kip lhok
Beranda / Dialog / Prediksi Jalannya Pilkada 2020 Menurut Prof Firman Noor

Prediksi Jalannya Pilkada 2020 Menurut Prof Firman Noor

Kamis, 14 Mei 2020 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), Prof Firman Noor. [Foto: IST]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 diperkirakan bakal terjadi pergeseran serta perubahan-perubahan lain akibat dampak pandemi Covid-19.

Melihat berbagai kemungkinan yang terjadi serta prediksi terhadap jalannya Pilkada 2020, Dialeksis.com melakukan bincang khusus dengan Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), Prof Firman Noor, Selasa (12/5/2020). Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana prediksi ke depan terkait kejelasan Pilkada yang nantinya akan berlangsung di beberapa kabupaten/kota se-Indonesia. Apakah bisa berjalan sesuai dengan yang diagendakan yakni 23 September 2020 atau mengalami pergeseran? Bagaimana Prof menyikapi ini?

Saya kira pergeseran itu wajar dan sudah ada Perppu-nya yakni Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang pemilihan kepala daerah. Dalam Perppu itu di pasal 201 huruf a, satu, dua, dan tiga itu sangat jelas disampaikan bahwa Pilkada akan dilangsungkan pada Desember 2020.

Tapi mana kala di waktu yang diagendakan tidak bisa dilangsungkan, maka akan dicarikan lagi waktu lain di tahun 2021.

Jadi, kelihatannya sudah positif ini. Sudah sesuai dengan hasil konsultasi KPU dengan Komisi II DPR yang kemudian melaporkan ke presiden terkait situasi yang sedang dihadapi. Lalu hasilnya tertuang dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2020.

Pertimbangannya karena memang tidak dimungkinkan September dilangsungkan, mengingat bahwa kita belum ada kepastian kapan pandemi Covid-19 ini berakhir.

Hanya harapan bahwa Juli ini ada turning point penurunan, kemudian Agustus sudah membaik. Dan September baru kemudian kondisinya sudah betul-betul baik.

Bagaimana bila harapan itu tidak sesuai nantinya dengan keadaan di lapangan, dengan kata lain keadaan belum betul-betul membaik?

Ya, ini memang belum ada kepastian, melihat sejarahnya bisa jadi virus itu ada gelombang kedua, seperti flu Spanyol di awal abad ke-20. Itu kan pas gelombang keduanya korban lebih besar. Gelombang pertama orang anggap sudah selesai, kemudian terlena, tapi justeru virus belum tuntas, nah gelombang keduanya yang bahaya.

Terkait pandemi memang serba tidak pasti. Oleh karena itu pemerintah mencoba untuk membuat skema-skema. Kalau virus ini masih berlanjut di bulan Juni, Juli, maka rencana Pilkada pada Desember itu pun harus diundur.

Karena memang, surutnya virus itu bukan berarti kita langsung bisa otomatis langsung Pilkada seperti biasa. Harus ada pengkondisian dulu. Ada serangkaian kegiatan dulu, tidak boleh langsung mereplays dengan cepat.

Di situ juga harus dihitung masalah jadwalnya, programnya, tahapan-tahapan harus juga disesuaikan, dan anggarannya harus disiapkan.

Bagaimana dengan anggaran dan keterbatasan negara secara finansial saat ini, mengingat akan jadi hambatan besar sampai posisi negara benar-benar stabil dari sisi keuangan. Apakah tetap memungkinkan Pilkada berlangsung di 2020 atau 2021?

Nah saat ini kan kita lihat dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya dua persen, ya itu kan sudah sangat kedodoran sekali.

Namun itu konsekuensi yang harus tetap dilakukan oleh pemerintah, karena memang sudah menjadi ketetapan. Sudah jadi tugas pemerintah untuk memenuhi itu. Nanti bisa dicarikan dananya dari banyak sumber.

Saya kira kalau virus ini segera berakhir, dana yang digunakan untuk penanggulangan pandemi Covid-19 sebesar Rp 405 triliun itu bisa dikembalikan ke posnya. Dari situ kita bisa cari dana untuk memenuhi kebutuhan seputar Pilkada yang memang tidak murah ini.

Kalau kita berbicara terkait formulasi yang tepat agar pelaksanaan Pilkada serentak ini bisa berjalan. Seperti apa mekanisme atau formulasinya. Apakah normal seperti dulu, atau ada pengkondisian tertentu yang harus dibuat KPU?

Mungkin formulasinya lebih kepada masalah kampanye dan juga masalah pemungutan suaranya. Ini harus dijaga betul. Jangan sampai kegiatan yang melibatkan banyak orang ini justeru menjadi sumber pandemi lagi.

Bisa saja kampanye ini dilakukan melalui media-media yang sekarang mulai akrab digeluti masyarakat melalui online.

