Gagasan Publik Menata LKS di Aceh, Simak!
Font: Ukuran: - +
Reporter : Biyu
Foto: Ist
Ternyata kepedulian publik (masyarakat) Aceh terhadap kondisi Lembaga Keuangan Syariah begitu partisipatif. Melalui obrolan santai, walau dikemas berbentuk diskusi serius namun santai (Sersan) bergaya dialog.
Ini resume (intisari) hasil obrolan santai berupa bertema "Conventional VS Syariah Banking - Tust Dilema" pada Jum'at pukul 20:00-22:00. Partisipan diskusi menghadirkan berbagai latarbelakang keilmuan maupun pekerjaan.
Salah seorang peserta sekaligus panitia kegiatan, Arabiyani, S.H., M.H meluangkan waktu secara eksklusif ke dialeksis.com (31/07/2021) guna menjelaskan inti sari dari kegiatan itu. Sekilas info Arabiyani seorang pengacara yang peduli terhadap kebijakan yang menjadi polemik bagi publik, dimana dia menjadi fasilitator untuk menghimpun cara menyelesaikan berbagai masalah melalui caranya yakni membangun dialektika berpikir. Berikut ini petikan wawancara, simak ulasannya.
Bagaimana anda merespon polemik tak berkesudahan terkait Lembaga Keuangan Syariah di Aceh yang banyak masalah dalam pelayanannya?
Begini, jadi saya melihat, sebetulnya ada interpretasi yang salah dalam pelaksanaan Qanun LKS. Jadi interpretasi salah ini kemudian menyebabkan hengkangnya bank konvensional dari Aceh. Karena kalau kita baca ulang sebetulnya amanah dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang sebetulnya ingin Aceh ini memiliki sistem ekonomi yang terbuka. Apakah dengan mengundang modal asing untuk membuka cabangnya di Aceh, kemudian menjadikan Sabang sebagai pelabuhan bebas, dibarengi dengan penetapan suku bunga dan infrastruktur lain yang menjadi fondasi penyubur perekonomian Aceh secara keseluruhan.
Nah ini kan kenyataanya kontra produktif dengan implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan Syariah.
Maksudnya seperti apa?
Jadi begini sebetulnya kalau menurut kita makna dari melaksanakan Aceh yang perekonomiannya itu berdasarkan prinsip-prinsip Syariah, itu bukan dengan menutup bank-bank konvensional di Aceh. Kita juga bukan setuju atau tidak setuju dengan keberadaan Bank Syariah (BS).
Jadi apa dong? Kalau saya mulai dari yang simpel dulu deh. Kita lihat produk hukumnya dulu misalnya. Beberapa syarat melahirkan produk hukum kan agar nantinya ada keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat? artinya produk hukum dalam hal ini Qanun LKS harusnya ini memberikan manfaat kepada masyarakat dengan cara mensejahterakan mereka. Kenyataanya gitu atau tidak? apakah ada keadilan yang dirasakan oleh masyarakat? Apakah kesejahteraan meningkat?
Kalau saya bilang “masyarakat “itu bukan hanya yang level bawah, tapi juga penggiat ekonomi, baik itu menengah keatas, maupun yang menengah kebawah, bahkan yang domestik sekalipun.
Jadi menurut anda penerapan kebijakan LKS saat ini di Aceh bagaimana?
Pelaksanaan Qanun LKS menurut saya itu salah kaprah ya, kenapa dikatakan salah kaprah? misalnya terburu-burunya proses migrasi dari dual System Bank menjadi Single System Bank, proses yang terburu-buru ini mengakibatkan banyak carut-marut.
Seperti yang beberapa kali diulang dalam obrolan kita tadi, bahwa 2 sistem keuangan konvensional dan syraiah ini tidak bisa langsung main substitusi saja. Mereka tidak bisa langsung saling menggantikan, tetapi betul dapat saling melengkapi.
Sebagai contoh, ada kasus tentang Jaminan Pembayaran berupa Garansi Bank untuk proyek-proyek yang besar. Bank garansi sebagai satu produk layanan perbankan yang sah ini pernah ditolak karena tidak dikeluarkan oleh bank daerah. Bayangkan proyek yang sedang berjalan menggunakan garansi bank yang diberikan oleh bank yang kemarin beroperasional di Aceh. Apa gak pusing mereka mengurus ulang dari nol? Padahal mungkin itu untuk amprahan terakhir.
Lantas bagaimana cara win win solution dalam menyelesaikan masalah LKS di Aceh Atau dibutuhkan keseimbangan menghadirkan kedua bank yakni konvensional ada maupun Syariah?
Ada 2 hal, pertama itu kita bicara tentang produk hukumnya sendiri, ya kan? normanya ini bagaimana? jadi kita melihat ada kesalahan dalam, pertama itu dalam penyusunan Qanun nya dulu. Jadi kita melihat bahwa tidak siap, naskah akademik yang disusun itu tidak memperhatikan dampak yang akan timbul dari Qanun secara jangka pendek dan panjang. Jadi naskah akademiknya itu tidak memprediksikan potensi negatif maupun positif dari pemberlakuan Qanun tersebut.
Inikan norma yang memberikan alternatif penyelesaian masalah dari pelaksanaan qanun ini tidak nampak tersedia. Seperti yang dikatakan oleh Pak Mawardi Ismail; Dalam qanun disebutkan bahwa salah satu azas yang harus dipenuhi adalah azas keadilan. Lalu kaitkan dengan tujuan qanun untuk ciptakan kesejahteraan. Ternyatakan tidak berjalan sesuai dengan tujuannya. Maka sebagai kebijakan publik, Qanun LKS ini terbuka untuk direvisi, bukan produk yang sakral. Bukan aib juga untuk di revisi.
Legislatif dan eksekutif sebagai stakeholder hadirnya qanun, harusnya jangan anti sama perbaikan isi qanun. Kita kan memperbaiki ini juga untuk memperkuat Qanun LKS ini sendiri.
Kemudian juga dalam menginterprentasikan Qanun LKS juga salah, karena di dalam Qanun LKS ini kan tidak menyebutkan bahwa harus ada penutupan terhadap, bahwa bank-bank konvensional. Tidak ada nomenklatur yang secara tegas menuliskan itu.
Beberapa langkah yang bisa segera diambil; segera lakukan revisi oleh DPRA.
Itu dari produk hukumnya, lalu bagaimana dengan keadaan yang terlanjut menimbulkan bencana bagi sebagain anggota masyarakat ini?
Bank yang sudah beroperasi hari ini harus segera memperbaiki platform servicenya.
Kalau begitu apa mitigasi (penyelamatan) kondisi hari ini, apakah memang dibutuhkan ruang bagi revisi Qanun? sehingga memasukkan keberadaan Bank konvensional kembali atau bagaimana tafsirnya?
Bank Syariah yang sudah beroperasional harus menunjukkan kompetensinya menjadi bank pilihan agar Aceh keluar dari bencana ekonomi akibat salah kaprah tadi, hehe. Sambil revisi terus dilaksanakan.
Ya kalau kata saya sih… tidak menutup kemungkinan tuh..bank-bank konvensional yang sudah hengkang ..pada balik lagi deh ke Aceh. Kan kita ga tau? Kalau ternyata hasil revisi, hasil JR, begitu, yak an?
Ada cara lain jika mandek?
Saya sih Optimis ya DPRA sukses dengan revisi qanun LKS ini. Saya lihat bang Asrizal sebagai inisiator sangat semangat dan proaktif. Diskusi tadi juga beliau turut hadir sampai selesai. Tapi.. untuk back up, juga bisa meminta Ombudsman untuk membantu, bisa juga class action seperti yang sudah dilakukan kawan-kawan kemarin terkait stiker bahan bakar, atau bisa juga melakukan Judicial Review (JR-red).
Kalau diibaratkan seperti apa?
Ya kalau kata teman saya pekerja di bank konvensional, kita ingin pindah rumah ya dari rumah yang tadinya dengan fasilitas ada 5 kamar, ada 2 dapur, tiba-tiba kita disuruh pindah ke rumah yang 3 kamar, nah ini kan harusnya sudah diprediksi, kita pindah dari tempat yang luas dengan barang yang segitu banyak dimasukkan ke rumah yang lebih kecil, nah ini kan harusnya ada transitnya dulu kah, atau difikirkan cara menyusun barangnya seperti apa. Jangan sampai ada barang yang rusak dan merugikan. Terus di Aceh ini sekarang ibaratnya proses pindahnya itu gagal. Barang-barangnya tidak muat, tidak tahu disimpan dimana, ada yang rusak juga.
Nah ini dia yang tidak mampu diprediksikan oleh penyusun Naskah Akademik dulu. Mereka mensimplifikasi masalah dan tidak bisa memproyeksikan bagaimana dampak yang akan timbul setelah Qanun ini tuh diberlakukan.
Saran atau masukan anda kepada seluruh stakeholder seperti apa sehingga di dengar agar memperbaiki dari sisi pelayanan perbankan di Aceh?
Kita tidak bisa mensimplifikasi masalah sekarang. Kalau kata Bang Moch Din, kita harus melihat persoalannya secara makro, bagaimana masalah perekonomian kita, investasi kita, belanja kita, dan lain-lainnya. Beliau jgua berulang kali bilang bahwa bank konvensional dengan bank syariah ini bukan 2 system bank yang bisa saling menggantikan, nggak bisa, jadi 2 system bank ini ya paling bisa saling melengkapi.
Bank syariah harus segera memastikan bagaimana fasilitas dari bank syariah itu bisa mengcover kebutuhan-kebutuhan yang dulunya itu dicover oleh bank konvensional dan ini yang kejar-kejaran sama waktu, proyek berjalan terus, kebutuhan-kebutuhan masyarakat berjalan terus, investasi berjalan terus, konsumsi, proses konsumsi masyarakat belanja dari masyarakat jalan terus, kalau nggak segera ditangani bisa collapse.
Apalagi kan kalau bicara kegiatan yang menghidupkan masyarakat di ditingkatan paling kecil, domestik itu kan dia berharapnya dari proses keuangan dari jualan yang sederhana kan?. Mereka mau belanja antar bank dikenakan biaya administrasi 6.500, belum lagi narik atm ga bisa, padahal gak pegang cash. Atau transfernya bisa sangkut berhari-hari.
- Dr. Damanhur: Bank Syariah Yang Ada di Aceh Selamatkan Masyarakat Dari Transaksi Ribawi
- Hentikan Polemik LKS, Perjuangkan Bank Central Syariah di Aceh Karena Sesuai MoU Helsingki
- Komisaris BSI: Tak Ada Istilah Bunga di Sistem Bank Syariah
- OJK Panggil Jusuf Hamka Minta Klarifikasi Terkait Bank Syariah Yang Zalim