kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Gaduh Pemilu Antara Proporsional Tertutup dan Terbuka

Gaduh Pemilu Antara Proporsional Tertutup dan Terbuka

Senin, 02 Januari 2023 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga

Ilustrasi. [Dok.Viva]

DIALEKSIS.COM - Sistem Pemilu di Bumi Pertiwi akan berubah? Ada wacana Pemilu proporsional tertutup. Artinya rakyat tidak langsung memilih Caleg yang diinginkanya seperti selama ini, namun partailah yang menentukan. 

Pro kontra soal wacana Pemilu proporsional hingga kini terus mengelinding. Berbagai pihak memberikan pandanganya soal wacana ini. Tidak ketinggalan para pengamat politik di Bumi Aceh ikut meramaikanya.

Mejelis hakim Mahkamah Konstitusi belum mengetuk palu ponis atas gugatan ini. Namun bagaimana hingar bingarnya soal wacana Pemilu proporsional tertutup ini? Dialeksis.com merangkum berbagai pendapat. Banyak yang setuju, ada menawarkan solusi, namun ada juga yang menolaknya. Bagaimana kisahnya?

Tidak Setuju

DR Andi Malaranggeng misalnya, Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat dalam tulisanya menyatakan ketidak setujuanya menggunakan sistemp proporsional tertutup, dia lebih menginginkan ke system proporsional terbuka.

“Kalau benar kita kembali ke sistem proporsional tertutup, itu adalah kemunduran demokrasi di Indonesia,” sebut Andi Malaranggeng dalam tulisanya yang dimuat berbagai media.

“Sebenarnya, kalau kita mau maju mestinya kita maju ke arah sistem distrik, first past the post. Wakil rakyat dipilih langsung oleh rakyat, di mana satu dapil hanya ada satu kursi. Dapilnya kecil, hubungan antara rakyat dan wakilnya jelas, akuntabilitas kuat. Tapi kita tahu sejak dulu mayoritas parpol tidak percaya diri dengan sistem distrik,” jelasnya.

Andi Malaranggeng juga memberikan argument, selama Orde Baru, dengan sistem proporsional tertutup, yang terjadi adalah tampilnya anggota-anggota parlemen yang tidak dikenal oleh rakyat yang diwakilinya.

Rakyat hanya memilih tanda gambar partai, dan siapa yang terpilih dasarnya adalah nomor urut yang ditentukan oleh parpol. Yang muncul adalah kader-kader jenggot yang berakar ke atas, tidak mengakar ke rakyat. Oligarki partai merajalela dan hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri.

Dalam sistem proporsional tertutup, perjuangannya adalah bagaimana mendapatkan nomor urut kecil, kalau bisa dapat nomor urut 1. Maka, resepnya adalah: dekat-dekatlah kepada pimpinan partai. Dekat kepada rakyat tidak penting.

Yang penting branding partai tetap kuat di dapil. Biarlah tokoh utama partai yang berkampanye keliling, kita tinggal memasang gambar partai dan tokohnya. Partai menang, caleg nomor urut 1 terpilih. Oh, yang kerja keras mungkin caleg no 2, karena hanya kalau partai dapat 2 kursi baru dia bisa terpilih. Nomor urut 3 dan seterusnya cuma pelengkap, hampir tidak ada harapan terpilih.

 Andi juga menyinggung soal biaya. Sistem proporsional terbuka mengakibatkan biaya politik tinggi karena persaingan antar calon di dalam partai. Bahkan ada yang mengaitkannya dengan politik uang.

Padahal politik uang tidak berasal dari sistem pemilu tapi justru pada budaya politik masyarakat dan elit itu sendiri. Bagi-bagi sembako menjelang pemilu sudah terjadi sejak masa Orde Baru dengan proporsional tertutup.

“Kalau soal politik biaya tinggi, itu relatif, tergantung orangnya dan daerahnya, serta campaign financing system. Apalagi, sekarang ada medsos yang gratis,” sebut Andi.

Sistem proporsional terbuka menghasilkan anggota parlemen yang akuntabilitasnya kuat kepada rakyat. Kalaupun sudah terpilih, tidak ada jaminan dia bisa terpilih kembali, biarpun dapat nomor urut 1. Tergantung bagaimana penilaian rakyat terhadap kinerjanya sebagai wakil rakyat.