Dan juga mungkin waktunya dipersingkat, tidak 71 hari lagi, tetapi bisa saja misalnya hanya sebulan. Yang penting, sebisa mungkin mekanisme kampanye itu tidak terlalu melibatkan banyak orang di satu tempat. Apalagi sampai berjam-jam.

Dan juga dibuat semacam Protap berkampanye dalam masa transisi pandemi ini. Sehingga ada lebih banyak kesiapan-kesiapan seperti keharusan memakai masker, ada jaga jarak dan sebagainya. Dan itu saya kira sesuatu yang baik.

Bagaimana Prof melihat metode kampanye di Indonesia saat ini?

Iya, saya lihat kampanye di Indonesia ini agak aneh ya. Orang kampanye di tempat lain, misal seperti saat saya di Inggris atau di Prancis, mereka itu memberitahukan ide-ide dan programnya ke orang yang asing, bukan ke suatu partai. Dan tidak memerlukan masa yang banyak.

Mereka biasa melakukan kampanye door to door dengan memberikan selembaran, melalui gadget, online dan sebagainya. Atau cukup datang ke satu tempat, bikin semacam tenda, berbicara bebas dengan 10 orang dengan metode mengajak ngobrol.

Metode kampanye seperti melibatkan orang tua, anak-anak dan sebagainya, itu memang sangat tidak diperlukan. Dan memang itu malah menjadi sia-sia. Orang hanya menunggu dangdutannya, hanya membuat kemacetan, komunikasi politik juga tidak lancar, orang tidak peduli dengan itu dan jatuhnya money politics.

Jadi makna pesta demokrasi itu ditafsirkan secara sangat kuno. Sehingga makna kampanye sebagai satu ajang agar masyarakat memahami program atau agenda seorang kandidat itu menjadi tidak sampai. Jadi sia-sia, padahal uang yang digelontorkan juga tidak sedikit.

Artinya situasi pandemi ini semacam blessing juga bagi kita untuk bisa menemukan satu format berkampanye yang memang aktraktif, tapi efisiensinya, mengurangi praktik money politics dan juga subtansinya dapat. Ini juga mungkin tak perlu lama-lama sampai berbulan-bulan. Jadi orang juga tidak bosan juga begitu.

Kemudian dari sisi pemungutan suara, ini kan menjadi riskan karena tetap ada interaksi banyak orang juga. Bagaimana menurut Prof?

Soal ini saya punya pengalaman waktu ke Uzbekistan. Saya menjadi pengamat kampanye di sana. Saat saya ke sana, kondisi TPS sepi. Tapi saya baru tahu kemudian kenapa sepi, karena dibukanya selama 12 jam yakni dari pagi sampai sore. Jadi orang tidak buru-buru.

Kalau kita di sini kan dari pagi sampai jam 12 siang saja. Maka terjadilah penumpukan massa.

Nah, karena waktunya diperpanjang dari jam 7 pagi sampai jam 7 malam, orang-orang bisa lebih santai. Dan saya sepanjang mengamati beberapa TPS di sana, saya tidak melihat sebuah antrian yang panjang. Sehingga itu bisa mencegah perkumpulan orang yang dapat menularkan virus seperti kondisi sakarang ini.

Bagaimana bila Indonesia mulai mengarah ke sistem e-voting dan e-counting dalam hal pemungutan suara? Lalu bagaimana kesanggupan negara mampu menyediakan dan juga merealisasikan dengan keterbatasan negara itu sendiri?

Nah itu juga saatnya bagaimana kita memulai memikirkan e-voting. Jadi saya kira itu banyak sekali keuntungannya ya. Kendala klasiknya itu kan memang, pertama infrastruktur pendukungnya. Kedua maintenance alatnya.

Tapi saya pernah melihat alat voting yang portabel. Jadi kayak laptop atau mesin tik jaman dulu. Itu di India dipakai. Maintenance-nya mudah, pakai baterai dan tidak perlu listrik. Hanya butuh jaringan saja. Kalau jaringan di suatu wilayah tidak terkoneksi, maka cari jaringan di TPS paling dekat.

Nah, intinya kalau dari sisi teknologi itu bisa diupayakan. Kemudian dalam pelaksanaannya mungkin bertahap. Ada daerah-daerah tertentu yang masih memakai cara-cara tradisional, tapi ada juga yang mulai e-voting dan e-counting.

Apakah itu juga bakal membentuk relasi kecemburuan atau mengganggu dalam proses perhitungan suara?

Kalau dalam konteks pengalaman India, hal seperti itu tidak ada. Orang sudah sadar saja. Kalau belum ada jaringan internet yang masuk kan tidak bisa dipaksakan.

Nah, justeru di situ tugas negara yang pernah menjanjikan berapa ribu kilo watt listrik masuk ke desa dan sebagainya, harus dikejar juga itu janjinya. Agar realisasi, salah satunya terkait e-voting ini bisa dilakukan. Memang tugas negara menyiapkan infrastruktur itu.

Diketahui Pilkada di Aceh jatuh temponya pada tahun 2022. Terkait wacana pemerintah pusat melakukan Pilkada serentak 2024, bagaimana dengan konteks politik lokal di Aceh?

Dalam konteks ini kan pemerintahan berdiri di atas semua golongan dan kepentingan. Terutama yang sifatnya lokal.

Karena tujuannya adalah membuat Pemilu ini menjadi lebih efesien, lebih murah untuk seluruh anak bangsa dan lebih terarah. Dan masyarakat tidak selalu diganggu dengan proses elektoral secara terus-menerus. Tujuannya baik sebenarnya.

Ini harus menjadi kerja-kerja kolektif seluruh elemen bangsa di manapun ia bekerja. Dan saya kira, mengingat sisi positif ini, semua kalangan harusnya bisa meninggalkan kepentingan sektoralnya atau kepentingan lokalnya.

Sehingga kita bisa satu gerbong. Kita jadi satu komunitas bangsa yang berada dalam satu kapal yang namanya Indonesia. Mau tidak mau harus ikut kapal besar. Tidak boleh ada yang ikut sekoci atau pergi sendiri-sendiri ke mana-mana.

Lalu bagaimana dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 di mana pelaksanaan Pilkada di Aceh itu punya satu kemandirian yang memang diberikan secara spesifik dan menjadi keanomalian dalam politik nasional?

Ada beberapa pemahaman. Pemahaman keanomalian itu justeru sebetulnya tidak juga membatalkan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Yang jelas otonomi Aceh itu kan tidak terlalu detail hingga pada level atau tahapan pemungutan suara.

Dengan demikian, tetap ada celah legalitas bahwa pemerintah bisa mendorong Aceh dan daerah lain untuk mengikuti satu hajat besar kenegaraan yang memang sudah diatur oleh pemerintah berdasarkan persetujuan parlemen.

Saya kira ketimbang seperti tadi sempat menyebut kecemburuan-kecemburuan yang tidak perlu, sebaiknya legowo lah teman-teman di Aceh untuk sama-sama ikut.

Berarti harus ada ruang komunikasi juga yang harus dibangun di sana?

Nah, itu yang ingin saya katakan. Inikan hanya selisih dua tahun. Jangan sampai karena selisih ini bisa sangat berkepanjangan untuk Aceh dan juga untuk Indonesia.

Harus ada sikap bijak dari kedua belah pihak untuk mau saling mendengar, saling berkompromi, dan juga saling mengakomodir.

Beberapa daerah juga ada yang sampai dua tahun. Dan kalau itu juga dikaitkan dengan tidak efektifnya pemerintah, saya kira itu relatif. Tidak mesti juga harus begitu. Karena tentu saja dengan posisi Plt Gubernur di Aceh kan memang ada keterbatasan. Tapi itu tidak membuat semua hak jadi terambil.

Ketika Prof mengamati tentang keberadaan eksistensi dari partai politik lokal itu sendiri. Prof melihat bagaimana masa depan partai politik lokal di Aceh?

Kalau saya melihat, partai lokal itu bagian dari sejarah dan juga bagian dari tradisi politik khas Aceh yang harus dihormati. Dan dengan hasil konstan yang tidak kecil, saya kira tidak punya alasan kuat untuk kemudian untuk tidak mengakomodir eksistensi partai politik lokal di Aceh.

Meskipun saya lihat memang banyak juga elit-elit dari partai lokal yang pindah gerbong (partai) di Aceh. Entah karena kondisi internal sendiri yang memang kurang kondusif, atau ada ketertarikan yang kuat yang dijanjikan partai lain termasuk dari segi finansial dan sebagainya. Soal itu saya tidak mengerti.

Tapi intinya, eksistensi partai lokal itu di Aceh bagi saya adalah bagian dari Aceh modern. Dan biarkan itu ada sampai seleksi politik alamiah yang menentukan. Artinya seleksi elektoral akan menentukan arahnya ke mana.

Mengakhiri Prof, ada pesan untuk masyarakat Aceh?

Iya, saya bangga dengan masyarakat Aceh, menjadi masyarakat yang harus selalu memberikan inside tersendiri bagi orang Indonesia pada umumnya, memberikan karakter sendiri bagi bangsa Indonesia secara umum.

Dan saya mohon Aceh lebih banyak bersabar lagi secara politik, lebih legowo, karena kita bicara masa depan, bukan bicara masalah setahun dua tahun.

Ke depan bagaimana kita bisa melangkah lebih progres lagi sebagai suatu bangsa. Dan saya lihat, pelaksanaan Pilkada serentak itu bagian dari upaya kita untuk lebih progres lagi ke depannya. (sm)

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda