kip lhok
Beranda / Gaya Hidup / Sinetron Zahra, Ada Isu Gender dan Kebencian Dunia Entertainment

Sinetron Zahra, Ada Isu Gender dan Kebencian Dunia Entertainment

Selasa, 08 Juni 2021 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Sumber : Dok. cnnindonesia.com

DIALEKSIS.COM | Jakarta - Sinetron Suara Hati Istri: Zahra memicu kontroversi sekaligus menarik perhatian banyak masyarakat dalam beberapa waktu terakhir. Hal itu disebabkan sinetron tersebut mempertontonkan pernikahan anak di bawah umur serta poligami.

Seruan netizen membuat rumah produksi sekaligus saluran televisi yang menayangkan sinetron itu sempat hiatus untuk mengganti pemeran karakter Zahra serta mengubah jalan cerita sebagai bentuk upaya mendengarkan masyarakat.

Dosen sekaligus peneliti sekaligus dosen Antropologi Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia, Irwan Martua Hidayana, mengatakan sinetron Zahra merupakan satu dari banyak sinetron Indonesia yang mempertontonkan hal-hal bebal terhadap isu gender, bahkan misogini.

Misogini merupakan pemikiran yang memandang rendah bahkan sampai tahap membenci perempuan.

Salah satu hal yang diduga menyebabkan itu terjadi adalah kurangnya representasi perempuan dalam industri sinetron.

"Saya pikir memang dalam beberapa penelitian, ini semacam elemen misogini. Saya pikir ini enggak bisa lepas dari soal siapa yang memproduksi ini? Saya duga pekerja di industri sinetron itu dominan laki-laki," ucap Irwan kepada CNNIndonesia.com.

"Perempuan bukannya enggak ada, mereka ada tapi dominan laki-laki. Sehingga kemudian kurang perspektif perempuan dalam cerita dan mungkin laki-laki itu merasa jalan cerita yang seperti itu disukai," tuturnya.

Kondisi tersebut, kata Irwan, sudah banyak diteliti sejak 2000-an. Sejak saat itu, representasi perempuan dalam sinetron cenderung negatif seperti harus bergantung pada orang lain, khususnya laki-laki, hingga berseteru dengan sesama perempuan.

"Yang menarik adalah ketika dihubungkan dengan sinetron Zahra itu memang gambaran perempuan di sinetron dari 2000-an, setelah reformasi, itu cenderung negatif."

"Sering juga muncul janda dan stigma negatif jadi perebut laki orang atau bagaimana. Jadi kalau kita lihat sinetron sebagai realitas media itu sebenarnya tidak sejalan dengan realita yang sesungguhnya di masyarakat," tuturnya.

Padahal, kata Irwan, perempuan Indonesia di dunia nyata mulai menampilkan kemandirian, memiliki kapasitas, semakin masuk ke pasar-pasar kerja, dan berhasil yang kemudian turut mengubah institusi keluarga.

"Tapi saya rasa mereka juga menyadari bahwa realita sosial berbeda dengan yang digambarkan dalam sinetron. Jadi memang itu tadi, media perlu ada perspektif perempuan sehingga ketika cerita yang dibangun tidak melulu soal itu tadi, dominasi dan didominasi," kata Irwan.

Kondisi tersebut juga ditulis Widjajanti Mulyono - Santoso dari LIPI dalam artikel Menjadi Perempuan di dalam Sinetron: Kekinian Femininitas yang diterbitkan dalam jurnal Antropologi Indonesia Volume 30 No 1 tahun 2006.

Artikel itu menuliskan unsur kekuasaan yang cenderung bersifat dominan-mendominasi terkait perempuan kerap ditampilkan di sinetron.

"Dalam hal ini perempuan yang memiliki kekuasaan direpresentasikan secara negatif dan cenderung melecehkan," tulis Widjajanti Mulyono - Santoso.

"Subordinitas perempuan menghasilkan kecenderungan bahwa perempuan tidak memiliki kuasa," tulis Widjajanti Mulyono - Santoso.

Begitu pula dengan yang disampaikan Sindung Haryanto dalam artikel bertajuk Kekerasan Simbolik Berbasis Gender dalam Budaya Pop Indonesia dari FISIP Universitas Lampung dalam Seminar Nasional Membangun Etika Sosial Politik Menuju Masyarakat yang Berkeadilan pada 2017.

Menurutnya, gambaran perempuan dalam sinetron selama ini dipengaruhi sistem patriarki di Indonesia, yakni menjadi objek seperti dilamar, ditaksir, diperkosa, dan lain-lain.

"Dalam sinetron Indonesia, perempuan digambarkan sarat dengan ketidakberdayaan, fatalisme dan mengalami berbagai problema kehidupan. Perempuan jarang digambarkan sebagai sosok yang berani atau mandiri," tulis Sindung dalam halaman 104.

"Jika pun ada maka penggambarannya terlalu ekstrem sehingga mengundang reaksi keras masyarakat," tulis Sindung.

CNNIndonesia.com sudah mencoba menghubungi pihak rumah produksi Mega Kreasi Films terkait polemik sinetron Suara Hati Istri, namun belum ada tanggapan hingga berita ini dipublikasi.

Pengaruh Sinetron Untuk Masyarakat


Sumber : Dok. cnnindonesia.com

Irwan meyakini sedikit atau banyaknya sinetron bisa memengaruhi pemikiran penonton. Sinetron disebut sama seperti media-media lainnya yang bisa mengubah cara pandang masyarakat terhadap sebuah isu.

"Dalam konteks sinetron ini, saya pikir apa yang ditampilkan itu saya yakin sedikit banyak bisa memengaruhi pandangan masyarakat tentang poligami, pasti. Tapi seberapa dalam pengaruhnya itu perlu penelitian," tuturnya.

Sinetron Zahra pun memicu kontroversi karena dinilai mengkampanyekan menikah di usia belia bahkan di bawah umur serta poligami.

Ia mengingatkan bahwa pemerintah telah merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 7 ayat (1) UU 16/2019 mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Sehingga, pada dasarnya pernikahan di bawah 19 tahun tidak dibolehkan Undang-Undang.

Pemerintah serta sejumlah lembaga juga menyuarakan dampak buruk pernikahan dini, khususnya bagi perempuan, seperti kehilangan kesempatan pendidikan.

Berdasarkan data penelitian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), sekitar 36,62 persen anak perempuan menikah untuk pertama kali pada usia 15 tahun atau kurang.

Data itu juga menunjukkan persentase anak perempuan yang menikah di usia 16 tahun sekitar 39.92 persen dan 23,46 persen menikah di usia 17 tahun.

Data tersebut menunjukkan tingginya tingkat pernikahan usia dini untuk perempuan di Indonesia.

"Jadi saya rasa dalam konteks kehidupan sekarang kita tidak bisa mengabaikan media memengaruhi cara pandang kita, opini kita, bahkan juga bisa nilai-nilai sosial gitu," kata Irwan.

"Ini menurut saya memang tadi ya jadi elemen misogini itu masih kuat dan ini bukan hanya tugas pemerintah saja (untuk menanganinya), tapi media juga untuk menyadari bahwa perspektif gender itu perlu."

(bac)

Sumber : cnnindonesia.com

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda