Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Gen-Z di Pilkada Banda Aceh, Pemula tapi Tidak Buta Politik

Gen-Z di Pilkada Banda Aceh, Pemula tapi Tidak Buta Politik

Minggu, 10 November 2024 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Empat paslon wali kota dan wakil wali kota Banda Aceh melakukan deklarasi pelaksanaan Pilkada damai di Taman Bustanussalatin, Banda Aceh, Aceh, Selasa (24/9/2024). Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


Lebih optimis

Sebagai ibu kota provinsi, Pilkada Banda Aceh selalu menyita perhatian banyak orang, bukan hanya warga Banda Aceh saja. Hal ini dikarenakan pasangan calon yang menjadi kandidat merupakan tokoh-tokoh populer di kota tersebut.


Ada empat kandidat yakni Illiza Sa’aduddin Djamal (eks Walikota Banda Aceh 2015-2017 dan eks anggota DPR RI 2019- 2024), dan Zainal Arifin (eks wakil Walikota Banda Aceh 2017-2022), Irwan Djohan (eks anggota DPR Aceh (2014-2024), dan Aminullah Usman (eks Walikota Banda Aceh 2017-2022).

Illiza menggandeng Afdhal Khalilullah sebagai calon wakil. Pasangan ini diusung oleh PPP, Gerindra, Golkar serta didukung Partai Nanggroe Aceh (PNA) dan Partai Ummat. Illiza merupakan mantan Wali Kota Banda Aceh 2014 “ 2017, serta anggota DPR RI periode 2019-2024. Setelah gagal kembali ke Senayan, Illiza ingin kembali merebut kursi walikota.

Illiza menjadi satu-satunya calon perempuan yang harus bersiap menghadapi tiga kandidat laki-laki. Illiza tidak gentar, dia sangat optimis memiliki peluang untuk menang.

“Masyarakat mengatakan apa bedanya kita memberikan kepada perempuan yang punya kemampuan, tapi kemudian memberikan kepada laki-laki justru tidak punya kemampuan,” ujar Illiza kepada Dialeksis saat ditemui disela-sela kampanye dialogis dengan pemuda Ansor.

Illiza menuturkan survei yang dilakukan oleh Poltraking dan Indikator dia mendapatkan elektabitas 60 persen. “Hasil survei juga menyebutkan isu perempuan tidak boleh memimpin tidak lagi berpengaruh,” ujar Illiza.



Meski demikian Illiza menyadari narasi menolak perempuan sebagai pemimpin akan tetap digunakan untuk menyerang dirinya. Hal itu dibuktikan dengan adanya konten di media sosial yang menyudutkan kepemimpinan perempuan. Namun, dia meyakini warga Banda Aceh kini telah menjadi pemilih cerdas, memilih pemimpin karena kapasitas, bukan identitas.

Pada Pilkada 2017, Illiza sangat kaget ketika lawan politiknya memainkan isu agama untuk menjatuhkan dirinya. Alhasil saat itu, Illiza kalah telak dari Aminullah Usman. Illiza meraih 31.366 suara sedangkan Aminullah mendapatkan 63.087 suara. Adun suara sah 94.453 suara.

“Pada tahun 2017 itu sangat masif dilakukan dan pengaruhnya cukup besar, tetapi saat ini kampanye hitam itu tidak lagi berdampak,” ujar eks anggota DPR RI 2019-2024 ini.


Namun, menurut penelitian yang dilakukan oleh Nida Hamima mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan Prodi Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Ar Raniry Banda Aceh, kekalahan Illiza saat itu bukan semata karena kampanye perempuan tidak boleh boleh memimpin.

Nida menyebutkan Illiza melakukan suatu kebijakannya sangat tidak populer dan bahkan banyak orang yang tak menyukai jargon yang diangkat yakni menjadikan Banda Aceh menjadi kota yang Madani dan terkesan melakukan politisasi agama untuk mencari sensasional dan popularitas saja.

Penelitian ini diberi judul Pola Komunikasi Politik Calon Walikota Banda Aceh pada Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2017 Terhadap Masyarakat. Penelitian ini diterbitkan pada 2018.

Masih dalam penelitian tersebut, Nida menyebutkan sedangkan Aminullah Usman mengusung jargon ‘Energi Baru’ dan dia digambarkan sebagai bankir yang paham mengelola ekonomi. Sebagaimana diketahui Aminullah merupakan eks Direktur Utama Bank Pembangunan Daerah (BPD), Bank Aceh Syariah.

Meski demikian Illiza berpendapat kekalahannya pada Pilkada 2017 tidak terlepas dari kampanye hitam agama melarang perempuan memimpin. Illiza telah belajar dari kekalahan 2017. Dia juga mendekati tokoh-tokoh ulama untuk mendapatkan restu.

Kini dia memperbanyak kampanye dialogis, menyerap aspirasi warga, dan menawarkan program-program pembangunan. “Warga Banda Aceh semakin cerdas. Warga melihat sendiri bagaimana pembangunan saat perempuan dan laki-laki memimpin. Memberikan (memilih) perempuan yang mampu atau memberikan kepada laki-laki yang tidak mampu,” kata Illiza.

Pilkada 2024, Illiza - Afdhal diusung oleh PPP, Gerindra, Golkar serta didukung Partai Nanggroe Aceh, Partai Ummat, PSI. Illiza juga sudah mendapatkan restu dari ulama kharismatik Aceh Abu Mudi, sebagai legasi bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin.

Sebagai politisi senior dan eks walikota, perempuan kelahiran 1973 ini cukup dikenal oleh warga Banda Aceh. Namun, pada kalangan gen Z Illiza masih harus melakukan pendekatan lebih masif. Karena itu dia juga sangat aktif di media sosial. Bahkan dia memiliki tim kampanye media digital.

Illiza menuturkan Banda Aceh perlu pemimpin yang paham akar persoalan sehingga tahu pula solusinya. Persoalan sempitnya lapangan kerja, perlindungan terhadap kelompok rentan, hingga penataan pedagang kecil harus menjadi prioritas. Selain itu pembangunan infrastruktur hingga penerapan kerja berbasis digital juga jadi atensinya.

Menurut Illiza, walikota harus pandai mencari dukungan anggaran dari pemerintah pusat dan dunia internasional, sebab jika hanya mengandalkan anggaran daerah laju pembangunan tidak berjalan cepat.

“Kami tidak melakukan back campaign, kami ingin menjadi paslon yang disenangi warga,” ujar Illiza.

Illiza mengklaim mendapatkan dukungan perempuan, generasi millennial, dan gen Z. Saat dia masih menjabat sebagai anggota DPR RI, dia memiliki program bantuan biaya pendidikan sekolah hingga kuliah.

Illiza Sa'aduddin Djamal, terus mengembangkan pendekatan inovatif untuk meraih simpati Generasi Z dalam kampanye politiknya. Kali ini, Illiza aktif menggunakan berbagai platform media sosial seperti Instagram dan TikTok untuk menyampaikan pesan-pesan politik dengan gaya yang segar dan kreatif, sesuai dengan karakter generasi muda. Melalui akun media sosialnya, Illiza kerap mengunggah konten yang relevan dengan isu-isu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari generasi Z.

“Gen Z ini kritis dan penuh semangat, tapi mereka ingin mendengar sesuatu yang nyata dan dekat dengan kehidupan mereka. Itulah sebabnya saya ingin terlibat langsung dengan mereka lewat platform yang mereka pakai sehari-hari,” ujar Illiza.

Selain konten individual, Illiza juga bekerja sama dengan beberapa influencer lokal yang dikenal di kalangan generasi muda Aceh. Dalam sebuah kolaborasi dengan influencer TikTok yang memiliki banyak pengikut. Illiza mengajak anak muda untuk berbicara soal pendidikan dan pekerjaan, dua isu yang sangat relevan bagi mereka. Konten ini pun ramai dibagikan dan menjadi topik hangat di media sosial, menunjukkan bahwa pesan-pesan politik bisa menarik bila dikemas sesuai dengan gaya komunikasi generasi muda.

“Kampanye ini adalah tentang mengajak mereka untuk sadar bahwa keputusan yang mereka ambil dalam pemilu akan berdampak langsung pada hidup mereka. Saya ingin mereka merasa bahwa suara mereka berarti,” tambah Illiza.