Ini yang berbeda dengan sistem proporsional tertutup. Seseorang bisa terpilih dan terpilih kembali walau kinerjanya sebagai wakil rakyat tidak jelas. Selama dia dekat dengan pimpinan partai, dia bisa terus dapat nomor urut 1, dan kemungkinan besar terpilih kembali.

Kalau benar kita kembali ke sistem proporsional tertutup, itu adalah kemunduran demokrasi di Indonesia. Janganlah hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri dengan mundur ke sistem proporsional tertutup.

Bagaimana pendapat peneliti senior? Prof. Dr. Firman Noor, S.I.P, MA, peneliti Senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan, wacana proporsional tertutup sangat riskan sekali dan perlu pengkajian yang sangat serius, karena jika hal itu terjadi maka semakin memperlemah legitimasi KPU di mata masyarakat.

“Saya khawatir juga legitimasi pemerintahan yang terbentuk juga terganggu kalau memang seperti ini,” ucapnya saat diwawancarai Dialeksis.com, Senin (2/1/2023).

Lebih lanjut, kata Prof Firman, kini masalah pemilu di negeri ini demikian kompleks, kecurangan yang terjadi kembali harus mengaca pada kualitas peserta, kesigapan dari pelaksana, dan kontribusi masyarakat.

“Kalau digelar dengan sistem proporsional tertutup maka itu tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan banyak kelemahan yang akan memundurkan kualitas demokrasi kita,” ungkapnya.

Ia melihat bahwa hari ini demokrasi yang diperlihatkan adalah demokrasi elitis, yaitu demokrasi yang diatur oleh segelintir elit.

“Di dalam konteks pemilu terbuka saja ketika masih ada kesempatan caleg itu lebih fokus pada konsituen bukan kepada pimpinan partai itu nuansa elitisnya sudah kental, apalagi nanti yang menentukan jadi daftar atau tidak itu oleh ketua umum partai. Nah ini akan kacau sekali nanti, terbuka aja sudah elitis apalagi tertutup,” jelasnya lagi.

Sambungnya, nanti akan menghasilkan wakil rakyat yang ‘yes men’, ketika mereka ada di parlemen itu hanya orang-orang yang ditanam oleh kepentingan elit, tidak ada tawaran dari wakil rakyat yang murni dipilih karena kedekatan dengan rakyat.

Menurutnya, hal paling dikhawatirkan dari wacana itu adalah semakin tidak mendekati rakyat, sekarang saja sudah nuansanya oligarki, apalagi kalau nanti tertutup, pastinya tidak ada lagi pintu masuk untuk rakyat.

“Suara rakyat dipasrahkan kepada partai artinya rakyat nyoblos untuk memberikan kewenangan penuh ke tangan ketua umum partai,” imbuhnya.

Ia menegaskan, kebijakan tersebut tidak cocok diterapkan sekarang, kecuali nanti ketika parpol sudah terlembaga dengan baik, rasa tanggung jawab kepada bangsa dan negara tinggi, oligarki sudah disingkirkan tidak berkuasa seperti saat ini.

“Barulah kita bisa percaya bahwa wakil rakyat kita orang yang kredibel dan punya komitmen demokratis yang kuat. Tapi kalau sekarang ini sangat riskan,” pungkasnya.

Mereka yang Setuju

Awal kisah hingar bingar ini adalah Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari menyatakan pihaknya melontarkan wacana opsi pemilu kemungkinan kembali pada sistem proporsional tertutup.

Dimana nantinya masyarakat hanya akan mencoblos lambang partai, bukan nama caleg sebagaimana Pemilu 2019. Jadi dalam sistem ini nama caleg bakal menghilang dalam surat suara.

Partai yang akan menentukan siapa yang duduk di kursi parlemen berdasar nomor urut caleg yang disusun partai sebagaimana Pemilu 2004.

Pernyataan ketua KPU ini didasari sistem pemilu proporsional terbuka dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, sedang digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara ini bernomor 114/PUU-XX/2022.

Wacana penyelenggaraan pemilu dengan sistem proporsional tertutup beberapa bulan lalu sempat diusulkan oleh salah satu partai 

Selanjutnya »     politik (parpol) di parlemen, yaitu PDIP...
Halaman: 1 2 3
Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda