kip lhok
Beranda / Dialog / Alhudri: Pemerintah Aceh Berhasil Pulangkan 14 Nelayan

Alhudri: Pemerintah Aceh Berhasil Pulangkan 14 Nelayan

Kamis, 31 Januari 2019 09:25 WIB

Font: Ukuran: - +

Kepala Dinas Sosial, Drs. Alhudri, MM.

Disela-sela kesibukannya, selaku Kepala Dinas Sosial Aceh, Drs. Alhudri MM menyempatkan diri bertemu dan menyambut dengan ramah wartawan Dialeksis.com untuk mengulas tuntas penanganan 16 nelayan Aceh di Rakhine, Myanmar. Berikut ini petikan wawancaranya;

Bisa Bapak ceritakan bagaimana proses penanganan 16 nelayan orang Aceh yang berada di Myanmar, selanjutnya apa langkah kongkrit penanganannya? 

Sebenarnya persoalan ini sudah beberapa bulan yang lalu, Kebetulan para nelayan kita ini secara tidak sengaja masuk ke wilayah negara lain. Kalau di lautan bebas sana, minimnya peralatan kapal, seperti peralatan untuk mendeteksi wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) itu masih sangat minim. Sehingga mereka tidak mengetahui tiba-tiba sudah masuk area negara lain. 

Berkaitan dengan itu musibah ini yang menimpa pada 16 orang nelayan kita. Pada waktu itu sekitar 4 atau 5 bulan yang lalu. Kemudian sampailah rumor kepada kami tentang keberadaan mereka. Kemudian saya berusaha mencari kontak siapa yang bisa saya hubungi. Insya Allah saya bertemu dengan Bapak Prof. Dr. Iza Fadri (Duta Besar Indonesia untuk Myanmar). Lalu dari diskusi  intens yang terus kami lakukan, intinya adalah pengembalian imigran yang bermasalah atau tenaga kerja yang bermasalah adalah dibawah Kementerian Sosial, sesuai yang diamanahkan oleh undang-undang. Dalam hal ini, ada di Dinas Sosial. Kebetulan juga, peristiwa ini bukanlah hal yang pertama, tetapi sudah sangat sering terjadi. Jadi kami tetap melakukan "protap" tersebut. 

Dalam komunikasi selanjutnya, ternyata dari 16 orang itu (informasi dari Pak Made-staff kedutaan Indonesia di Myanmar) satu orang sudah meninggal dunia akibat meloncat pada waktu penyergapan. Jenazahnya ditemukan keesokan hari setelah penyergapan. 

Kisah selanjutnya bagaimana ?

Saat itu diketahui, jarak dari Yangon ke lokasi ini sekitar 36 jam dengan jalan bukan aspal. Intinya, saya tetap berkomunikasi dengan pihak kedutaan untuk dapat menolong saudara-saudara kita ini. Kami yakin, kalau hanya untuk mencuri ikan, malah orang dari negara luar yang sering mencuri ikan ke tempat kita. Buat apa kita mencuri ikan ke negara orang sana. Tapi saat itu, belum diketahui apakah akibat kelalaian atau kerusakan kapal. Komunikasi terus intens saya lakukan sampai saya dijumpakan dengan Duta Besar yang ternyata beliau asli orang Minang.

Saat itu kondisi masih kacau, keluarga di Aceh yang tak tinggal diam, dan itu sah-sah saja, jangankan mereka, jika kita terkena musibah seperti itu pun, tentu kita tak bisa tinggal diam.

Akhirnya, komunikasi ini membuahkan hasil, koordinasi dengan kedutaan dan Kemenlu menemukan titik terang, bahwa satu jenazah meninggal sudah dimakamkan oleh Etnis Melayu yang ada di Rakhine seizin pimpinan kapal. Kemudian 15 nelayan itu harus mengikuti mekanisme negara tersebut, apalagi Myanmar di bawah pemerintahan Junta Militer.

Siapa yang memimpin proses ini?

Bapak Duta Besar langsung yang memimpin proses ini. Saya beranikan diri saya untuk selalu terhubung dengan duta besar, karena ini menyangkut hak-hak warga Aceh sekaligus masyarakat Indonesia. Ini juga marwah dan martabat kita semua. Dan beliau sangat tanggap, karena karakter beliau yang agamis. Beliau selalu menyambut panggilan telepon yang saya lakukan. Bahkan pesan WA selalu direspon dengan cepat.