Dengan pengalaman menjadi wakil, walikota, dan anggota DPR RI, Illiza meyakini dapat menjadi modal dia dalam memimpin Banda Aceh. “Saya sudah duduk di DPR RI, networking saya menjadi lebih luas dibanding yang lainnya,” kata Illiza.

Illiza dan Afdhal mengusung gagasan kota kolaborasi dengan sembilan program utama mulai dari pelayanan publik, penanganan lansia, hingga pengembangan kota berbasis digital. Illiza yakin program yang ditawarkan itu kebutuhan warga kota.

Kelompok anak muda di Banda Aceh yang tergabung dalam Kamu Demres (Komunitas Demokrasi Resilient) dan Masyarakat Anti Hoaks Aceh (MAHA) menilai kampanye hitam mengatasnamakan agama menurunkan kualitas demokrasi. Oleh karena itu, Kamu Demres dan MAHA giat melakukan kampanye pemilu yang bersih adil. Kampanye dilakukan melalui diskusi dan aksi damai di ruang publik.

Koordinator KAMU Demres Raudhatul Hasanah Lie menuturkan salah satu isu demokrasi yang mereka beri perhatian besar adalah kampanye hitam yang menyatakan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.

Ini adalah isu yang sudah basi, tetapi terus diangkat untuk melemahkan posisi perempuan dalam politik, terutama di Aceh yang dikenal dengan nilai-nilai keislamannya.

“Kami di KAMU Demres menegaskan bahwa Islam tidak pernah melarang perempuan untuk menjadi pemimpin. Ini adalah bentuk penyelewengan tafsir agama yang sering digunakan sebagai senjata politik untuk menjatuhkan lawan, khususnya perempuan yang berani mengambil peran strategis dalam pilkada,” jelas Nurhanasah.

Sementara itu, Koordinator MAHA, Rizki Amanda, informasi hoaks berkaitan dengan pemilu masif, termasuk narasi perempuan tidak boleh memimpin. Menurut Rizki hoaks dapat memicu perpecahan.

Setelah mereka teliti lebih dalam informasi itu diproduksi oleh akun palsu atau akun anonim. Rizki menilai konten tersebut sengaja disebar untuk menyerang Illiza dan memecah persatuan warga.

Rizki mengajak warga untuk hati-hati mengkonsumsi informasi terutama yang ditemukan di media sosial. “Kami terus berupaya mengedukasi pemilih pemula, bekerja sama dengan Komisi Independen Pemilihan (KIP), agar mereka juga bisa mengenali hoaks. Anak muda harus jadi pelopor melawan hoaks,” ujar Rizki.

Nurhasanah dan Rizki menilai meski gen Z masih kurang pengetahuan tentang politik, tetapi mereka punya rasa ingin tahu yang tinggi sehingga tidak mudah terpengaruh dengan kampanye hitam.

Sejarah Memihak Perempuan

Sebenarnya posisi perempuan dalam kepemimpinan formal tidak perlu diperdebatkan lagi. Peradaban Aceh telah mencatat perempuan pernah menduduki jabatan penting dalam pemerintahan kerajaan.

Sejarawan dan budayawan Aceh TA Sakti menuturkan kepemimpinan perempuan bukanlah hal baru dalam sejarah Aceh. Menurutnya, perempuan pernah memainkan peran penting sebagai pemimpin, dan ia menyambut baik adanya calon perempuan yang ingin menjadi wali kota atau pemimpin di Aceh.

"Saya kira bagus sekali karena dalam sejarah Aceh, kepemimpinan perempuan sudah berlangsung lama. Saya sendiri dipimpin perempuan, jadi bagi saya ini bukanlah masalah," ujar TA Sakti.

Ia menjelaskan bahwa ada banyak sosok pemimpin perempuan dalam sejarah Aceh, mulai dari Sultanah Safiatuddin hingga Sultanah Nurul Alam, yang memerintah dengan penuh wibawa meski mengalami berbagai tantangan.

Namun, TA Sakti juga mengakui bahwa tidak semua pihak mendukung kepemimpinan perempuan di masa lalu. "Ada beberapa ulama yang menentang, bahkan sampai terjadi konflik. Salah satunya, keturunan ulama dari Tiro yang memilih mengungsi karena tak setuju dengan kepemimpinan Sultanah di Aceh," ungkapnya.

