Beranda / Gaya Hidup / Mempelai di Bawah Umur

Mempelai di Bawah Umur

Minggu, 09 Juni 2024 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia
Ilustrasi pernikahan dini. Foto: net

DIALEKSIS.COM | Aceh - Merampok masa depan anak-anak, praktik pernikahan dini masih jadi pekerjaan rumah Indonesia. Persoalan pelik ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga menghinggapi wilayah pedesaan terpencil. Bahkan di Aceh, provinsi bersyariah sekalipun, pernikahan dini belum terbenahi dengan baik.

Idealnya, usia berapa seseorang menikah? Sebagian besar anak muda Tanah Air cenderung mengikrarkan janji suci itu pada 19-21 tahun, menurut Badan Pusat Statistik. Meski demikian, Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan sebelumnya hanya memberlakukan batas usia minimal 16 tahun bagi perempuan. Aturan itu kemudian direvisi lewat UU Nomor 16/2019 yang berlaku sejak Oktober 2019.

Statistik terkini dari BPS 2024 menunjukkan penurunan angka perkawinan di Indonesia. Berdasarkan data Statistik Indonesia 2024, penurunan drastis terjadi dalam tiga tahun terakhir. Pada 2021-2023, jumlah pernikahan di Tanah Air menyusut hingga 2 juta. Berikut rincian angka perkawinan enam tahun terakhir: 2018 (2.016.17), 2019 (1.968.878), 2020 (1.792.548), 2021 (1.742.049), 2022 (1.705.348), dan 2023 (1.577.255).

Meski menurun, Indonesia masih menduduki peringkat keempat kasus perkawinan anak di dunia. Data United Nations Children's Fund 2023 mencatat 25,53 juta anak Indonesia terjerat praktik ini.

Rendahnya pendidikan yang berdampak pada pola pikir mereka terkait konsep pernikahan jadi salah satu pemicu. Kekhawatiran anak perempuan menjadi perawan tua, hasrat segera mengikat hubungan kekerabatan antarkeluarga calon mempelai, serta faktor ekonomi dari kalangan miskin yang ingin mengurangi beban juga berkontribusi dalam meningkatnya angka pernikahan dini (Himsyah, 2011).

Di Aceh, praktik menikahi anak masih banyak ditemui. Data Kantor Wilayah Kementerian Agama Aceh menyebutkan 507 pasangan menikah di bawah usia 19 tahun sepanjang 2022. Mereka mengajukan dispensasi ke Mahkamah Syar'iyah. Angka itu meningkat dibanding 2021 sebanyak 416 pasangan, sehingga dalam dua tahun terakhir totalnya mencapai 923 pasangan anak.

Menurut Meutia Juliana, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh, mengaku praktik ini tak berpunca tunggal. "Beragam faktor kompleks membentuk penyebabnya, seperti ekonomi, putus sekolah, dan pacaran," tuturnya.

Di sisi lain, Kemenag Aceh menemukan penyebab utama pernikahan dini di Provinsi Serambi Mekah itu adalah tertangkap basah berhubungan seks dan kehamilan di luar nikah. Selain itu, kurangnya pergaulan dan pemahaman sebagian warga bahwa wanita boleh dinikahi setelah haid jadi faktor pendorong lainnya.

Dinas Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (DP3A) Aceh, melalui Tiara Sutari menyebutkan dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 diatur minimal usia perkawinan adalah 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki. Namun, praktik perkawinan anak dan usia perkawinan ≤19 tahun terus terjadi.

Untuk mengatasi masalah kawin anak, kata Tiara, Pemerintah Aceh telah menyusun Strategi Daerah Pencegahan Perkawinan Anak (STRADA PPA) yang akan segera ditetapkan melalui Peraturan Gubernur (PERGUB).

"Langkah ini diharapkan dapat menjadi pedoman dalam mengurangi angka perkawinan anak di Aceh," katanya.

Selain itu, peran dan fungsi Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) akan dioptimalkan dalam merekomendasikan kelayakan pemohon dispensasi kawin pada Mahkamah Syar’iyah Aceh. PUSPAGA diharapkan dapat memberikan pendampingan dan edukasi yang tepat kepada keluarga dan anak-anak yang rentan terhadap praktek perkawinan di bawah umur.

Pemerintah juga berupaya membangun kolaborasi dan sinergi antara Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA), instansi vertikal, lembaga, organisasi masyarakat sipil (CSO), dunia usaha, akademisi, dan stakeholder lainnya. Sinergi ini penting untuk memastikan bahwa upaya pencegahan dan penanganan perkawinan anak dapat berjalan efektif dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat.

Tak hanya Aceh, perkawinan usia anak masih marak terjadi di banyak wilayah lain di Indonesia. Problem krusial ini masih jadi tantangan besar yang butuh penanganan kolektif semua pihak.

Keyword:


Editor :
Redaksi

kip
riset-JSI
Komentar Anda