kip lhok
Beranda / Feature / Dana Otsus Aceh Berlimpah, Label Termiskin di Sumatera Masih Terjerat

Dana Otsus Aceh Berlimpah, Label Termiskin di Sumatera Masih Terjerat

Kamis, 20 Mei 2021 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : M. Agam Khalilullah

Provinsi Aceh memiliki banyak pengalaman sejarah, baik dalam melakukan perlawan terhadap penjajah Belanda, maupun dalam saat mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sehingga menjadi perhatian nasional dan internasional.

Fase demi fase konflik kekerasan menjadi sejarah yang tidak pernah surut di Aceh. Sejak zaman pra-kolonial yaitu abad ke-17 sampai terjadinya sebuah fenomena dimana masyarakat menilai Aceh mengalami ketidakadilan politik dan ekonomi.

 Pada era orde baru, nyaris persoalan Aceh tidak pernah tersentuh oleh upaya penyelesaian konflik secara damai kecuali melalui pendekatan militer. Saat kepemimpinan Orde Baru tumbang yang diakibatkan pergolakan dalam negeri.

Pemerintah Indonesia memulai  menyelesaikan permasalahan Aceh dengan melibatkan pihak ketiga yaitu, melalui kesepakatan penghentian permusuhan (Cesseation of Hostilities Agreement ) atau CoHA1 Pada 9 Desember 2002 lalu di Jenewa swiss.

Selain itu, juga dibentuk Komisi keamanan bersama (Joint Security Committee) atau JSC yang terdiri atas unsur TNI/POLRI. GAM dengan Hendry Dunant Centre (HDC) sebagai fasilitator yang salah satu alternatif, penyelesaiannya adalah pemberian otonomi khusus dalam kerangka NKRI.

Namun dalam penyelesaian konflik didalamnya hanya menimbulkan krisis sosial, budaya, dan politik yang serius bagi masyarakat Aceh serta berakhir dengan kegagalan.

Saat Aceh dilanda dengan musibah gempa dan tsunami pada tanggal 26 Desember tahun 2014, maka sejarah baru telah dimulai. Berbagai kalangan mulai mencari penyelesaian yang arif, tentang konflik Aceh.

Sehingga salah satu Non Goverment Organization yang bernama Crisis Management Initiative (CMI), berhasil memfasilitasi antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Maka pada tanggal 15 Agustus 2005, telah lahir lahir sebuah kesepakatan damai atau yang dikenal dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinky, antara Pemeritah Indonesia dengan GAM.

Dalam perjanjian tersebut, Provinsi Aceh mendapatkan perlakuan khusus, yaitu ada Undang-undang Tentang Pemerintah Aceh, mendapatkan Otonomi Daerah, bisa membentuk Partai Politik Lokal, bisa mencalonkan kepala daerah melalui jalur independen dan mendapatkan Dana Otonomi Khusus (Otsus) dalam setiap tahunnya, selama jangka 20 tahun yang dimulai sejak tahun 2008.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, maka provinsi yang dikenal dengan sebutan “serambi mekkah” itu mendapatkan Dana Otonomi Khusus berupa tambahan dana transfer yang sebanding dengan 2 persen dari alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) nasional, untuk jangka waktu 15 tahun, yang dimulai sejak tahun 2008.

Penerimaan dana otonomi khusus telah membuat Aceh menjadi salah satu provinsi dengan sumber daya fiskal terbesar di Indonesia. Jika tanpa Dana Otsus, Aceh berada di urutan ke 15 dalam hal nilai pendapatan daerah per kapita, dengan adanya Dana Otsus, Aceh naik ke urutan 7 provinsi di Indonesia dengan pendapatan daerah per kapita tertinggi.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPKKA) Aceh, jumlah dana otusus yang sudah dikucurkan pada tahun 2008 sebesar Rp 3.590.142.897.000, tahun 2009 sebesar Rp 3.728.282.000.000, tahun 2010 sebesar Rp 3.849.806.840.000, tahun 2011 sebesar Rp 4.510.656.496.500, tahun 2012 sebesar Rp 5.476.288.764.000, tahun 2013 sebesar Rp 6.222.785.783.000, tahun 2014 sebesar Rp 6.824.386.514.000, tahun 2015 sebesar Rp 7.057.756.971.000, tahun 2016 sebesar Rp 7,7 triliyun dan tahun 2017 sebesar Rp 8 triliyun, tahun 2018 sebesar Rp 8 triliyun dan 2019 sebesar Rp 8,3 triliyun, 2021 sebesar 7,8 triliun

Dana otsus tersebut harus fokus pada 6 bidang pembangunan, yaitu infrastruktur, ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, pendidikan, sosial, dan kesehatan. Sehingga, pemanfaatan dana otsus selain dari keenam bidang itu tidak sesuai dengan Undang-undang Pemerintah Aceh.

Apabila dilihat dari jumlahnya, maka jumlah dana otsus yang diterima oleh Provinsi Aceh mengalami peningkatan dalam setiap tahunnya. Meskipun mendapatkan kucuran dana yang besar, belum bisa memberikan dampak terhadap persoalan kemiskinan.

Pada Februari 2021 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh merilis laporan, bahwa Provinsi Aceh kembali mendapatkan predikat sebagai daerah termiskian di Sumatera. Penduduk miskin di Aceh meningkat 19 ribu orang pada September 2020.(M. Agam Khalilullah)

Keyword:


Editor :
M. Agam Khalilullah

riset-JSI
Komentar Anda