Menyelami Keabadian Warisan Budaya Aceh: Sebuah Perlindungan Melalui WBTb
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ratnalia
Sidang penetapan Warisan Budaya Tak benda (WBTb). [Foto: dok. Disbudpar Aceh]
Malam Boh Gaca: Seni Hias Bagi Calon Dara Baro
Boh Gaca bermakna memakai inai. Boh gaca merupakan seni hias menggunakan daun pacar oleh masyarakat Aceh. Tata rias pengantin bagi calon pengantin Wanita (dara baro) merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam sebuah upacara adat pernikahan pada kebudayaan masyarakat Aceh.
Malam boh gaca dilakukan juga sebagai bentuk undangan atau mengumumkan kabar bahagia pada keluarga besar bahwa akan diselenggarakan pesta pernikahan. Di malam ini, nasihat tentang pernikahan dan kehidupan rumah tangga diberikan kepada dara baro..
Malam boh gaca juga dimaksudkan sebagai masa pingitan bagi dara baro. Malam boh gaca hanya berlaku untuk wanita yang akan menikah untuk pertama kalinya. Tradisi ini sekaligus menegaskan status mempelai wanita di masyarakat dan keluarga besar kedua belah pihak.
Tradisi Boh Gaca di Aceh. [Foto: Goodnewsfromindonesia]Teganing: Alat Musik Tradisional Etnik Gayo
Teganing adalah salah satu alat musik yang menjadi ciri utama dari musik khas Gayo. Teganing merupakan alat musik pukul tradisional yang berasal dari daerah Gayo khususnya Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Alat musik Teganing dibuat dari seruas bambu pilihan dengan panjang sekitar 1-1,10 m. Ruas bambu yang bisa dijadikan sebagai alat musik teganing harus mencukupi panjangnya, diameternya cukup besar dan usianya sudah tua.
Teganing ini merupakan alat musik yang paling unik. Karena alat musik berbahan dasar bambu yang dibuat sedemikian rupa sehingga menghasilkan bunyi yang merdu.
Dari bunyi itulah membuat para pendengar akan merasakan hal yang sangat berbeda ketika mendengar musik dari teganing ini. Dulu Teganing sering digunakan para gadis-gadis Gayo untuk mengisi waktu senggang semisal sambil menjaga jemuran padi agar tidak dimakan ayam atau merpati.
Tantangan dan Tanggung Jawab
Dalam sidang penetapan WBTb, ada sebuah harapan besar yang tersirat dalam setiap ucapan. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Almuniza Kamal, melalui Kepala Bidang Sejarah dan Nilai Budaya Evi Mayasari, dengan penuh tekad menyampaikan bahwa pengakuan ini bukanlah akhir dari segalanya, tetapi justru awal dari tanggung jawab yang lebih besar untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya ini.
Perlindungan terhadap warisan budaya daerah harus dilakukan dengan serius, karena di balik setiap karya budaya terdapat nilai yang sangat penting bagi masyarakatnya. Apalagi Syarat menjadi WBTb di antaranya harus berusia 50 tahun atau minimal dua generasi, serta mempunyai makna penting bagi masyarakat yang memiliki karya tersebut.
Evi berharap setelah penetapan WBTb tersebut perlu langkah strategis untuk melestarikan dan menjaga warisan budaya Aceh agar tidak terancam punah ataupun diklaim negara lain.
Provinsi Aceh melalui Disbudpar Aceh memaparkan 24 warisan budaya Aceh saat proses seleksi WBTb. [Foto: dok. Disbudpar Aceh]Proses panjang yang harus dilalui sebelum sembilan warisan budaya Aceh ini terdaftar sebagai WBTb bukanlah hal yang mudah. Dari 24 warisan budaya yang diajukan, hanya 9 yang berhasil dipilih. Namun, perjuangan belum berakhir. Masih ada banyak langkah yang harus diambil untuk memastikan agar warisan budaya ini tidak hanya menjadi kenangan, tetapi juga tetap hidup dan lestari.
Keaslian adalah hal yang paling dijaga. Sebagaimana halnya dengan Timphan yang kerap kali diberi sentuhan modern, keberagaman kreasi yang muncul harus tetap menjaga akar tradisi, agar esensi asli dari budaya tersebut tidak hilang.
Penetapan sembilan warisan budaya Aceh sebagai WBTb membuka peluang untuk memperkenalkan kekayaan budaya Aceh ke dunia internasional. Melalui pengakuan ini, warisan budaya Aceh dapat dijadikan contoh bagaimana budaya lokal dapat bertahan dan berkembang di tengah dunia yang semakin global.
Kini, sembilan warisan budaya Aceh berdiri tegak dengan bangga, seolah mengukir sejarah yang tak akan lekang oleh waktu. Mereka bukan hanya sekadar simbol masa lalu, tetapi juga jendela yang menghubungkan Masyarakat Aceh dengan masa depan.
Sembilan warisan budaya Aceh itu juga menjadi tanggung jawab besar yang tidak hanya diemban oleh pemerintah, tetapi juga oleh setiap individu yang mencintai dan menghargai budaya Aceh. Hanya dengan upaya bersama, warisan budaya ini akan tetap hidup, menginspirasi, dan bertahan melewati zaman. [adv]
- Finalis Agam Inong Aceh 2024 City Tour Menggunakan Trans Meudiwana
- Rasakan Atmosfer Kemegahan dan Kejayaan Kesultanan Aceh, Yuk Kunjungi Museum Aceh!
- Festival Serumpun Melayu Raya Resmi Dibuka, Pj Bupati Asra: Wadah Pelestarian Tradisi dan Budaya
- Kadisbudpar Aceh Dampingi Pj Gubernur Safrizal Tinjau Persiapan Maulid Raya di Taman PKA