Beranda / Feature / Kisah Perjalanan Industri Migas di Aceh

Kisah Perjalanan Industri Migas di Aceh

Sabtu, 13 Maret 2021 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Agam K

DIALEKSIS.COM - Pada tahun 2000-an, Provinsi Aceh dikenal sebagai daerah penghasil minyak dan gas alam terbesar di dunia. Namun jauh sebelumnya itu, provinsi yang berada di ujung Pulau Sumatera ini sudah memanfaatkan energi yang terkandung di dalam perut bumi.

Semenjak masa Kesultanan Aceh, atau tepatnya pada abad ke 16 dan 17, sumber daya alam yang terkandung di dalam perut bumi itu, sudah digunakan untuk obor penerang dan dijadikan untuk membakar kapal-kapal milik Portugis saat terjadi peperangan di perairan Selat Malaka.

Bukan hanya itu saja, minyak yang naik ke permukaan tanah dan menggenangi rawa-rawa telah digunakan sebagai obat gosok, serta mulai diperdagangkan ke luar negeri. Maka jauh sebelum Indonesia Merdeka, Aceh sudah mulai melakukan perdagangan dibidang minyak bumi sampai ke luar negeri.

Pada tanggal 15 Juni 1885 ketika A.J. Zijker berhasil menggali sebuah sumur minyak yang diberi nama Telaga Tunggal 1 atau Telaga Said, yang terletak di 12,5 kilometer di sebelah Pangkalan Brandan, Langkat Sumatera Utara.

Dengan dimulainya penggaloan sumur minyak Telaga Said tersebut, maka dimulainya sejarah perminyakan di Indonesia. Sumur minyak tersebut dikelola oleh NV Koninklijke Nederlandsch Petroleum Mij.

Perusahaan tersebut kemudian berpatungan dengan Shell untuk membentuk sebuah perusahaan minyak, yang diberinama Bataafsche Petroleum Mij (BPM) dan pada tahun 1892 dibangun kilang penyulingan minyak yang berkapasitas 2,4 ribu barrel per hari di Pangkalan Brandan.

Sembilan tahun kemudian perusahaan Holland Perlak Mij, NV. Petroleum Mij Zaid Perlak, melakukan eksplorasi di Rantau Panjang, Landeshap Perlak, Aceh Timur. Minyak yang mereka temui sejak tahun 1900 tersebut, dialirkan dengan pipa sepanjang 13o kilometer ke kilang BPM di Pangkalan Brandan untuk disuling dan kemudian dialirkan ke pelabuhan Pangkalan Susu untuk diekspor ke luar negeri.

Dengan demikian aktivitas perminyakan Aceh sudah mulai berproduksi secara komersial, pada bulan Agustus 1901 produksi minyak di Rantau Panjang mencapai 240.250 liter dan pada tahun 1909 meningkat menjadi 68.807 ton.

Akibat karena produksi minyak yang terus meningkat, maka mendorong perusahaan lain untuk memburu ladang minyak di Aceh dan ladang minyak tersebut bukan hanya berada di Landsehap Perlak, tapi sudah mulai meluas ke beberapa daerah lain, seperti Idi, Langsa dan Tamiang.

Sementara itu, pada tahun 1932-1934 tercatat empat perusahaan yang melakukan eksplorasi di wilayah Langsa dan Idi. Eksplorasi tersebut dilakukan pada areal seluas 50.000 hektar, yaitu di Landeshap Serbajadi, Sungo Raya, Peudawa Rayeuk, Julok Rayek dan Idi Rayeuk.

Begitu juga diwilayah Tamiang, eksplorasi pertama dilakukan di Rantau, Landeshap Keujureun Muda, pada bulan Februari 1929. Minyak yang diproduksi tersebut dialirkan ke Pangkalan Brandan melalui pipa sepanjang 63 kilometer.

Perluasaan eksplorasi itu, tentunya sangat berpengaruh pada volume produksi perusahaan minyak Bataafsche Petroleum Mij (BPM), pada kilang Pangkalan Brandan dan ekspor minyak mentah. Menurut catatan produksi kilang di Pangkalan Brandan mencapai 1 juta ton per tahun, menjelang perang dunia ke II. Sementara ekspor minyak dari Aceh pada tahun 1938, mencapai 705.650 m3.

Memasuki tahun 1943, Pemerintah Militer Jepang membangun sebuah kilang penyulingan minyak dengan kapasitas 40 tan per hari, di Desa Paya Bujok, Kota Langsa. Maka untuk pertama kalinya daerah Aceh dioperasikan kilang penyulingan, untuk keperluan militer Jepang.

Sejak Jepang mulai dinyatakan kalah perang dan kalangan militer dari negara matahari terbit itu banyak yang meninggalkan Aceh. Sehingga pada tanggal 18 Desember 1945, sumur minyak yang terletak di Aceh Timur menjadi terbengkalai.

Sehingga dalam situasi tersebut, para pekerja minyak di Aceh Timur dan membentuk wadah Tambang Minyak Republik Indonesia (TMRI), yang berpusat di Langsa pada 1 Januari 1946.

Perusahaan tersebut mulai memproduksi bensin dan minyak tanah untuk memenuhi kebutuhan konsumen di daerah Aceh dan beberapa daerah lainya. Sementara kilang minyak Pangkalan Brandan diserahkan oleh Jepang atas nama sekutu kepada Residen A. Karim MS, mewakili Gubernur Sumatera pada bulan Juli 1946.

Memasuki tanggal 13 Agustus 1947, kilang minyak Pangkalan Brandan dibumi hanguskan setelah dua minggu Belanda melakukan Agresi Militer I. Sehingga sebagian pekerja minyak terpaksa ke Kota Langsa, karena eksplorasi dan produksi minyak hanya berlangsung secara efektif di Aceh Timur, Rantau Tamiang, Lapangan Rantau Panjang, Peureulak dan Julok Rayeuk, Aceh Timur.

Seiring dengan perkembangan zaman, tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1971 perusahaan minyak asal Amerika Serikat melakukan eksplorasi di Desa Arun, Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara.

Awalnya perusahaan tersebut mencari potensi minyak bumi, namun saat dilakukan pengeboran ternyata gas alam yang keluar dari perut bumi.

Lokasi pengeboran tersebut, berada 30 kilometer dari tenggara Kota Lhokseumawe dan deposit gas alam itu dikawasan hamparan sawah yang subur mencapai 17,1 triluyun kaki kubik, sehingga layak untuk dikembangkan selama waktu puluhan tahun.

Pimpinan eksplorasi dan produksi Mobil Oil kala itu Alex Massad telah menyediakan dana sebesar 400.000 Dollar Amerika Serikat, untuk melakukan eksplorasi sumur gas yang ditemukan tersebut.

Kemudian Pertamina bekerjasama dengan Mobil Oil dan Japan Indonesia LNG Company (JILCO), membentu perusahaan patungan yang diberinama PT ARUN NGL Co, kini telah berganti nama menjadi PT Perta Arun Gas.

Pada hari Sabtu 16 Maret 1974 didirikanlah PT Arun sebagai perusahaan operator dan peresmian kilangnya, diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 19 September 1978, serta perusahaan itu berlokasi di Desa Blang Lancang, Kec. Muara Satu, Kota Lhokseumawe.

Sebelumnya pada tanggal 3 Desember 1973, telah dilakukan penandatangganan kontrak penjualan LNG dengan sejumlah perusahaan industri di Jepang, untuk tenggang waktu selama 20 tahun.

Demikian pula berikutnya dengan perusahaan Korea Selatan, melalui perusahaan Electric Power Corp. Perusahaan itu menandatanggani kontrak LNG sebanyak 2 juta ton pertahun, mulai tahun 1981 hingga 2006.

Dalam rangkaian kontrak LNG tersebut, dikawasan Blang Lancang, Kecamatan Muara Satu Lhokseumawe, untuk tahap pertama dibangun tiga train kilang pencairan gas. Pembangunan kilang itu dipercayakan kepada perusahaan Bactel Inc, yang dilakukan dari tahun 1974 sampai tahun 1978.

Kilang gas tersebut seluas 271 hektar dengan panjang 1,7 kilometer dan lebar 1,5 kilometer serta dilangkapi dengan pelabuhan khusus pengangkut produksinya. Kilang LNG Arun dilengkapi dengan 2 buah pelabuhan LNG untuk pengiriman produksinya ke negara pembeli, sedangkan untuk pengiriman kondensat dilengkapi dengan 2 buah sarana pemuat, yaitu Single Point Mooring (SPM) dan Multi Buoy Mooring (MBM).

Keunikan yang dimiliki oleh Arun yaitu, belum ada di negara lain kala itu, yang menggunakan tenaga penggerak turbin tidak memakai tenaga air, tetapi memakai sistem gas turbin yang mampu menghasilkan tenaga 30.000 HP dan mampu menggerakkan kompresor pendingin.

Bahkan bisa memanfaatkan isi kontrak untuk pengembangan produk, menurut kontrak LNG yang dijual memiliki kalori antara 1.070-1.170 BTU/SCF. Pada permulaan start sampai 6 train LNG yang dihasilkan PT Arun, mengandung 1.163-1.165 BTU/SCF.

Sehingga teknologi yang digunakan di PT Arun, merupakan teknologi yang bertemperatur rendah, karena LNG merupakan gas betuk liquid bersuhu sampai minus 160 derajat celsius. Selain itu, geotermal gradien sumur Arun, merupakan sumur terpanas di dunia.

Pengapalan perdana condesat yang dihasilkan sumur gas Arun dengan negara tujuan Jepang, dimulai pada tahun 1977, sementara pengapalan LNG dimulai tahun 1978 dan pengapalan LPG dimulai tahun 1988.

Maka dengan demikian, Provinsi Aceh menjadi pemasok energi bagi beberapa negara dan lokasinya juga sangat strategis. Selain itu, juga sebagai salah satu daerah penyumbang devisi terbesar untuk negara.

Hingga tahun 1977, PT Arun telah mengekspor 663,12 juta BBLS kondesat, 1.904 ton LPG dan 378,27 juta m3 LNG. Daerah Aceh menjelma menjadi pemasok devisa negara yang besar melalui produk LNG, LPG dan Kondesat disamping minyak tanah.

Memasuki 10 tahun kemudian tepatnya pada tanggal 2 Agustus 1988, PT Arun telah melakukan pengiriman LPG perdana ke Jepang. Dengan demikian hingga 1 Juli 1997 PT Arun telah mengapalkan 2938 LNG dan 329 LPG ke Negara Jepang, Korea dan Amerika Serikat.

Akibat melimpahnya gas tersebut, maka dibangunlah beberapa perusahaan lainnya di Kabupaten Aceh Utara, seperti PT Pupuk Iskandar Muda, PT Asean Aceh Fertilizer (AAF), PT Kertas Kraft Aceh (KKA) dan beberapa lainnya.

Namun sayang beberapa perusahaan raksasa yang dibangun tersebut, kini telah berhenti beroperasi karena tidak tersedia pasokan gas. Padahal secara geografis, letak perusahaan itu tidak jauh dari ladang gas.

Namun kini Aceh bukan lagi sebagai salah satu provinsi penghasil minyak dan gas yang terbesar di Indonesia, sumber daya alam itu kini sudah mulai menipis, sehingga memutuhkan waktu yang lama agar bisa diperbaharui kembali.


Keyword:


Editor :
M. Agam Khalilullah

riset-JSI
Komentar Anda