Aceh Darurat Kekerasan Terhadap Anak
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kasus seorang ibu muda yang menyeret anaknya berusia lima tahun hingga belasan meter telah menyita perhatian publik. Kejadian itu menjadi perbincangan publik setelah videonya viral di media sosial.
Seperti yang sudah diberitakan media ini sebelumnya, pelaku berinisial NI dan anak kandungnya yang menjadi korban merupakan warga Desa Pie, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh. Kejadian itu terjadi pada Jum'at (29/11/2019) lalu akibat pelaku kesal terhadap korban yang selalu merusak tanaman dan mencabut cabai di pekarangan rumah tetangganya. Akibat perbuatannya, NI ditahan pihak Polsek Ulee Lheue.
"Korban menderita luka memar di lengan sebelah kiri dan goresan luka di paha kiri," jelas Kapolsek Ulee Lheue, AKP Ismail kepada Dialeksis.com, Senin (2/12/2019).
Banyak yang bertanya, kenapa si ibu begitu tega melakukan kepada bocah sekecil itu, konon bahkan korban anak kandungnya sendiri? Apa faktor yang melatarbelakanginya sehingga sang ibu 'sanggup' memperlakukan si bocah diluar batas nalar kemanusiaan?
Semua Lini Harus Bersinergi
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Aceh Nevi Ariyani, SE menyebutkan permasalahan sosial seperti ini memang kerap terjadi. Menurut dia, banyak faktor yang menyebabkan kejadian itu.
"Saya pikir ini banyak faktor penyebabnya, faktor ekonomi yang paling besar. Kemudian, tingkat kepedulian antar kita semakin berkurang. Ini menjadi PR kita bersama," ujar Nevi Ariyani kepada Dialeksis.com, Selasa, (3/12/2019).
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Aceh Nevi Ariyani, SE. Foto: Website Dinas PPPA
Untuk menanggulangi permasalahan ini, lanjut dia, semua pihak harus bersinergi, baik pemerintah, masyarakat, maupun keluarga.
"Kalau dinas PPPA sendiri yang bergerak gak mungkin, perlu bersinergi semua pihak, baik pemerintah dan masyarakat, serta keluarga dalam menimalisir kejadian ini," tandas Nevi.
Sebagai SKPA yang fokus pada perempuan dan perlindungan anak, sebutnya, banyak hal yang sudah dilakukan untuk menimalisir kejadian kekerasan terhadap anak. Nevi pun mengajak pemuka gampong untuk bersama-sama berperan agar peristiwa yang dilakukan oleh NI tidak terulang lagi.
"Banyak hal yang sudah kami lakukan, seperti sosialisasi di gampong-gampong. Kita juga ada forum anak, yang bisa menghimpun anak-anak berkreatifitas sehingga bisa mengkampanyekan beberapa isu dan menjadi kewajiban mereka sebagai pelapor dan pelopor," jelas perempuan kelahiran Meulaboh ini.
Selain kegiatan diatas, sambungnya, PPPA juga membangun kerjasama dengan pihak kepolisian dan kejaksaan untuk menindaklanjuti setiap kasus yang terjadi.
"Itu terhadap yang telah terjadi. Untuk yang belum terjadi, inilah yang saya sebutkan tadi perlu sinergisitas semua lini untuk menimalisir hal ini. Kita juga akan mendampingi proses hukum dan pendampingan terkait psikologi korban sampai tuntas," terang Nevi.
Disamping, kata wanita lulusan Fakultas Ekonomi Unsyiah ini, pihaknya juga melakukan melakukan kerjasama dengan lintas sektor. Terkait dengan kampanye dan sosialisasi, sambungnya, PPPA bekerjasama dengan Kominfo, baik melalui media dan kegiatan tatap muka.
"Kita juga bekerja sama dengan LSM dan dunia pendidikan, seperti masyarakat peduli anak. Pokoknya setiap lembaga yang konsen pada perempuan dan anak kita bangun kerjasama.
PPPA juga memiliki lembaga Pusat Partisipasi Publik Untuk Masyarakat (Puspa) yang menghimpun semua lembaga yang konsen pada isu perempuan dan anak," kata Nevi.
Pemicu Kekerasan Terhadap Anak
Sementara itu, pendapat berbeda diperoleh dari Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Siti Maisarah. Menurutnya, kejadian kekerasan terhadap anak yang dilakukan orang tua kandungnya sendiri menunjukkan ada yang bermasalah pada ketahanan keluarga si pelaku. Untuk itu, sebut Siti, pihaknya berinisitif akan menemui pelaku untuk mengetahui motif dari peristiwa memilukan itu.
"Jika melihat perlakuan si ibu yang sudah berkali-berkali dilakukan, berarti ada sesuatu pada ketahanan keluarganya. Perempuan melakukan sesuatu pasti ada pemicunya. Nah, ini yang ingin kita cari tahu pasti. Ada apa? Mungkin ada persoalan dengan suami, dengan keluarga yang lain, selain faktor gangguan psikologi," kata Siti Maisarah saat dikonfirmasi Dialeksis.com, Selasa, (3/12/2019).
Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Siti Maisarah. Foto: Ist
Meski ibu korban merupakan pelaku, sambung Siti, pihaknya tetap akan melakukan langkah pendampingan dan proses pemulihan.
"Selain pendampingan, kita juga melakukan pemulihan terhadap si ibu. Meski menghadapi kasus hukum, si ibu berhak mendapat pendampingan hukum, dan proses pemulihan," ujarnya.
Kasus kekerasan terhadap anak sendiri telah menjadi fenomena dan berulangkali terjadi. Berdasarkan data yang dimiliki P2TP2A, jumlah kejadian kekerasan terhadap anak tahun 2019 berjumlah 54 kasus dan didominasi diwilayah domestik.
"Kami juga bertanya, kenapa lebih banyak terjadi diwilayah domestik. Berarti ini ada sesuatu di keluarga, ada apa ini? Nah kalau ditanya siapa yang paling berperan, seperti yang saya sebutkan tadi. Kalau itu tidak berperan, gagal, masih banyak kita temukan kasus-kasus seperti ini," kata ketua lembaga P2TP2A ini.
Siti menegaskan untuk menanggulangi dan menekan angka tersebut dibutuhkan kerjasama semua pihak, meskipun negara merupakan penanggung jawab utama terhadap hak anak.
"Kalau kita bicara tanggung jawab, dan sesuai UU serta konvensi hak anak, negara merupakan penanggung jawab utama dalam memastikan 31 hak anak. Melalui perangkat kerja daerahnya, dinas A, dinas B dan sebagainya. Nah, semua itu terlibat, termasuk peran masyarakat dan media. Soal media, ini juga menjadi catatan. Memang inisiatifnya bagus, namun penyajiannya sangat detil. Itu bukan edukasi lagi," jelas dia.
Dalih Kebiasaan Lama
Pada kesempatan yang lain, Wakil Ketua Komisi Pengawasan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA) Ayu Ningsih memberikan pandangan yang berbeda.
Ia berpendapat peristiwa kekerasan terhadap anak merupakan kebiasaan lama para orang tua dalam memberikan 'punishment' (hukuman) kepada anak.
"Itu lumrah terjadi pada masyarakat. Kenapa? Masyarakat seringkali mempraktekkan isu-isu kekerasan terhadap anak dengan dalih untuk memberikan penghukuman agar anak lebih disiplin dan bertanggungjawab. Ini sebenarnya metode-metode lama," tandas Ayu.
Wakil Ketua Komisi Pengawasan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA) Ayu Ningsih. Foto:
Ia menjelaskan aspek sejarah masa lalu yang dialami oleh orang tua juga berpotensi menjadi faktor penyebab kekerasan terhadap anak.
"Praktek kekerasan terus bergulir dari waktu ke waktu. Mungkin si orang tua juga mengalami kekerasan yang sama oleh orangtuanya dulu, sehingga ada efek balas dendam," pungkas komisioner KPPAA ini.
Ayu mengajak semua pihak untuk berpikir jernih melihat kejadian ini. Bagi dia, ada banyak pemicu yang harus ditelaah.
"Mungkin juga karena emosinya yang luar biasa, atau masalah dengan suaminya, atau kejadian dengan tetangga, lagi-lagi anak yang menjadi korban.
Faktor ekonomi juga menjadi faktor. Terus kalau kita lihat, Si ibu itu kan istri kedua. Kita gak tahu, mungkin sedang bermasalah dengan suaminya, atau seperti apa, jadi sangat biasa anak-anak menjadi korban," jabar dia.
Ayu menegaskan dalam hal perlindungan anak, telah ada UU khusus anak yang mengaturnya. Menurut dia, banyak orang tua yang tidak memahami persoalan ini.
"Tapi kan banyak masyarakat yang tidak tahu. Yang mereka tahu, ini anak saya, apa urusan dengan orang lain. Padahal dalam kasus seperti ini meskipun anak sendiri, itu bisa dihukum orangtuanya, bahkan hukumannya lebih berat sepertiganya," pungkas Ayu.
Seperti yang diketahui, dalam UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 21 bagian kedua tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab
Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah telah ditegaskan bahwa Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan Hak Anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental.
Pada Bagian Keempat pasal 26 tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab Orang Tua dan Keluarga juga disebutkan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk, mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak; menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.
Ia melanjutkan dalam melihat kasus ini juga harus dipandang dari dampak yang akan dialami oleh si anak kalau seandainya si ibu diproses hukum.
"Kalau si ibu diproses hukum dan dipenjara, lalu si anak pengasuhannya sama siapa. Juga terhadap si anak pasti terdampak, teman-temannya pasti ngomong 'wah ibu kamu dipenjara'. Itu akan terjadi double efek terhadap si anak," tegasnya.
Pun demikian, meski harus melihat kembali dampak yang akan dialami si anak, Ayu menegaskan hal tersebut tidak serta merta menjadi justifikasi atas sikap orang tua yang telah melakukan kekerasan terhadap anaknya.
"Tapi efek negatif itu jangan dijadikan sebagai pembenaran atas tindakan si ibu. Kita akan melihat sebesar apa dampak yang akan dialami oleh si anak.
Kita akan lihat dulu perkembangan kasusnya. Kita koordinasi dulu ke kepolisian, hukumannya dalam kategori apa. Karena kalau ibunya ditangkap siapa yang akan mengasuh si anak, karena yang utama pengasuhan anak harus dilakukan oleh orang tua," kata dia.
KPPAA mencatat sepanjang tahun 2019 terjadi 293 kasus kekerasan terhadap anak yang tersebar di 23 Kab/Kota. Dari ratusan kasus yang terjadi, pelecehan seksual terhadap anak menduduki peringkat pertama dengan 69 kasus, berikutnya kejadian pemerkosaan 52 kasus, selanjutnya kekerasan psikis 38 kasus dan sejumlah bentuk kekerasan lainnya yang dialami si anak.
Ayu menerangkan laporan yang diterima selama ini kejadian yang berkaitan dengan anak banyak didominasi oleh kasus perebutan hak asuh anak.
"Kasus yang masuk bercampur. Laporan yang paling banyak masuk adalah kasus perebutan hak asuh anak. Kalau ada kasus pidana, biasanya kita akan merujuk dan berkoordinasi ke lembaga layanan, apakah P2TP2A, atau LSM. Kita hanya memantau proses pelayanannya saja," ungkap Ayu.
Bukan Tanggung Jawab Pemerintah Semata
Kasus ibu muda yang menghukum anaknya dengan cara diseret itu bukan hanya menyita perhatian para pegiat aktifis anak. Dosen Fakultas Psikologi Universitas Syiah Kuala Dr. Marty Mawarpury, M.Psi pun turut memberikan komentar. Menurutnya banyak faktor yang menyebabkan kekerasan terhadap anak.
"Kejadian seperti ini tidak hanyak di Aceh. Banyak faktor yang melatarbelakanginya, beberapa studi menyebut multi faktor," jelas Dr. Marty Mawarpury, Selasa, (3/12/2019).
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Syiah Kuala Dr. Marty Mawarpury, M.Psi. foto: Ist
Akademisi yang berprofesi sebagai psikolog menilai pemerintah telah melakukan berbagai langkah untuk menanggulangi permasalahan ini. Namun, sambung dia, persoalan ini bukan tanggung jawab pemerintah semata.
"Secara umum dapat ditelusuri pada program-program pemerintah yang ada pada dinas-dinas yang ada. Sebut saja kementrian perempuan dan anak, BKKBN, Dinsos, dan lain-lain. Hanya saja pemberdayaan masyarakat yang peduli dan aware (peduli) terhadap kasus-kasus ini. Misal ceramah yang menyelipkan masalah yang meresahkan ini, sehingga jadi kepedulian massal, tidak lagi menjadi ranah domestik untuk melaporkan pelaku," terangnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, kepedulian publik terhadap kejahatan anak dan perempuan harus jelas dan dibedakan dengan pengetahuan.
"Paparan berita tentang kasus memunculkan asumsi dan pengetahuan. Secara bersamaan membentuk pertahanan untuk keamanan personal/keluarga. Semoga menular untuk keamanan tingkat komunitas," imbuhnya.
Ia pun menyinggung maraknya kekerasan terhadap anak yang berbentuk pencabulan justru dilakukan oleh kalangan oknum guru mengaji atau guru agama.
"Bisa jadi guru agama bersembunyi dibalik pengetahuan agamanya, atau hukum dan sanksi sosial tampak tidak tegas dan tidak menimbulkan efek jera. sementara itu sorotan media lebih banyak pada korban. Perlu konfirmasi ulang pada pihak-pihak yang menangani ini," tandas Dr. Marty
Dia sependapat jika dana desa dapat dioptimalkan pada aspek pembangunan SDM yang berkualitas.
"Selama ini dana desa memang lebih banyak ditujukan untuk bangun fisik, karena lebih mudah diukur secara kasat mata. Tapi membangun SDM berkualitas, sehat mental, butuh waktu dan kontinyu. Dimulai dengan pola pikir dan kegiatan penguatan sikap perilaku positif dan akhlak mulia," tutup Dr. Marty.
Apa yang telah diungkapkan oleh para pemangku kebijakan, pemerhati, aktifis, dan akademisi terhadap kasus kekerasan anak yang telah menyita perhatian publik itu setidaknya telah memberikan gambaran bahwa banyak faktor 'X' yang melatarbelakangi kejadian itu. Menjadi tugas bersama seluruh unsur masyarakat untuk berperan dalam menanggulangi agar peristiwa 'miris' itu tidak terjadi lagi. Bagaimanapun, anak memiliki hak untuk mendapat kasih sayang, perhatian, perlindungan, dan segala hak yang melekat pada dirinya, sehingga ia nya tumbuh menjadi pribadi yang sehat dan berkualitas. Semoga.