pemerintah, hingga kerja di salon kecantikan.

Aturan itu semakin memberatkan transpuan untuk mencari pekerjaan. Saar dikeluarkan aturan itu juga tak ada solusi dari pemerintah untuk mereka.

“Pelarangan kerja kepada transpuan yang diterapkan oleh bupati. Baik itu Aceh Besar, Bireuen termasuk Aceh Tamiang dan Meulaboh itu mengeluarkan surat pelarangan kerja jepada LGBT dan waria. Termasuk kerja di salon,” ungkap RA.

Bupati Aceh Besar Mawardi Ali mengeluarkan instruksi yang berisi tentang penertiban perizinan salon yang dikelola kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Surat yang berisi beberapa poin itu intinya berisi intruksi mencabut izin salon yang dikelola mereka jika bertentangan dengan syariat Islam.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul, S.H.,M.H menyebutkan rata-rata transpuan yang ada di Aceh saat ini tak lulus SMA dan SMP.

Penyebab transpuan putus sekolah bervariasi. Tapi diantaranya yang paling besar menjadi penyebab transpuan itu putus sekolah yakni diskriminasi di lingkungan sekolah.

Syahrul menyebutkan pihaknya dari LBH Banda Aceh sering mengadakan diskusi dengan transpuan yang ada di Aceh. Dari diskusi itu ia menyebutkan bullying dan diskriminasi menjadi penyebab utama transpuan tak menyelesaikan sekolah.

Namun parahnya, selain mendapat bully di sekolah, transpuan juga mendapat diskriminasi di lingkungan sosial. Hal itu juga menjadi penyebab transpuan memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan, dan lebih memilih untuk bekerja di salon.

Ia menyebutkan rata-rata waria (transpuan) yang ada di Banda Aceh, merupakan warga pendatang. Sebab kata Syahrul, waria itu melihat bahwa di Banda Aceh ini dapat menjadi tempat untuk menyambung hidup.

Selain itu juga, LBH Banda Aceh kerap menfasilitasi para transpaun untuk melakukan diskusi. Selain berdiskusi, juga pihaknya kerap memberi pelatihan untuk meningkatkan kapasitas diri transpuan.

“Kalau mereka di diskriminasi harus kemana dan tau melapor kemana. Bukan tentang sekolah lagi. Kita juga beberapa kali mengjar mereka menulisi leader opinion. Misalnya ada teman mereka yang terkena dikskriminasi, mereka tahu bagaimana menulis kronologisnya,” kata Syahrul saat ditemui dialeksis.com di Kantor LBH Banda Aceh, Senin (14/9/2020).

Namun, dari pelatihan itu hanya beberapa transpuan saja yang cepat memahami materi yang diberikan. Dan ada juga dari transpuan itu yang tidak bisa menulis dan membaca.

Kata Syahrul, sudah seharusnya pemerintah berperan dalam menangani permasalahan transpuan di bidang pendidikan. Pemerintah sudah sepatutnya mengeluarkan kebijakan kepada instansi pendidikan, jangan ada diskriminasi kepada transpuan saat di sekolah.

 “Jangan ada diskriminasi bahwa waria itu tidak boleh ke sekolah,” ungkapnya.

Karena dalam UU pun kata Syahrul, bahwa setiap warga negara itu berhak mendapat pendidikan tanpa melihat latar belakangnya apa. Bahkan dalam hukumpun tidak ada salah satupun pasal yang menyebutkan waria itu tidak boleh sekolah.

Dalam Qanun juga tidak menyebutkan larangan pendidikan terhapap waria. Larangan tidak boleh hidup waria di Aceh, juga tidak disebutkan dalam Qanun Jinayah.

“Yang dilarang adalah melakukan khalwat, zina. Jangankan waria, kita saja nggak boleh. Artinya sebenarnya dalam qanun jinayah setara. Nggak hanya waria, kita juga yang berbuat zina akan dicambuk,” jelasnya.

Kata Syahrul, Jika waria itu dilarang menempuh pendidikan berarti itu pembodohan. Artinya pendidkan itulah yang membuat waria terhindar dari apa yang ditakutkan.

Jika negara terus mendesain pembatasan terhadap waria, menurutnya, negara sedang melakukan pengrusakan terhadap struktur sosial. Seharusnya pendidikan itu dipandang oleh negara, sebagai upaya pendidikan terhadap seluruh golongan, juga golongan minoritas.

