Jum`at, 26 September 2025
Beranda / Ekonomi / Industri Hulu Migas, Akselerator Kebangkitan Ekonomi dan SDM Aceh

Industri Hulu Migas, Akselerator Kebangkitan Ekonomi dan SDM Aceh

Kamis, 25 September 2025 23:50 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akil Rahmatillah

ilustrasi. Foto: phe.pertamina


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tenaga kerja lokal menjadi penggerak utama perekonomian daerah. Dengan menciptakan barang dan jasa, mendukung bisnis lokal, serta meningkatkan daya beli melalui konsumsi, keberadaan mereka mampu memacu pertumbuhan ekonomi. Semakin berkualitas dan banyak tenaga kerja lokal, semakin besar pula potensi penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Aceh merasakan pahitnya kemerosotan ekonomi pasca-berhentinya operasional PT Arun NGL Co di Lhokseumawe pada Oktober 2014. Selama empat dekade, Arun menjadi ikon kejayaan LNG Indonesia. Namun setelahnya, denyut ekonomi Aceh seakan lesu. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat per Maret 2025, provinsi ini memiliki persentase penduduk miskin tertinggi di Sumatera, yakni 12,33 persen.

Kini, harapan mulai tumbuh kembali. Hadirnya proyek industri hulu minyak dan gas bumi (migas) di sejumlah lokasi lepas pantai Aceh memberi angin segar bagi ekonomi Serambi Mekkah. Potensi migas Aceh terbilang signifikan, didukung lokasi strategis untuk pengembangan teknologi energi baru seperti penangkapan dan penyimpanan karbon hingga industri blue hydrogen.

Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) mencatat, provinsi seluas 58.376 kilometer persegi ini memiliki sejumlah blok migas potensial, di antaranya Blok Andaman, Blok B, Blok A, dan blok lepas pantai Lhokseumawe. Dalam dua tahun terakhir, penemuan cadangan baru kian mempertegas prospek sektor migas Aceh.

Perusahaan energi asal Uni Emirat Arab, Mubadala Energy, misalnya, menemukan cadangan gas lebih dari 6 TCF di Blok South Andaman. Sementara Pertamina Hulu Energi (PHE) menemukan gas hidrokarbon dan kondensat di lepas pantai Lhokseumawe pada 2023. Penemuan ini diyakini mampu memperkuat peta energi nasional sekaligus mengonfirmasi potensi besar migas Aceh setelah masa kejayaan LNG Arun.

Kepala BPMA, Nasri Djalal, mengatakan kehadiran industri hulu migas tidak hanya membawa investasi, tetapi juga peluang kerja bagi masyarakat lokal. Sejak berdiri pada 2015, BPMA berperan sebagai regulator hulu migas di darat dan laut hingga 12 mil laut di Aceh.

“Kami di BPMA mengontrol pegawai di seluruh industri migas di Aceh. Dari manajer ke bawah harus orang Aceh, kecuali untuk posisi tertentu yang memang belum ada SDM lokal di bidang tersebut,” kata Nasri dalam wawancara dengan Dialeksis, Kamis (25/9/2025).

Namun, Nasri menegaskan, peluang tersebut datang bersama tantangan. Rekrutmen di industri migas sangat kompetitif. “Anak muda Aceh yang ingin terjun ke migas harus cakap akademik, punya skill bahasa Inggris yang baik, pengalaman, dan sertifikasi. Itu modal utama untuk bisa bersaing,” ujarnya.

Kesempatan itu dimanfaatkan langsung oleh Teuku Muhammad Farhan, lulusan Politeknik Negeri Lhokseumawe. Ia jeli melihat peluang bekerja di sektor migas. Kepada Dialeksis, Farhan bercerita bahwa ia sudah dua tahun bekerja sebagai instrument technician di PT Pertamina Hulu Energi (PHE) yang beroperasi di Aceh Utara.

Sejak kecil, Farhan kerap mendengar kisah tentang kejayaan Arun LNG. Bagaimana industri gas alam cair itu membuat banyak keluarga di Aceh Utara sejahtera. Kisah-kisah itu menumbuhkan rasa penasaran sekaligus tekad kuat dalam dirinya: suatu saat ia harus bisa bekerja di dunia migas.

“Waktu kuliah, saya bertekad ingin masuk ke industri migas. Jadi sejak awal saya sudah mempersiapkan diri, ikut kursus tambahan, dan aktif mencari informasi lowongan,” kata Farhan melalui sambungan telepon.

Pilihan Farhan jatuh pada Politeknik Negeri Lhokseumawe. Alasannya sederhana, politeknik dikenal lebih fokus pada praktik. Menurutnya, itu jalan tercepat untuk mengasah keterampilan teknis yang sesuai dengan kebutuhan lapangan.

“Selain itu, banyak alumni politeknik yang sudah terbukti berhasil bekerja di sektor energi. Itu jadi motivasi tambahan,” ujarnya.

