Beranda / Feature / Tari Likok Pulo, Menari dalam Harmoni Keagamaan dan Kearifan Lokal

Tari Likok Pulo, Menari dalam Harmoni Keagamaan dan Kearifan Lokal

Sabtu, 26 Oktober 2024 10:34 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia
Tari Likok Pulo, tarian dari Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar yang menjadi media dakwah. [Foto: Infopublik]

DIALEKSIS.COM | Feature - Di balik rimbun pepohonan, di tengah luasnya Samudra Indonesia yang menyapa dunia dengan kebesaran alamnya, terdapat sebuah tradisi yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Aceh. Likok Pulo, sebuah tarian yang penuh makna, mengalir seperti air yang tak pernah berhenti mengalir dari hulu ke hilir, menghidupi budaya dan mempererat ikatan sosial masyarakat pesisir.

Tari Likok Pulo adalah salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Aceh Besar, tepatnya di Gampong Ule Paya Kecamatan Pulo Aceh. Tari ini merupakan satu-satunya tari tradisional yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. 

Arti dari Likok Pulo sendiri, yakni Likok yang berarti "Gerak Tari'' dan Pulo yang berarti "Pulau". Tarian Likok Pulo memang tidak sepopuler dengan tarian Aceh lain, seperti Saman atau Seudati, tapi tarian Likok Pulo memiliki unsur-unsur keislaman yang harus dilestarikan.

Masyarakat setempat meyakini bahwa tari ini diperkenalkan oleh seorang ulama dari Arab yang terdampar di Pulo Aceh bernama Syeikh Ahmad Badron sekitar tahun 1845. Syeikh sangat prihatin terhadap kondisi dan situasi masyarakat Pulo Aceh yang jauh dari ajaran Islam, sehingga memikirkan cara untuk menyiarkan dan mengembangkan ajaran Islam yang sempurna dan benar bagi masyarakat Pulo Aceh. 

Berawal dari kesenangan masyarakat Aceh yang menyukai bermain rapai, maka Syeikh Ahmad memanfaatkan kegemaran dari masyarakat Aceh untuk berdakwah melalui kesenian Rapai yang dibawakan dengan syair-syair yang berisikan zikir dan shalawat dengan gerakan-gerakan tangan.

Pada zaman dahulu, tarian ini digelar setelah menanam padi atau jelang panen tiba. Waktu yang dipilih adalah malam hari, ketika suasana tenang dan bulan menggantung di langit, menambah keindahan suasana. Para penari (umumnya 10-12 pemuda) duduk berbaris, berbanjar, dalam posisi yang akrab, bahu membahu, saling menguatkan. Dipertunjukkan di tepi pantai atas pasir dan sehelai tikar daun lontar.

Keindahan gerakan tari ini tidak hanya terletak pada alunan gerak tubuh yang memikat, tetapi juga pada makna yang terkandung dalam setiap langkahnya. Setiap gerakan di dalam tari ini mengandung nasihat, terkadang dalam bentuk sindiran halus, terkadang dalam bentuk pujian yang membangun. Dan di atas semua itu, ada kebersamaan yang ditumbuhkan. Setiap penari merasakan bagaimana mereka bersatu sebagai satu kesatuan, seperti halnya masyarakat yang seharusnya saling mendukung dan mengingatkan dalam menjalani kehidupan.

Kini, Tari Likok Pulo bisa dimainkan oleh laki-laki atau perempuan dengan jumlah 12 atau 16 penari dan biasanya ditampilkan pada upacara-upacara khusus misalnya pernikahan, pertemuan atau penyambutan tamu.

Namun, saat Tari Likok Pulo diperlombakan, penampilan tari dilakukan oleh empat grup yang masing-masing mewakili satu kampung. Ragam gerak pada tari ini diantaranya (1) Saleum, (2) Malaleho, (3) Alif, (4) Ham meupateh haba angen, (5) Syeh Ahmad Badron , (6) Heu Allah, (7) Seulaweut, (8) Boh Likok, (9) Narit Peuingat, (10) Takoh Bak Jok, (11) Tutui dan (12) Saleum penutup. Pada gerakan Boh Likok penari menggunakan boh likok berbentuk bulat yang dapat diketuk-ketukan pada lantai maupun dada penari.

Tari Likok Pulo bukanlah tari yang dalam penciptaannya dilakukan sebatas pada keindahan, tapi juga pada simbol-simbol dengan makna kearifan dan karakter, masyarakat yang kuat, diantaranya simbol keagamaan, gotong royong, kebersamaan dan kesadaran hidup bermasyarakat.

Tari Likok Pulo. [Foto: Acehherald]

Oleh karenanya tari ini tidak hanya berfungsi sebagai media dakwah, tetapi juga sebagai media hiburan, pendidikan (utamanya pendidikan karakter), dan media komunikasi.

Saat ini, perhatian masyarakat pada tari Likok Pulo cukup baik mengingat pada kesempatan-kesempatan yang berkaitan dengan seni dan kebudayaan, tari ini sering ditampilkan.

Namun sayang, tari Likok Pulo yang ditampilkan justru berbeda dengan tari Likok Pulo yang ada di pulau asalnya, Pulo Aceh. Yang paling mencolok adalah tidak digunakannya boh likok sebagai bagian dari properti penampilan dan terdapat banyak perbedaan ragam gerak yang muncul atas nama kreasi dan pelestarian.

Sebagai warisan budaya yang sudah mendapat pengakuan resmi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta telah dipatenkan oleh Kemenkumham, tari Likok Pulo perlu terus dilesatrikan. Tidak hanya oleh masyarakat Aceh, tetapi oleh seluruh bangsa Indonesia.

Tari ini adalah bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang tidak boleh dilupakan begitu saja. Jika hanya dipandang sebagai sebuah hiburan semata, kita akan kehilangan banyak hal yang terkandung di dalamnya: kearifan, kebersamaan, dan yang paling penting, nilai-nilai keagamaan yang menjadi inti dari tarian ini.

Sebagai sebuah seni, tari Likok Pulo lebih dari sekadar tarian di atas panggung. Ia adalah sebuah sejarah, agama, dan budaya bersatu dalam gerakan yang elegan. Dan selama itu tetap dipertahankan, selama itu pula pesan yang terkandung di dalamnya akan tetap hidup dan menginspirasi, bukan hanya bagi masyarakat Aceh, tetapi bagi kita semua yang menghargai nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur.[adv]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI