Beranda / Feature / Menyelami Keabadian Warisan Budaya Aceh: Sebuah Perlindungan Melalui WBTb

Menyelami Keabadian Warisan Budaya Aceh: Sebuah Perlindungan Melalui WBTb

Minggu, 25 Agustus 2024 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Sidang penetapan Warisan Budaya Tak benda (WBTb). [Foto: dok. Disbudpar Aceh]


DIALEKSIS.COM | Feature - Di sebuah ruang yang penuh keseriusan dan harapan, di Hotel Holiday Jakarta, sebuah langkah penting diambil pada 19-23 Agustus 2024. Di antara perwakilan provinsi-provinsi di seluruh Indonesia, sembilan warisan budaya dari Aceh telah diumumkan secara resmi sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) Nasional.

Adapun sembilan warisan budaya Aceh yang ditetapkan sebagai WBTb yaitu Pok Teupeun (Kabupaten Aceh Besar), Seumapa (Provinsi Aceh), Bahasa Aceh (Provinsi Aceh), Bahasa Gayo (Provinsi Aceh), Do da Idi (Provinsi Aceh), Timphan (Provinsi Aceh), Malam Boh Gaca (Kabupaten Aceh Barat), Pepongoten (Kabupaten Aceh Tengah), dan Teganing (Kabupaten Aceh Tengah).

Sidang penetapan ini bukan hanya sekadar acara seremonial, namun lebih dari itu, merupakan sebuah deklarasi tentang pentingnya melestarikan identitas yang telah berusia puluhan hingga ratusan tahun.

Namun, di balik kebanggaan ini, ada sebuah tantangan besar yang harus dihadapi: Bagaimana memastikan warisan budaya tersebut tidak hanya terjaga, tetapi tetap relevan di tengah zaman yang terus berubah? Bagaimana membuat warisan ini tidak hanya dikenang, tetapi juga terus hidup dan berkembang tanpa kehilangan esensinya.

Pok Teupeun: Hasilkan Kain Tenun yang Indah

Pok Teupeun adalah alat tenun yang sejak masa dahulu cukup dikenal, khususnya di Aceh Besar. Sedangkan arti Pok Teupeun itu sendiri berarti kerja sambil besandar. Walau kini sudah ada sedikit modernisasi, cara kerjanya sedikit berbeda, tapi hal itu tidak berubah dari segi penamaan karena perubahannya tidak signifikan hanya perbedaan duduk saja, bersandar atau tidak bersandar.

Pok Teupen, alat tenun tradisional khas Aceh untuk kain songket Aceh. [Foto: Haba Pena]

Bahasa Aceh dan Bahasa Gayo: Menjaga Jiwa Lewat Kata

Selanjutnya, Bahasa Aceh dan Bahasa Gayo yang menjadi bagian dari keluarga besar WBTb Nasional. Dua bahasa ini bukan sekadar kumpulan kata-kata, tetapi jiwa dari masyarakat Aceh dan Gayo. Bahasa yang terucap dari mulut bukan hanya alat komunikasi, tetapi merupakan cara menyampaikan perasaan, cerita, serta sejarah yang terkubur dalam lorong-lorong waktu.

Bahasa Aceh merupakan salah satu bahasa daerah yang umum digunakan oleh masyarakat di Provinsi Aceh. Sedangkan, Bahasa Gayo adalah sebuah bahasa dari rumpun Austronesia yang dituturkan oleh Suku Gayo di Provinsi Aceh, yang terkonsentrasi di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues atau yang sering disebut daerah Dataran Tinggi Gayo.

Bahasa Aceh dengan segala kekhasannya, yang penuh dengan nuansa emosi dan nilai luhur, seperti sebuah permadani yang menghiasi setiap percakapan, memberikan gambaran tentang bagaimana setiap kata yang diucapkan menggugah hati, membangkitkan semangat, dan mengingatkan pada akar budaya yang tak pernah pudar.

Sementara itu, Bahasa Gayo, dengan intonasi yang khas, membawa pendengarnya menyelami cerita-cerita lama tentang perjuangan dan keteguhan hati, tentang bagaimana sebuah komunitas bisa bertahan meskipun dihadapkan pada banyak ujian.

Keduanya merupakan simbol kekayaan intelektual dan emosional yang harus dijaga. Warisan bahasa endatu yang harus dipertahankan, supaya tak hilang di telan zaman.

Seumapa, Do Da Idi, dan Pepongoten: Tradisi Lisan yang Tak Tergantikan

Seumapa adalah tradisi berbalas pantun atau “saleum sapa menyapa” yang merupakan interaksi antara 2 orang berbahasa Aceh dan menggunakan bahasa pantun yang sajaknya indah dan menarik. Seumapa kerap digunakan masyarakat Aceh pada acara proses pernikahan dan intat linto (upacara mengantar pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan).

Indahnya seni tutur Seumapa yang menyuguhkan nilai adat Aceh, menggunakan bahasa yang indah, sopan santun beretika terjaga didalamnya. Dengan pesan-pesan yang berseni tutur (balas pantun) berupa nilai edukasi dan nasehat-nasehat yang indah serta memberi kesan tersendiri untuk kedua mempelai juga Masyarakat.

Sementara itu, Do Da Idi adalah lagu tradisional yang mengisahkan seorang ibu yang menidurkan anaknya dengan cara mengayunkannya pada batang kayu atau pohon sambil menyanyikan lagu tersebut. Syair “Do Da Idi” merupakan lagu pengantar tidur yang dinyanyikan oleh ibu-ibu di Aceh sejak zaman dahulu.

Lagu ini memiliki makna yang mirip dengan lagu Nina Bobo yang sering dinyanyikan ibu kepada anak-anak mereka untuk memudahkan mereka tidur. Selain untuk menidurkan anak, lagu ini juga mengandung nilai-nilai nasihat, akhlak, budi pekerti, dan semangat perjuangan masyarakat Aceh dalam menghadapi penjajah.

Sedangkan, Pepongoten merupakan tradisi lisan dari Gayo yang berupa ratapan berirama. Kata ‘pongot’ sebagai kata dasar pepongoten secara harfiah berarti tangisan ratap. Secara umum, bentuk pepongoten dapat digolongkan sebagai prosa liris, sementara isinya bergantung pada konteks pepongoten disampaikan. Meski demikian, isi pepongoten selalu mengekspresikan perasaan dari lubuk hati yang paling dalam.

Karena dibawakan dengan cara menangis, pepongoten utamanya disampaikan pada dua peristiwa yang sangat emosional. Kematian atau Pernikahan. Pada keduanya pepongoten biasanya dibawakan oleh perempuan.

Timphan: Kekayaan Kuliner yang Manis

Di tengah gemerlapnya perayaan budaya ini, ada pula tradisi kuliner yang tak kalah menarik perhatian, yaitu Timphan. Kue tradisional Aceh ini merupakan salah satu hidangan yang selalu hadir dalam setiap perayaan. Penganan kecil ini dibuat dari bahan tepung beras ketan, pisang, dan santan. Semua bahan ini kemudian diaduk sampai kenyal. Lalu dibuat memanjang dan di dalamnya diisi dengan serikaya atau kelapa parut yang dicampur dengan gula, kemudian dibungkus daun pisang muda.

Rasa manis dan gurih yang ada pada Timphan mencerminkan kehangatan dalam setiap pertemuan keluarga. Tidak hanya sekadar makanan, Timphan adalah simbol dari kerukunan dan keharmonisan yang terjalin antara sesama.

Selanjutnya »     Malam Boh Gaca: Seni Hias Bagi Calon Dar...
Halaman: 1 2
Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI