Haruskah PLN Menggugat Masyarakat Soal Tanah PLTA Puesangan?
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bahtiar Gayo
DIALEKSIS.COM- Kasusnya sudah berlarut larut, berpuluh tahun tidak kunjung tuntas. Sengketa tanah antara masyarakat pemilik lahan dengan pihak PLTA Puesangan 1&2, ahirnya akan berujung ke Pengadilan.
Menyelesaikan sengketa ini untuk mendapatkan hukum tetap di Pengadilan justru direkomendasi Forkopimda Aceh Tengah. Rekomendasi itu di keluarkan di gedung DPRK, ketika masyarakat pemilik lahan melakukan demo di sana.
Rakyat mengadu ke “inangnya” yang kemudian mendapat rekom agar pihak PLN melakukan gugatan ke Pengadilan. Sebuah keputusan yang tidak diharapkan masyarakat pendemo, namun itulah kesepakatan Forkopimda.
Memang dalam pertemuan di ruang ketua DPRK Aceh Tengah, antara masyarakat dan pihak PLN tidak ada titik temu. Masyarakat mengklaim sebagian tanah milik mereka belum diganti rugi dan prosesnya sudah berlarut-larut.
Namun bagi pihak PLN/PLTA menyatakan mereka sudah melakukan ganti rugi dengan sejumlah dokumen yang ada. Bahkan pihak PLTA sudah melakukan lebih pembayaran soal ganti rugi. Berupa tanah, tanaman dan bangunan. Mereka “takut” kembali membayar ganti rugi bila tidak ada kekuatan hukum.
Penulis yang mengikuti musyawarah diantara pendemo dengan pihak terkait ini, menyaksikan sendiri bagaimana alotnya menyelesaikan persoalan sengketa tanah. Masyarakat tetap bertahan dengan tanah miliknya dan akan melakukan pemagaran serta menghentikan kegiatan PLTA di tanah mereka.
“Kalau dihentikan semuanya akan terganggu, yang rugi bukan hanya rakyat Aceh Tengah. Pihak PLN juga sudah memiliki dokumen atas alas hak tanah. Bila ada pemagaran akan berbenturan dengan hukum,” sebut Kejari Takengon Yovandi Yazid, kepada perwakilan masyarakat dalam pertemuan itu.
Sebaiknya ditempuh upaya hukum, agar ada kepastian hukum. Silakan masyarakat mengajukan gugatan ke Pengadilan. Bila sudah ada kepastian hukum dan pihak PLN dinyatakan harus membayar ganti rugi, dasar hukumnya sudah kuat, sebut Kejari.
Namun masyarakat melalui perwakilanya (Harjuliska, Adriansyah Sunos dan Wens) dalam pertemuan itu tidak mau mengajukan gugatan ke Pengadilan. “Itu hak kami, kalau PLN merasa dirugikan silakan PLN melakukan gugatan, kami ikuti,” kata perwakilan masyarakat.
“Sebenarnya pada hari ini kami ingin bermusyawarah agar ada jalan keluarnya, sehubungan dengan kesepakatan validasi dan verifikasi yang sudah disetujui bupati yang lama, Shabela Abubakar terhadap selisih ganti rugi ini,” sebut Harjuliska.
Masyarakat tetap memegang hasil ferivikasi dan validasi data sesuai dokumen tahun 1998-2000 di kantor Reje Tan Saril, dan sudah ditanda tangani Forkopimda pada bulan Juli 2022.
Pembayaran ganti rugi terkena proyek PLTA Puesangan belum tuntas. Masyarakat yang sudah membebaskan lahanya, masih mempersoalkan sisa sebagian lahan yang belum seluruhnya diganti rugi.
“Ada tanah masyarakat terkena proyek PLTA, namun belum seluruhnya diganti rugi. Itu yang kami tuntut, karena itu hak pemilik,” sebut Harjuliska dalam pertemuan itu.
Suasana demo sengketa tanah PLTA (Foto/ Bahtiar Gayo)Persoalan itu sebenarnya cukup panjang dan berlarut-larut. Karena belum kunjung tuntas, ahirnya Pemda Aceh Tengah kembali membentuk tim verifikasi dan validasi. Hasil tim menemukan ada 39 persil tanah masyarakat yang belum dibebaskan. Namun ada juga yang selesih lebih dibayar.
Masyarakat berharap Forkopimda menindak lanjuti hasil tim verifikasi dan validasi, agar persoalan sengketa ini dapat diselesaikan. Bukan menyarankan masyarakat untuk menempuh upaya hukum, seperti surat rekomendasi yang dikeluarkan Forkopimda Aceh Tengah.
Pj Bupati Aceh Tengah T Mirzuan dalam pertemuan itu meminta pendapat para Forkopimda. Apakah bila dilakukan pengukuran ulang, kemudian ditemukan adanya selisih, apakah bisa dijadikan dasar hukum agar pihak PLN membayar ganti rugi?
Sementara pihak PLN/PLTA sudah mengantongi dukumen yang menyatakan persoalan ganti rugi itu sudah selesai. Untuk memastikan adanya dasar hukum, ahirnya pihak pengadilan negeri Takengon dan Kejaksaan memberikan masukan dalam mengatasi persoalan ini.
Dari penjelasan pihak kejaksaan dan Pengadilan negeri Takengon, agar persoalan ini punya dasar kekuatan hukum tetap, haruslah melalui pengadilan. Bila sudah diputuskan dan adanya hukum tetap, itulah dasar yang kuat untuk menyelesaikan persoalan ini.
Pihak PLN dalam pertemuan itu awalnya juga tidak mau melakukan gugatan ke Pengadilan untuk menuntut masyarakat. Demikian dengan masyarakat tidak mau melakukan gugatan terhadap PLN.
Kasusnya akan menemukan jalan buntu, sementara masyarakat yang mengaku pemilik lahan akan menjaga lahanya dan akan melakukan pemagaran di lapangan, tidak membenarkan pihak PLN melakukan aktivitas.
Ahirnya setelah diberikan pengertian kepada pihak PLN dalam pertemuan itu, pihak PLN mau melakukan upaya hukum demi terselesaikan kasus yang sudah berlarut-larut itu. Pihak PLN diberikan keyakinan oleh Forkofimda dihadapan perwakilan masyarakat.
Aksi demo itu juga terbilang panjang, hingga menjelang magrib baru usai. Itu juga setelah Forkopimda Aceh Tengah membacakan berita acara hasil rapat Forkopimda beserta perwakilan masyarakat dan pihak PLN.
Dalam berita acara itu disimpulkan, pertama persoalan konflik lahan reservoir PLTA Puesangan 1&2 di desa Lenga Kecamatan Bies, Desa Sanehen Wih Sagi, Indah dan Desa Wihni Bakong, Kecamatan Silih Nara, akan diselesaikan di Pengadilan.
Gugatan ke Pengadilan Negeri Takengon akan dilakukan oleh pihak PLN. Terlihat dalam berita acara Kamis 9 Ferbruari 2023 itu ada tanda tangan basah. Ada tanda tangan T Mirzuan Pj Bupati Aceh Tengah. Ada Yovandi Yazid Kepala Kejaksaan.
Ada tanda tangan AKBP Nurrochman Nulhakim (Kapolres), Letkol. Kurniawan Agung Sancoyo (Dandim 0106), Edi Kurniawan (wakil ketua DPRK Aceh Tengah) dan Rizka Afri Kiniko dari perwakilan PLN UPP Sumbagut 2.
Sebelum ada berita acara Forkopimda, sejak pagi pada Kamis (09/02/2023), masyarakat yang mengakui pemilik lahan yang digunakan pihak PLTA melakukan demo. Mereka merasa dizalimi dan menuntut hak mereka.
Bentangan spanduk yang nadanya kasar dialamatkan ke PJ Bupati Aceh Tengah T. Mirzuan, mereka meminta Pj Bupati bijaksana dalam mengambil keputusan, bukan menggiring masyarakat untuk menempuh upaya hukum. Demikian juga dengan DPRK, harus memperjuangkan aspirasi rakyat.
Namun, hasilnya harus juga melalui pengadilan. Upaya itu dilakukan agar tidak ada celah hukum. Forkopimda Aceh Tengah tidak menginginkan persoalan ganti rugi ini ada jeratan hukum, bila mereka menyarankan PLN untuk membayar ganti rugi kembali.
Pihak PLN juga menjanjikan akan mengumbulkan sejumlah dokumen, agar pihaknya dapat menentukan dititik lokasi mana saja sengketa tanah itu terjadi, serta untuk menentukan siapa saja yang akan mereka gugat.
Derasnya arus sungai Peusangan yang airnya akan dimanfaatkan untuk PLTA, hingga hari ini masih menyisakan masalah, khususnya dalam persoalan ganti rugi tanah, bangunan dan tanaman milik masyarakat. Kapan kasus ini terselesaikan dengan baik? *** Bahtiar Gayo