Meski demikian, TA Sakti menekankan bahwa keberadaan pemimpin perempuan di Aceh telah diakui dan diterima dalam kondisi darurat sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tajus Salatin. "Di masa darurat, jika tidak ada sultan laki-laki, maka perempuan bisa menjadi pemimpin. Itu sesuai dengan hukum agama dalam kitab Tajus Salatin," lanjutnya.

Sejarawan ini juga menyayangkan penggunaan isu agama dalam konteks politik modern untuk menyerang calon perempuan. Menurutnya, beberapa kelompok kerap menggunakan dalih agama untuk kepentingan politik dan kekuasaan, serupa dengan situasi pada masa lalu ketika keturunan Arab dan Bugis turut terlibat dalam perebutan kekuasaan di Aceh.

"Sejarah mengajarkan kita bahwa konflik soal kepemimpinan perempuan di Aceh seringkali terkait dengan hasrat berkuasa. Di masa lalu, beberapa kelompok menolak kepemimpinan perempuan hanya karena mereka ingin berkuasa," ujar TA Sakti.

Melihat situasi ini, TA Sakti berpesan agar generasi muda tidak mudah termakan isu-isu yang berbau politis dan tetap fokus pada pembangunan Aceh yang lebih baik. "Belajar dari sejarah, kita perlu menguatkan diri agar tidak mudah diadu domba. Kepemimpinan, baik laki-laki maupun perempuan, seharusnya dilihat dari kemampuan dan visi, bukan gendernya," pesan TA Sakti mengakhiri perbincangan.


Pandangan serupa juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Flower Aceh (LSM fokus isu perempuan), Riswati. Menurutnya pentingnya menilai calon pemimpin perempuan berdasarkan kinerja, kapasitas, dan integritas, bukan hanya gender. Di tengah kampanye negatif yang mengaitkan perempuan dengan larangan memimpin, ia menekankan perlunya edukasi politik yang lebih luas untuk masyarakat, agar mampu membuat keputusan yang tepat dan terinformasi.

"Isu yang mengharamkan perempuan jadi pemimpin seharusnya tak menjadi halangan. Masyarakat perlu melihat rekam jejak, kontribusi, dan pengalaman kepemimpinan yang pernah dilakukan calon perempuan. Jika seorang kandidat memiliki kinerja baik di masa lalu, tentu masyarakat akan mendukungnya," ujar Riswati.

Ia menambahkan bahwa penting bagi masyarakat untuk fokus pada empat kriteria utama dalam memilih pemimpin: amanah, komitmen, jujur, dan berintegritas. Menurutnya, kampanye hitam yang menyebarkan informasi keliru atau tanpa verifikasi justru merugikan masyarakat dalam memilih pemimpin yang ideal.

"Pastikan suara kita diberikan kepada pemimpin yang benar-benar mewakili harapan dan kebutuhan warga. Kampanye hitam seringkali mempengaruhi keputusan masyarakat yang tidak sempat mengonfirmasi informasi yang beredar," tambahnya.

Riswati juga menyoroti peran edukasi dan sosialisasi politik yang perlu diperluas hingga ke tingkat masyarakat umum. Menurutnya, meskipun partai politik memiliki program pendidikan internal, masyarakat umum juga membutuhkan pemahaman politik yang cukup untuk mencegah terpengaruh oleh kampanye negatif.

"Edukasi politik yang memadai penting agar masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang tidak akurat. Dengan begitu, kita bisa menciptakan demokrasi yang bersih dan berkualitas," tutup Riswati.

Di sisi lain, ia menyebutkan Aceh memiliki sejarah panjang kepemimpinan perempuan yang seharusnya menjadi teladan bahwa perempuan layak memimpin. "Kehadiran perempuan dalam berbagai posisi publik, termasuk politik, menandakan bahwa demokrasi di Aceh semakin maju. Tinggal bagaimana kita mendukung mereka dengan menilai secara objektif dan tanpa diskriminasi gender," pungkasnya.



Selanjutnya »     Pilkada Sehat dan DamaiKomisi Independen...
Halaman: 1 2 3
Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda