kip lhok
Beranda / Berita / Dunia / China Kini Kuasai Industri Perfilman Dunia

China Kini Kuasai Industri Perfilman Dunia

Minggu, 10 Oktober 2021 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +

(Foto: AFP PHOTO / STR)


DIALEKSIS.COM | Dunia - Jalan panjang ditempuh China untuk menjadi raksasa industri perfilman dunia. Lebih dari satu dekade mereka fokus membangun industri film dalam negeri sebagai bagian peningkatan industri kreatif secara keseluruhan.

Dalam periode itu pula, pemerintah China serius mengucurkan dana besar untuk melancarkan soft power; mempromosikan budaya dan nilai-nilai negara di luar negeri.

Film adalah salah satu 'senjata' utamanya.

Ahli dari George Washington University David Shambaugh , seperti dalam laporan Council on Foreign Relations beberapa waktu lalu, memperkirakan China sedikitnya menggelontorkan US$10 miliar setiap tahun untuk diplomasi layar kaca ini.

Sentralisasi produksi, distribusi, penayangan film, serta pemberian subsidi menjadi bukti hubungan langsung negara dengan industri film. Kontrol dan pengawasan itu sudah berlangsung lebih dari 75 tahun terakhir dan bermula pada periode 1949 hingga akhir Revolusi Kebudayaan China pada 1976. Kala itu sistem sensor dan lisensi film mulai dibuat dan diterapkan.

Pada 1950-an, semua film harus mendapat persetujuan atau izin dari pihak berwenang terlebih dahulu sebelum ditampilkan di publik. Konten anti-komunis, anti-soviet, anti hak asasi manusia, hingga yang dinilai menyebarkan imperialisme, rasisme, dan feodalisme membuat film sangat berpotensi diblokir.

Konten-konten pornografi juga dipastikan langsung dijegal, termasuk yang diduga melanggar hukum atau kebijakan negara bagian. Di periode waktu yang sama, Komite Panduan Film (FGC) juga memperkenalkan sistem lisensi film guna memperkuat sistem terpusat.

Y. Yang dalam tulisannya yang bertajuk New Cinemas: Journal Of Contemporary Film yang terbit pada 2016 mengatakan hal tersebut sayangnya malah menjadi batu sandungan bagi perfilman China.

"Sensor dan regulasi lisensi terlalu abstrak untuk bisa diterapkan secara konsisten. Begitu banyak pemimpin yang ikut di tengah jalan. Hasilnya, terdapat ruang begitu besar untuk intervensi politik," tulisnya.

The Life of Wuxun (1951) menjadi contoh kasus supremasi politik atas industri film. Film tersebut mengisahkan Wuxun, pengemis yang membuka 'sekolah' gratis bagi anak-anak kurang mampu pada dinasti Qing.

Film itu mendapatkan respons positif publik bahkan kritikus. Namun Mao Zedong, Ketua Partai Komunis China saat itu, mengkritik The Life of Wuxun gila-gilaan mempromosikan budaya feodal dan salah mengartikan budaya China.

Dampaknya, film arahan Sutradara Sun Yu dan dibintangi Zhao Dan itu dilarang tayang di dalam negeri. Pengawasan ketat itu membuat perfilman hampir terhenti. Saat awal Revolusi Kebudayaan, tak ada film yang diproduksi dalam periode 1966-1969.

Reformasi besar-besaran kemudian baru berlangsung di pengujung revolusi atau setelah Mao Zedong tutup usia. Studio-studio film mulai dibuka kembali dan 37 film diproduksi pada 1976. Keberagaman genre juga lahir, meski film tak pernah lepas sebagai alat propaganda politik dan ideologi pemerintah.

Istilah main melody film atau zhu xuanlu dianying pun semakin populer dalam periode itu. Istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan film-film yang sesuai dan selaras dengan tujuan Partai Komunis China. Singkatnya, film-film itu membawa nilai-nilai Partai Komunis China dan menyampaikannya kepada massa.

Media China, Sixth Tone, mendeskripsikan main melody film yang sukses harus mencontohkan semangat nasional China dan menyatukan rakyat dalam memuji capaian sejarah partai, tentara, dan revolusi China.

Beberapa di antaranya adalah Kunlun Column (1988) dan trilogi Decisive Engagement.

Perfilman China mulai yakin melangkah ke dunia film internasional pada 1990-an, ketika banyak sutradara mengikuti festival film dan sederet film China menang di ajang global.

Sebut saja Farewell My Concubine (1993) yang membawa pulang piala Golden Globes dan Cannes Film Festival walau tidak mendapat izin penayangan dalam negeri akibat konten homoseksual dan Revolusi Kebudayaan China. Namun, kemenangan itu tak hanya memberikan energi pada industri film lokal tapi juga menampilkan gelombang baru perfilman China kepada dunia.

Tak hanya itu, pemerintah China juga mulai membuka pasar film untuk investasi keuangan asing, seperti Hong Kong dan Taiwan. Padahal keduanya dilarang berpartisipasi dalam pasar China selama lebih dari tiga dekade.

Di sisi lain, pemerintah China masih tetap memastikan uang penonton China tidak lari ke negara asing, terlebih lagi Hollywood. Sehingga, China lewat Kementerian Radio, Film dan Televisi membuat proyek 9550.

Proyek itu membuat China hanya mengizinkan 10 film asing untuk masuk setiap tahunnya sejak 1996-2000. Angka itu bertambah dalam dua dekade. 

Namun, di tengah jalan, Kementerian Radio, Film, dan Televisi dibubarkan dan diganti dengan dua otoritas baru yakni Administrasi Negara, Radio, dan Televisi (SARFT) dan Kementerian Perindustrian Informasi pada 1998.

Sistem sensor atas konten-konten hiburan China, termasuk film, disebut lebih komprehensif dalam SARFT atau yang kini dikenal dengan Administrasi Radio dan Televisi Nasional (NRTA).

Lembaga itu dibentuk dengan tujuan memastikan film dibuat 'benar' secara politik dan tepat didistribusikan secara tepat. SARFT berhak melarang tayang produksi apa pun yang tak mendapatkan persetujuan sebelumnya.

Ainhoa Marzol Araburu dalam The Film Industry in China yang terbit pada 2017 menuliskan dua cara yang biasanya digunakan studio film China memperbesar bisnis atau pundi uang.

Selain bekerja sama dengan Hong Kong atau Taiwan dalam menjangkau pasar tertentu, mereka juga bisa memproduksi film dengan biaya pemerintah. Apalagi, pemerintah memegang kendali atas China Film Group (CFG) Corporation yang paling banyak memegang rantai industri film China.

"Ini biasanya menjadi jalan yang dipilih studio-studio kecil," tulis Ainhoa.

Founding of a Republic menjadi contoh kesuksesan langkah itu. Film tersebut 'dipesan' pemerintah untuk memperingati hari jadi ke-60 Republik Rakyat China. Sekitar 177 bintang dan sutradara terkemuka, seperti Vicki Zhao, Vivian Wu, Donnie Yen terlibat di dalamnya.

Film yang dirilis pada 2009 itu menuai cuan hingga 400 juta yuan dan jadi pertanda China siap memasuki arus blockbuster komersial utama dengan film propagandanya.

Panduan dalam Memfasilitasi Pengembangan Industri Film diterbitkan Dewan Negara pada 2010 sebagai bentuk dukungan pemerintah dalam mempromosikan film China di luar negeri sekaligus peningkatan soft power budaya nasional.

Di tahun yang sama, China juga mencetak rekor pendapatan box office. China Daily melaporkan box office pada 2010 meningkat 61 persen, menjadi hampir US$1,5 miliar.

SARFT mencatat China membuat 500 film pada 2010, peringkat ketiga setelah Bollywood dan Hollywood dalam produksi film tahunan. Angka produksi film dan jumlah bioskop di China terus meningkat sejak saat itu hingga pandemi melanda.

Pada 2020, China menyalip penghasilan tahunan Amerika Utara, box office terbesar di dunia, dengan kenaikan mencapai US$1,988 miliar pada Minggu (18/10).

Berdasarkan data Artisan Gateway yang dilansir Hollywood Reporter, angka itu membuatnya menyalip Amerika Utara yang mengumpulkan US$1,937 miliar.

Sejumlah film-film patriotik kerap mendominasi box office lokal dan memecahkan rekor, seperti Wolf Warrior 2 (2017) yang turut diproduksi China Film Group. Film itu menjadi yang terlaris di China sepanjang masa.

"Partai Komunis telah berhasil memperkuat persaingan dalam industri film China di pasar domestik sambil tetap mempertahankan cengkeraman kuat pada budaya umumnya dan secara khusus industri film," tulis Y. Yang [cnnindonesia.com]. 

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda