Ada yang Lebih Ngeri Pasca Covid, China Beberkan Persiapannya
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Dalam mengatasi perubahan iklim, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memfokuskan penanganan pada China. Pasalnya, Negeri Tirai bambu itu merupakan salah satu penghasil emisi terbesar dunia. Perubahan iklim, jadi isu yang dikhawatirkan dunia di masa depan selain pandemi Covid-19 saat ini.
Dalam mengatasi hal ini, Beijing sendiri telah mempersiapkan beberapa hal. Dilansir dari AFP, China mengatakan akan merilis dalam waktu dekat peta jalan dalam menangani perubahan iklim, menjelang acara global United Nations (UN) Climate Change Conference (COP26) di Glasgow, Skotlandia pada November 2021 mendatang.
"Dalam waktu dekat makalah kebijakan yang relevan akan ada di luar sana, akan ada rencana implementasi terperinci," kata Utusan Khusus China untuk Perubahan Iklim Xie Zhenhua dalam webinar online yang diselenggarakan oleh Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong.
Salah satu hal yang ditekankan oleh China tersebut adalah janji Negeri Tirai Bambu untuk menjadi netral karbon pada 2060. Dalam implementasinya, ada beberapa hal yang ingin dilakukan seperti mengurangi konsumsi batubara.
Namun sejauh ini, China sedang membangun pembangkit listrik tenaga batu bara di lebih dari 60 lokasi di seluruh negeri, sementara pembangkit listrik yang tidak beroperasi telah dibuka kembali. Hal ini membuat beberapa ilmuwan bertanya kembali mengenai komitmen Beijing.
"Pesta batu bara baru ini merusak tujuan iklim jangka pendek dan jangka panjang," kata Christine Shearer, direktur program batubara GEM kepada AFP.
Menurut para peneliti di Universitas Tsinghua Beijing, dalam memenuhi target emisi China, sebanyak 90% listrik harus berasal dari nuklir dan energi terbarukan pada tahun 2050. Namun pada faktanya, sejauh ini baru 15%. Progres ini cukup lambat pasalnya lobi dari pelaku industri batubara terlalu kuat sehingga komoditas itu menjadi menarik.
"Tetapi perusahaan utilitas masih enggan meningkatkan jumlah listrik hijau yang mereka beli karena tekanan kuat dari lobi batu bara," kata Han Chen, peneliti kebijakan energi China di Dewan Pertahanan Sumber Daya Nasional, sebuah kelompok advokasi iklim yang berbasis di AS.
"Itulah sebabnya energi terbarukan hanya berkontribusi 15% dari bauran energi China meskipun semua investasi mengalir ke industri," katanya.
Dari segi kendaraan listrik, Beijing diketahui mulai mengambil langkah mundur pada pada tahun 2020 setelah beberapa kasus penipuan subsidi yang mengguncang industri. Hal ini menghambat insentif industri mobil listrik.
Terakhir, para pegiat lingkungan mengingatkan agar China tetap berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon. Kuncinya terletak di pengurangan konsumsi bahan bakar fosil.
"Kuncinya adalah untuk mengurangi kecanduan negara terhadap bahan bakar fosil," ujar penasihat kebijakan iklim di Greenpeace China, Li Shuo.[CNBC Indonesia]