DIALEKSIS.COM | Istanbul - Di tengah riuh kehidupan metropolitan Istanbul, berdiri kontainer-kontainer unik berwarna cerah bertuliskan Kullanılmayan Giysilerinizi Paylaşın Yardım Eli Uzatın (Bagikan Pakaian Tak Terpakai Anda, Ulurkan Tangan Bantuan).
Kontainer itu dikenal masyarakat sebagai Kumbara Sepeti, wadah donasi pakaian bekas yang menjelma menjadi simbol solidaritas baru di kota-kota besar Türkiye.
Inisiatif ini bukan sekadar solusi pengelolaan sampah tekstil. Ia lahir dari semangat berbagi, menyatu dalam tradisi Islam akan wakaf, dan kini tumbuh menjadi gerakan sosial yang menghubungkan kepedulian warga urban dengan ekosistem berkelanjutan.
“Di sini, setiap satu kilometer pasti ada satu Kumbara Sepeti. Letaknya strategis. Ada yang di halaman masjid, pinggir trotoar perumahan, hingga di dekat halte tram. Aksesnya mudah dan membuat orang merasa tergerak untuk menyumbang," ujar Surya Al Firdaus, warga Aceh yang kini menetap dan bekerja di Istanbul dalam wawancara kepada Dialeksis.com, Jumat, 25 Juli 2025.
Surya Al Firdaus, warga Aceh yang kini menetap dan bekerja di Istanbul, Turki. Dokumen untuk dialeksis.com.Surya, yang telah tinggal di Turki sejak 2022, mengaku kagum pada sistem yang dibangun pemerintah kota dan komunitas sosial setempat.
Menurutnya, program ini tidak hanya memberi manfaat langsung kepada masyarakat yang membutuhkan, tetapi juga mengedukasi warga akan pentingnya memilah barang layak pakai dan mengurangi konsumsi berlebihan.
“Di Aceh, saya sering lihat pakaian menumpuk tak terpakai di rumah-rumah. Di sini, orang dengan ringan hati masukkan pakaian ke kontainer. Itu bisa jadi penyelamat musim dingin bagi pengungsi atau tunawisma. Saya rasa konsep seperti ini patut dicontoh di kota-kota Indonesia,” tambahnya.
Prinsip kerja Kumbara Sepeti cukup sederhana. Warga menaruh pakaian tak terpakai ke dalam kontainer.
Pemerintah kota melalui dinas kebersihan dan sosial mengumpulkannya secara berkala. Pakaian disortir adalah yang layak pakai akan disumbangkan lewat yayasan sosial seperti Türk Kızılayı (Bulan Sabit Merah Turki) atau komunitas bantuan lokal, sementara yang rusak akan didaur ulang menjadi bahan tekstil industri atau kain serat ulang.
Berdasarkan data dari Istanbul Büyükşehir Belediyesi, lebih dari 3.000 ton pakaian berhasil dikumpulkan sepanjang tahun 2024 saja.
Angka ini bukan hanya mencerminkan semangat berbagi warga Türkiye, tetapi juga keberhasilan pemerintah dalam merangkul partisipasi masyarakat untuk solusi lingkungan.
Tak sedikit Kumbara Sepeti ditempatkan di halaman masjid atau dikelola oleh yayasan keagamaan. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai Islam mengenai wakaf menyumbangkan sesuatu secara terus-menerus untuk kepentingan umum.
“Buat kami yang berasal dari negara Muslim seperti Indonesia, nilai-nilai ini terasa akrab. Tapi cara Turki mengemasnya dengan pendekatan modern dan manajemen kota yang baik membuatnya terasa lebih relevan,” ujar Surya.
Ia menambahkan, program ini tidak memerlukan anggaran besar. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan kolaborasi: antara pemerintah, komunitas sosial, masjid, dan warga.
Kumbara Sepeti bukan hanya meringankan beban hidup keluarga prasejahtera. Ia juga berhasil mengurangi tekanan terhadap tempat pembuangan akhir (TPA), serta memperpanjang siklus hidup tekstil, yang umumnya menjadi penyumbang limbah terbesar di kota-kota besar dunia.
Selain itu, Istanbul kini sedang mengembangkan aplikasi mobile untuk melacak lokasi Kumbara Sepeti terdekat, serta sistem pelaporan donasi secara transparan. Langkah ini bertujuan meningkatkan akuntabilitas dan kenyamanan warga yang ingin berkontribusi.
Surya Al Firdaus berharap pemerintah kota di Indonesia, termasuk di Banda Aceh tempat asalnya, bisa mengadopsi konsep serupa dengan pendekatan lokal. Ia menyebut pentingnya keterlibatan anak muda, komunitas masjid, dan pelajar dalam gerakan ini.
“Bayangkan jika di Aceh, setiap masjid punya kotak Kumbara Sepeti. Kita bisa salurkan pakaian ke korban bencana, warga miskin, atau pengungsi. Tak hanya di kota, bahkan di pelosok desa,” tuturnya.
Ia mengingatkan bahwa inovasi sosial tidak selalu butuh teknologi tinggi. “Yang penting adalah sistem yang jelas, manajemen yang amanah, dan budaya berbagi yang terus dipupuk,” pungkasnya.