DIALEKSIS.COM | Nasional - Sektor keuangan Indonesia mencatat fenomena menarik menjelang akhir tahun 2025. Di tengah likuiditas perbankan yang sangat longgar akibat stimulus pemerintah, penyaluran kredit ke sektor riil justru belum bergerak optimal.
Data Bank Indonesia mencatat nilai fasilitas kredit yang belum ditarik oleh nasabah (undisbursed loan) mencapai Rp 2.509,4 triliun per November 2025 atau sekitar 23,18 persen dari total plafon kredit perbankan nasional. Kondisi ini menunjukkan dana telah tersedia, namun belum dimanfaatkan oleh debitur.
Ahli Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala, Dr. Rustam Effendi, SE.,M.Si., Akt.CA.CMA, menilai fenomena tersebut mencerminkan sikap kehati-hatian dunia usaha dalam menyikapi prospek ekonomi ke depan.
“Meski dana di perbankan berlebih, kucuran kredit masih belum seperti yang diharapkan. Artinya, calon debitur memilih untuk tidak meminjam. Ini menunjukkan adanya kekhawatiran terhadap prospek usaha, khususnya untuk tahun 2026,” ujar Dr. Rustam.
Menurutnya, sikap tersebut tidak hanya ditunjukkan oleh korporasi besar, tetapi juga oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Korporasi cenderung menggunakan laba ditahan daripada meminjam ke bank. Mereka memiliki kalkulasi risiko sendiri, terutama kekhawatiran gagal bayar, sehingga lebih memilih bersikap konservatif,” jelasnya.
Meski demikian, ia mencatat sejumlah bank swasta masih mampu meningkatkan penyaluran kredit.
“Beberapa bank swasta, seperti BCA, terlihat lebih agresif menyalurkan kredit. Kemungkinan karena strategi manajemen yang lebih aktif menawarkan skema pembiayaan yang menarik kepada calon debitur,” tambahnya.
Dr. Rustam menegaskan, apabila kondisi ini terus berlanjut, maka kebijakan pemerintah untuk mendorong ekspansi usaha melalui pelonggaran likuiditas berpotensi tidak optimal.
“Likuiditas yang memadai harus diiringi dengan jaminan prospek usaha. Menciptakan iklim usaha yang cerah sangat kompleks karena dipengaruhi faktor ekonomi dan politik, baik global maupun domestik,” tegasnya.
Terkait kondisi daerah, Dr. Rustam menyebutkan belum tersedia data terkini mengenai pertumbuhan kredit di Aceh. Namun secara umum, pola kehati-hatian debitur di daerah cenderung mengikuti tren nasional.
“Calon debitur pasti mempertimbangkan prospek usaha yang akan dikembangkan dengan pinjaman tersebut,” katanya.
Ia menambahkan, bencana yang terjadi di Aceh berpotensi memperlambat pertumbuhan kredit dan mendorong restrukturisasi pembiayaan.
“Banyak usaha terdampak bencana. Mereka membutuhkan perlindungan dan relaksasi. Tidak mungkin korban bencana dipaksa membayar kredit sesuai akad awal,” ujarnya.
Menurut Dr. Rustam, kondisi tersebut juga akan meningkatkan risiko perbankan.
“NPL atau NPF hampir pasti meningkat. Ini menjadi tantangan serius bagi perbankan di daerah,” pungkasnya.
