Jusuf Kalla: Pertemuan trilateral ulama digelar pada 11 Mei
Font: Ukuran: - +
Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (tengah) usai melakukan peletakan batu pertama pembangunan Indonesia Islamic Center di Kabul, Afghanistan, 28 Februari 2018. (dok.Biro Set Wapres-RI, aagency.tr.id)
DIALEKSIS.COM, Jakarta – Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan trilateral ulama Afghanistan, Pakistan, dan Indonesia pada 11 Mei mendatang untuk membahas perdamaian Afghanistan.
Pengumuman itu disampaikan langsung oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla di hadapan para peserta KTT Cendekiawan Muslim Dunia di Jakarta, Kamis (3/5). Setidaknya 45 ulama akan hadir untuk mencari solusi konflik di Afghanistan.
Namun Wakil Presiden RI belum mengatakan secara rinci mengenai detail pertemuan, termasuk apakah perwakilan Taliban akan turut berpartisipasi.
Kalla mengatakan Indonesia berperan besar dalam mendorong dan membantu perdamaian di bumi Afghanistan. "Tentu yang kita harapkan adalah bagaimana mendamaikan persoalan di Afganistan. Kita masih memiliki masalah di Afghanistan," ujarnya.
Kalla juga mengatakan Indonesia berinisiatif melibatkan ulama dalam penyelesaian konflik karena ulama yang lebih didengar oleh masyarakatnya. "Kalau ulama pasti akan didengar masyarakatnya sendiri. Karena kalau berfatwa lebih dipercaya," tukas dia.
Sebelumnya, Taliban telah menyuarakan penolakan terhadap pertemuan ulama yang akan digelar di Indonesia ini. "Dengan memberikan legitimasi kepada pemerintahan di Kabul dan dengan upaya propagandanya, AS ingin menipu negara-negara Muslim. Pertemuan para ulama di Indonesia atau beberapa negara Islam lainnya merupakan langkah yang menyesatkan," ujar Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid, pertengahan Maret lalu.
invasi dan intervensi negara asing
Saat menutup Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Ulama Dunia yang berlangsung selama tiga hari di Indonesia, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menyatakan bahwa penyebab perang di negara-negara Muslim tak lepas dari invasi dan intervensi negara asing.
"Bagaimana di Afghanistan, Irak, dan Suriah negara-negara seperti Amerika, Rusia berperan memperbesar konflik atau bahkan menciptakan konflik," ujar Kalla dalam pidatonya.
Selain pengaruh super power, Kalla juga menunjuk radikalisme sebagai penyebab lain konflik melanda negera-negera Muslim.
Kalla menyebut pengalaman Indonesia dalam menangani konflik Aceh dan Poso yang dipantik oleh radikalisme. "Banyak perang mengatasnamakan Islam. Kita lalu meluruskan pemahaman soal jihad," jelas dia.
Padahal, menurut Kalla, kehancuran negara-negara Muslim adalah sebuah kerugian karena untuk membangunnya kembali butuh waktu lama.
"Kita butuh waktu 50 tahun untuk merehabilitasi negeri-negeri Muslim yang hancur akibat perang," tukas dia.
Oleh karena itu, lanjut Kalla dalam pidatonya, dia menghargai segala sumbangan dan pikiran yang telah diberikan pada pertemuan KTT Cendekiawan Muslim Dunia soal Wasathiyah.
"Tentu kita berharap bagaimana kita semua berupaya mendamaikan di antara kita [komunitas Muslim dunia]. Masih ada masalah di Afganistan, [namun] para ulama pasti jauh lebih didengar daripada orang-orang Pemerintahan," kata Jusuf Kalla.
Sebelumnya, ratusan cendekiawan Muslim dunia meluncurkan "Bogor Message" KTT Cendekiawan Muslim Dunia soal Wasathiyah Islam di Bogor (1-3 Mei 2018).
Dalam pesannya, mereka mengatakan bahwa saat ini telah terjadi kekacauan dan ketidakpastian global. Hal ini diperparah dengan kemiskinan, buta huruf, ketidakadilan, diskriminasi, dan berbagai bentuk kekerasan, baik di tingkat nasional maupun global.
"Kami mempercayai Islam sebagai agama damai dan rahmat, keadilan, peradaban yang prinsip dan ajaran dasarnya mengajarkan cinta, rahmat, harmoni, persatuan, kesetaraan, perdamaian, dan kesopanan," ujar Din Syamsuddin membacakan deklarasi mewakili para peserta.
KTT Cendekiawan Muslim Dunia digelar pada tanggal 1-3 Mei di Bogor dan diikuti oleh perwakilan dari berbagai negara seperti Arab Saudi, Mesir, Yordania, Lebanon, Pakistan, Indonesia, Malaysia, Bosnia, Amerika Serikat, Inggris, dan lain sebagainya. (*)