Aceh Ladang Korupsi, Kapan Akan Terbebas?
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM- Negeri paling ujung barat pulau Sumatera dinobatkan sebagai negeri penuh taburan korupsi. Walau sudah banyak tersangka yang dijebloskan ke penjara, provinsi Serambi Mekkah ini tidak pernah habis dalam persoalan korupsi.
Aceh termasuk provinsi "super" korupsi di Indonesia. Negeri Iskandar Muda ini berada di enam provinsi juara korupsi di Indonesia. Aceh, Sumatera Utara, Riau, Banten, Papua dan Papua Barat. Untuk Aceh sudah dua gubernur yang masuk bui karena korupsi. Belum lagi pejabat di bawah gubernur.
Wakil ketua KPK Laode Muhammad Syarif, menyebutkan pihaknya memiliki data sesuai hasil penelitian dalam menetapkan enam provinsi di Indonesia yang menjadi juara korupsi.
"Dari penelitian kami, enam daerah provinsi tersebut juaranya kasus korupsi. Kepala daerah berperan dalam tindak korupsi," kata Laode, disela seminar nasional 'Optimalisasi Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi', di Fakultas Hukum Universitas Semarang (USM), Rabu (10/4/2019).
"Wajar saja bila dilihat dari hasil kepala daerah yang ditangkap oleh KPK. Rata rata berasal dari enam provinsi tersebut. Provinsi Riau tiga gubernur terjerat korupsi. Sumatra Utara, dua. Untuk Aceh juga dua gubernur. Papua satu gubernur," sebut Ardiansyah, S.IP, MA, akademisi Fisif Unsyiah.
Menurut Ardiansyah menjawab Dialeksis, menjelaskan, Banyak program- program yang dicanangkan oleh pemerintah, berbentuk bantuan sosial yang sarat peluang korupsi. Perilaku aktor pemerintah dan elit politik juga ikut mempengaruhi terjadinya praktik korupsi di lingkungan pemerintah daerah.
Lain lagi penilaian Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk. Faisal Ali. Menurutnya, korupsi mencuat karena persoalan soal degredasi ahlaq di rakyat Aceh, ini yang menjadi pemicu terjadi korupsi. Menjawab Dialeksis, Lem Faisal, nama akrab wakil MPU ini melihat persoalan korupsi, karena persoalan hati.
"Korupsi di Aceh karena keserakahan yang sangat menonjol. Hal ini didasari oleh tidak ada lagi rasa kasih sayang didalam hati mereka. Akhlaq yang merosot dikalangan orang Aceh. Ini salah satu sebab kenapa korupsi masih terjadi, karena budaya Aceh tidak lagi berjalan di tengah- tengah masyarakat," sebut Lem Faisal.
Benarkah Aceh negeri yang bertabur korupsi. Dua LSM di Aceh yang mengutak atik korupsi (GeRAK dan MaTA) memiliki sejumlah dokumen tentang dugaan korupsi yang berlangsung di negeri mendapat penghargaan khusus ini. Kedua LSM ini berbeda kasus dugaan korupsi yang mereka laporkan.
Coba buka catatan GeRAK (Gerakan Anti Korupsi Aceh). Dalam laporan organisasi nirlaba antikorupsi ini, pihaknya sudah melakukan pengawasan. Dari data yang dirangkum pada tahun 2015, tercatat 20 dugaan korupsi dengan total kerugian negara mencapai Rp885 miliar.
Menurut Askalani pimpinan GeRAK yang memberikan laporan mereka ke media dan sudah dimuat di berbagai media, persoalan korupsi di Aceh tidak pernah habis dan sulit untuk dihabiskan. Pada tahun 2013 ada paket pengadaan boat 40 GT dan 30 GT sebanyak 40 unit di 16 kabupaten/kota sebesar Rp136 miliar. Proyek ini ditengarai bermasalah. Nilai satu unit kapal Rp 2,4 milyar. Dimana menurut GeRAK spesifikasi seperti itu cukup Rp 1 milyas saja.
Demikian dengan program senilai Rp547 milyar di 11 dinas. Budi daya penggemukan sapi dan ayam petelur misalnya dengan angaran Rp54 milyar, dinas yang menanganinya tidak melakukan verifikasi calon penerima hibah.
Bantuan 100 ribu ekor ayam itu tidak tepat sasaran dan sulit diaudit. Demikian dengan penggemukan sapi, justru sapinya dijadikan daging meugang saat Idul Fitri. Demikian dengan payung elektrik di masjid Raya Baiturahman.Anggaran tahun 2016 dengan biaya Rp492 miliar, dinilai menyisakan masalah.
Hasil audit BPK terlihat beragam persoalan itu, mulai dari harga satuan yang tidak sesuai kontrak, penggelembungan biaya infrastuktur, sampai dengan persoalan nama perusahaan yang mengerjakan proyek. (Dalam dokumen audit BPK, nama perusahaan hanya tertulis PT. MSP.)
Demikian dengan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) organisasi nirlaba antikorupsi, juga senantiasa "getol" mengungkapkan dugaan korupsi. MaTA membeberkan hasil temuannya terkait kasus korupsi di Aceh sepanjang semester I tahun ini. Tercatat sebanyak 15 kasus dalam proses penyidikan oleh Kepolisian, Kejakasaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Empat kasus dalam proses penyidikan kepolisian, sembilan kasus oleh Kejaksaan dan dua kasus dalam penyidikan KPK," kata Alfian, Koordionator MaTA saat menjabarkan hasil pantauannya dalam Diskusi Publik Tren Penindakan Korupsi Aceh, Kamis 12 Juli 2018 di Banda Aceh.
Tahun sebelumnya Menurut MaTA, ada 18 kasus dalam proses penyidikan polisi dan kejaksaan menyidik 15 kasus. "Kecenderungan jumlah kasus dalam proses penyidikan oleh aparat penegak hukum akan meningkat di semester II setiap tahunnya," kata Alfian.
Menurut MaTA dalam kurun waktu 2017 dan semester I 2018, total kerugian negara yang ditemukan oleh aparat penegak hukum mencapai Rp 349,9 miliar.
Melihat "meledaknya" korupsi di Aceh, Dialeksis.com, meminta tanggapan Alfian (MaTA) tentang apa yang harus dilakukan dalam memperkecil korupsi. Menurut Alfian, Aceh perlu serius membangun sistem birokrasi yang antikorupsi, komitmen atau fakta integritas.
"Apa yang telah dilakukan selama ini belum menunjukkan secara jujur pemerintah Aceh tidak bebas dari korupsi. Dua kali Gubernur Aceh tersangkut hukum, seharusnya menjadi pengalaman yang sangat berharga dalam menata Aceh lebih baik," sebut Alfian.
Baca juga"Jeratan KPK dan mereka yang melawan
"Publik Aceh dan dunia luar saat ini sangat mudah menilai pemerintah Aceh dalam mengelola uang yang bersumber dari Otsus. Pengelolaan itu belum mampu meningkatkan kesehateraan rakyat Aceh, pengangguran meningkat, kemiskinan masih menjadi ancaman, pembangunan belum berpihak pada kebutuhan rakyat." katanya.
Ini sangat mendesak dan menjadi mandatori pemerintah untuk mengelola secara jujur dan ini menjadi kunci Aceh menjadi hebat. Aceh masuk dalam propinsi korup dan ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk keluar dari daerah korup, kata Alfian.
"Kuncinya kejujuran. Apabila pemerintah mempertahankan daerah korup, ini menjadi implikasi besar terhadap kepercayaan publik dan krisis tatanan sosial masyarakat. Saya sendiri mulai takut dengan kondisi saat ini," sebutnya.
"Pola pikir kita sudah di dalam ambang kapitalis dan menghilangkan identitas kita sendiri. Bagaimana membangun Aceh yang sejahtera, tapi otaknya masih korup? Pola pikir menjadi modal utama dulu, selanjutnya baru membenah tata kelola keuangan, perencanan dan pelaksaan yang sesuai kebutuhan rakyat. Sudah saatnya pemerintah Aceh berhenti dari kebutuhan pemodal dan elit yang selama ini terjadi," demikian penjelasan Alfian.
Kapan Aceh akan bangkit menanggalkan prediket korupsi terbesar di negeri Pertiwi ini? Bila tidak punya tekad untuk memulainya, Aceh akan terus menjadi negeri ladang korupsi. Maukah rakyat Aceh selamanya mendapatkan gelar sebagai negeri korupsi? (Bahtiar Gayo)