Menurut Syahrul, saat ini negara mendukung diskriminasi itu dengan kebijakan yang dikeluarkan. Dengan keluarnya kebijakan dari pemerintah itu, mengahalalkan permbuatan diskriminasi di lingkuangan sekolah.

“Bagaimana kita bisa melakukan pemulighan terhadap LGBT tadi kalau bukan di pendidikan. Apakah hanya teman-teman LGBT yang kenak HIV. Semua orang bisa kenak. Cara padang negara itu memang aneh terhadap hal yang beginian. Seolah-olah yang berzina itu hanya teman-teman LGBT saja,” ujarnya.

Selain itu kata Syahrul, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan larangan untuk memperjakan transpuan.

Salah satunya kabupaten Bireuen. Dalam surat bernomor Dalam surat bernomor 451.4/159/2016 yang dikeluarkan pada 7 Maret 2016 itu terdapat lima poin.

Pada poin kedua surat berisi "diminta kepada saudara untuk tidak memberi kesempatan kepada karyawan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di salon/pangkas rambut yang saudara kelola.

Sedangkan poin ketiga berbunyi "diminta kepada saudara untuk tidak mempekerjakan tenaga konsa dan waria sebagaimana tersebut dalam hadist nabi di poin c.

“Yang paling nampak itu hak atas pekerjaan,”ungkap Syahrul.

Sementara itu Kepala Bidang Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus, Zulkifli, S.Pd.,M.Pd mengatakan, saat ini kebijakan Pemerintah Aceh dalam penyelenggaraan pendidikan tidak mengatur diskriminasi untuk jenis kelamin.

Ia mengatakan, layanan pendidikan di Aceh saat ini lebih diperuntukan untuk semua kalangan.

“Layanan Pendidikan di Aceh adalah di peruntukan utk semua termasuk kpd Anak Berkebutuhan Khusus,” tulis Zulkifli melalui pesan Whatsapp kepada dialeksis.com, Jum’at (11/9/2020).

Bagi yang putus sekolah kata dia, dapat melanjutkan kembali dengan memanfaatkan layanan pendidikan melalui program pakat A, B dan C.

 “Bagi siapan pun yang putus sekolah dan ingin melanjutkan kembali dapat memanfaatkan layanan pendidikan melalui program paket A untuk setara SD; Program Paket B untuk setara SMP dan Program Paket C untuk setara SMA,” tuturnya.

Transpuan mendapat hak yang sama dalam pendidikan

Hampir satu jam dialeksis.com berbincang dengan RA dan RZ di salon itu. Tak terasa hari mulai petang. RA bersiap-siap hendak pergi keluar dengan keponakannya.

Wajahnya tampak tegar. Meski tak dapat menyelesaikan bangku SMA, ia berharap besar transpuan yang di Aceh tak bernasib sama dengannya.

RZ teman RA, masih lebih beruntung karena sempat menyelesaikan bangku SMA. RZ memilih tidak melanjutkan ke bangku kuliah dikarenakan memilik kendala ekonomi keluarganya.

Meski beruntung menyelesaikan bangku SMA, diskriminasi yang dialami oleh RA, RZ pun mengalami hal yang sama.Baik RA dan RZ punya satu keinginan. Yakni, setiap warga negara itu berhak menempuh pendidikan yang layak.

Tak memandang apa latar belakang dia. Meski miski, minoritas, maupun berbeda orientasi seksualnya.

Menurut mereka, pendidikan itulah yang dapat membangun taraf sosial di masyaraka. Jika pendidikan juga dibatasi, bagaimana masyarakat Indonesia bisa pintar.

Apapun bentuknya, jangan ada perbedaan untuk mendapat akses pendidikan.

“Pemerintah melihaat itu seharusnya. Memberi ruang terhadap orang-orang yang didiskriminatif,” ungkap.

Transpuan juga berhak mendapat pendidikan dan pekerjaan yang layak. Wajahnya tegar saat memungkapkan Jangan ada kekerasan dan diskriminasi kepada siapapun yang ingin sekolah.

Tampak jelas, keinginan kuat dari sorot matanya itu. Dengan suara lantang RA menyebutkan kekerasan dan diskriminasi itu yang membuat negara ini hancur dan warga negaranya yang tidak sejaterah.

“Maka hapuskanlah diskriminasi itu baik itu diruang pendidikan, public dan pekerjaan,” pungkasnya.(Indra Wijaya)


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda