DIALEKSIS.COM | Jenewa - Udara musim gugur di Jenewa terasa menusuk tulang. Di balik jendela kaca gedung PBB yang menjulang, Wakil Menteri Hak Asasi Manusia, Mugiyanto, melangkah dengan tenang. Kemeja putihnya rapi, jas hitam sederhana melekat di bahu. Tak ada sorak-sorai mahasiswa, tak ada megafon seperti dulu saat ia turun ke jalan memperjuangkan demokrasi. Kini, ia hadir sebagai pejabat negara, membawa misi diplomasi HAM Indonesia ke ruang pertemuan internasional.
Di hadapannya duduk Pichamon Yeophantong, Chairperson Working Group on Business and Human Rights (WG-BHR) PBB. Pertemuan itu terlihat formal, tetapi suasananya cair. Sesekali keduanya tertawa kecil, seakan menunjukkan bahwa bahasa kemanusiaan lebih mudah menjembatani perbedaan ketimbang bahasa politik.
Mugiyanto bukan pejabat yang lahir dari rahim birokrasi. Ia tumbuh sebagai aktivis, melewati masa kelam penculikan aktivis pada 1998, menjadi saksi jatuhnya rezim Orde Baru. Dari situlah idealismenya ditempa: HAM harus menjadi napas dari setiap kebijakan, termasuk dalam dunia bisnis.
Kini, ia berada di posisi yang bisa mewarnai kebijakan. “PRISMA merupakan salah satu tools yang dapat digunakan pelaku usaha untuk mengukur potensi risiko usahanya berdasarkan indikator HAM,” ujarnya dalam pertemuan, dengan nada yang tenang namun penuh keyakinan.
Aplikasi PRISMA, Strategi Nasional Bisnis dan HAM (Stranas BHAM), hingga regulasi Uji Tuntas Bisnis dan HAM yang mengarah pada kewajiban (mandatory) adalah senjata diplomasi yang ia bawa ke Jenewa.
Pichamon mendengarkan penjelasan itu dengan penuh atensi. Perempuan asal Thailand itu kemudian memberi apresiasi. “Indonesia kini bergerak sejalan dengan tren global,” ujarnya.
Menurutnya, langkah Indonesia setara dengan Korea Selatan dan Thailand yang lebih dulu menerapkan kebijakan mandatory, meninggalkan pola sukarela yang masih dianut Malaysia. Ia menyebut regulasi yang jelas dari sanksi hingga insentif menjadi kunci agar bisnis menghormati HAM bukan sekadar jargon.
Pichamon bahkan mencontohkan Jerman, Perancis, dan Uni Eropa yang sudah memiliki perangkat hukum kuat seperti Supply Chain Due Diligence Act atau Law on the Duty of Vigilance.
WG-BHR tak menutup mata atas isu-isu panas yang mencuat di Indonesia. Dari pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika di NTB, penambangan nikel di Sulawesi, hingga Proyek Strategis Nasional di Merauke, Papua Selatan semua sempat menjadi sorotan dunia.
Namun, Indonesia dinilai responsif. Kritik tak dipandang sebagai ancaman, melainkan ruang koreksi. Di mata PBB, sikap ini jarang ditunjukkan banyak negara.
Agenda berikutnya sudah menunggu yakni UN Forum on Business and Human Rights pada 24 - 26 November 2025. Indonesia memastikan hadir, bukan sekadar sebagai peserta pasif.
“Partisipasi Indonesia akan memperkuat suara Asia,” kata Pichamon, optimistis.
Bagi Mugiyanto, forum itu lebih dari sekadar acara tahunan. Ia melihatnya sebagai panggung untuk membuktikan bahwa idealisme HAM yang dulu ia gaungkan di jalanan, kini bisa terwujud dalam kebijakan negara yang diakui dunia.
WG-BHR sendiri memiliki mandat mempromosikan UN Guiding Principles on Business and Human Rights. Mandat ini, bagi Indonesia, ibarat cermin. Apa yang ditampilkan di forum internasional harus selaras dengan kenyataan di lapangan.
Regulasi mandatory yang sedang disusun bukan hanya soal aturan tertulis, melainkan soal keberanian menindak pelanggaran, memberi insentif, dan memastikan akuntabilitas.
Perjalanan Mugiyanto seperti sebuah paradoks yang indah. Dari seorang aktivis yang pernah hilang diculik karena bersuara lantang, kini ia duduk di meja diplomasi membawa suara negara. Namun, ia tak kehilangan akarnya.
“Bagi saya, HAM bukan sekadar nilai abstrak. Ia adalah wajah manusia yang nyata, yang bisa menderita ketika kebijakan salah arah,” pernah ia katakan dalam satu kesempatan.
Dan di Jenewa, di hadapan dunia, ia membuktikan satu hal bahwa idealisme bisa tumbuh besar, bahkan ketika sudah masuk ke dalam sistem negara.
Pertemuan singkat itu hanya satu episode kecil dalam perjalanan panjang Indonesia di panggung HAM global. Namun, ia meninggalkan kesan kuat bahwa Indonesia tak lagi sekadar mengikuti arus, melainkan mulai memainkan peran penting.
Mugiyanto pulang membawa apresiasi, sekaligus beban tanggung jawab. Dunia menaruh harapan, dan di pundaknya, idealisme lama itu masih hidup.
Dari jalanan Jakarta hingga ruang pertemuan di Jenewa, satu benang merah tetap terjalin perjuangan hak asasi manusia yang tak boleh berhenti.