Mewujudkan mimpi tentu tak semudah membalik telapak tangan. Farhan harus melewati serangkaian proses rekrutmen yang panjang dan menantang. Mulai dari tes administrasi, ujian tertulis, wawancara teknis, psikotes, hingga pemeriksaan kesehatan dengan standar tinggi.

“Yang paling berat itu tes kesehatan, karena di migas standar keselamatan sangat ketat. Setelah itu, saya juga ikut pelatihan keselamatan kerja sebelum bisa benar-benar turun ke lapangan,” kenangnya.

Selain itu, ia harus melengkapi diri dengan berbagai sertifikasi, seperti K3 migas, Basic Safety Training (BST), hingga pelatihan khusus instrumen lapangan. Ia juga mengambil kursus tambahan bahasa Inggris teknis, mengingat sebagian besar manual peralatan dan komunikasi kerja menggunakan bahasa tersebut.

Kini, setelah bekerja, Farhan merasakan perbedaan nyata antara teori di kampus dengan praktik di lapangan. Jika di kelas ia hanya belajar simulasi tekanan gas, di lapangan ia harus menghadapi kebocoran kecil di sumur produksi yang membutuhkan keputusan cepat dan tepat.

“Beda jauh. Kampus memberi dasar, tapi lapangan mengajarkan kita cara berpikir cepat. Banyak skill baru yang saya dapat, mulai dari membaca peta geologi sederhana, mengoperasikan instrumen lapangan, hingga manajemen risiko. Soft skill seperti kerja sama tim dan disiplin waktu juga sangat berkembang,” katanya.

Bekerja di migas membawa perubahan besar dalam hidup Farhan. Dari sisi ekonomi, ia kini mampu membantu orang tuanya, membiayai sekolah adiknya, bahkan memberanikan diri untuk menikah. Namun, pekerjaan ini juga punya tantangan tersendiri, salah satunya sistem kerja roster yang membuatnya harus sering berjauhan dengan keluarga.

“Pekerjaan ini membuat saya lebih mandiri. Memang berat kadang harus lembur sehingga jauh dari keluarga untuk beberapa saat, tapi semua itu terbayar dengan apa yang bisa saya lakukan untuk mereka,” ucapnya lirih.

Kisah Farhan menjadi bukti nyata bahwa kehadiran industri migas di Aceh bukan sekadar soal eksplorasi energi, tetapi juga soal transformasi keterampilan tenaga kerja lokal. Semakin banyak anak muda Aceh yang berani menempuh jalur serupa, semakin besar pula peluang Aceh keluar dari jerat kemiskinan dan bangkit sebagai daerah dengan SDM unggul di sektor energi.

Kehadiran kembali industri minyak dan gas bumi (migas) di Aceh dinilai sebagai momentum penting yang harus dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong kemajuan ekonomi daerah. Pandangan itu disampaikan Ekonom Aceh, Rustam Effendi, saat berbincang dengan Dialeksis, Kamis (25/9/2025).

“Keberadaan industri migas kali ini harus didukung penuh dan dimanfaatkan secara optimal untuk kemajuan ekonomi daerah,” kata Rustam.

Ia menekankan, keterlibatan perusahaan lokal dalam rantai pasok industri migas mutlak diperlukan. Menurutnya, perusahaan lokal bisa dilibatkan sebagai vendor atau pemasok beragam kebutuhan industri, mulai dari logistik, transportasi, hingga jasa pendukung operasional lainnya.

“Dengan cara ini, aktivitas ekonomi di daerah akan bergerak dinamis. Bisa menciptakan peluang kerja baru dan akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Rustam menyebut, manfaat kehadiran industri migas tidak hanya terbatas pada penciptaan lapangan kerja, tetapi juga bisa menumbuhkan kehidupan masyarakat di sekitar wilayah operasi. Hal itu dapat diwujudkan melalui aliran dana sosial yang digulirkan perusahaan, misalnya lewat program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

“Dana CSR sebaiknya diprioritaskan untuk mengembangkan kapasitas komunitas sosial atau lembaga di sekitar perusahaan. Dengan begitu, masyarakat sekitar tidak hanya jadi penonton, tapi ikut tumbuh bersama industri,” katanya.

Aceh pernah merasakan getirnya ketika denyut industri migas terhenti. Namun, di balik cadangan energi yang kembali ditemukan, tersimpan harapan baru: anak-anak muda yang berani bermimpi seperti Farhan, perusahaan lokal yang siap bertumbuh, dan kebijakan yang memberi ruang bagi masyarakat untuk berperan. Jika semua potensi ini bergerak seirama, maka bukan tidak mungkin, dari rig-rig lepas pantai hingga bengkel kecil di pelosok desa, Aceh akan menemukan kembali pijar kejayaannya, bukan semata karena energi yang tersimpan di perut bumi, melainkan karena manusia-manusia yang memilih untuk bangkit dan berdaya.[AR]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
bpka - maulid