Proses ini akhirnya membuahkan hasil. Dari ke lima belas nelayan ini (termasuk 2 anak-anak), bahwa 14 nelayan dikembalikan ke Indonesia. Sementara sang kapten kapal harus mengikuti proses mekanisme di Myanmar. Terkait hal ini, Bapak Duta Besar juga mengupayakan pendekatan dengan Kemendagri Myanmar. Karena sistem Myanmar, isu ini ada di bawah Kementerian Dalam Negeri mereka.

Selanjutnya apa yang Bapak lakukan terkait ini?

 

Saat ini yang sedang saya usahakan, kebetulan ini sudah dibicarakan dengan Bapak Plt. Gubernur, Duta Besar dan Direktur Perlindungan WNI, Dr. Lalu Muhammad Ikbal. Kebetulan beliau baru dilantik 3 bulan yang lalu menjadi Duta Besar Indonesia untuk Turki. Akan tetapi terkait kasus ini masih menjadi tanggung jawab beliau. Sebab itu diminta oleh Ibu Menteri Susi Pudji Astuti untuk datang ke Aceh, terkait masalah ini.

Ini bukan persoalan ringan. Ini kasus luar biasa. Dua duta besar datang ke Aceh, merupakan hal yang luar biasa, penghormatan untuk kita orang Aceh.

Alhamdulillah, 14 orang ini telah sampai ke Aceh, selasa (29/01) kemarin. Mereka tiba di Aceh menggunakan penerbangan Lion Air.

Apa tanggung jawab Pemerintah Aceh, pasca mereka dikembalikan. Apakah perlu tahapan rehabilitasi? 

Saya pikir itu nanti sambil berjalan ya. Intinya pekerjaan keseharian mereka adalah nelayan, mereka tidak memiliki masalah sosial seperti tidak adanya pekerjaan. Persoalan ini hanya karena kesilapan. Tentu nantinya kita akan berkoordinasi lagi dengan dinas terkait, dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan. Terkait dengan profesinya, maka proses ini akan dikembalikan ke stakeholder masing-masing. Kalau mungkin nanti ada aspek psikososial tentu akan ditangani pada dinas sosial. Tetapi jika menjurus pada pekerjaannya, kebetulan ini nelayan, tentu Dinas Perikanan dan Kelautan juga akan mengambil peran dalam hal ini.

Keterlibatan Dinas Sosial dengan Panglima laot, sudah ada komunikasi atau bagaimana? 

Saya sudah berkomunikasi dengan Panglima Laot. Kebetulan tadi pagi berkomunikasi. Beliau wajib mengetahui karena nanti duta besar akan memaparkan agar jangan ada lagi kejadian seperti ini. Maka disini kita akan himbau bersama-sama. Termasuk beliau (duta besar-red) nanti akan menjelaskan masalah Rakhine. Apa yang sebenarnya terjadi disana. Itu juga yang menjadikan beliau datang ke Aceh. Agar kita ini jangan selalu menampung dan menampung (pengungsi), tanpa mengetahui apa yang sebenarnya yang terjadi. Kita hanya melihat satu logo saja, yaitu Islam. Tetapi apa yang terjadi dibalik itu kita tidak tahu, nanti beliau akan terangkan.

Terkait dengan pemaparan Bapak tadi mengenai maraknya kasus-kasus seperti ini, apa langkah kongkret yang harus dilakukan. Apakah nelayan perlu dilakukan pendidikan bagaimana keberadaan ZEE kepada nelayan, atau perlu suatu instrumen yang berbeda?

Sebaiknya kita lihat secara umum terlebih dahulu. Pertanyaan awalnya adalah mengapa ini sering terjadi? Sebenarnya ini bukan nelayan saja. Banyak TKI kita yang terlibat kasus ini, seperti kasus Entikong yang saya jemput beberapa waktu yang lalu. Ternyata mereka adalah korban penipuan. Ini akar masalah sebenarnya. 

Kalau nelayan kesasar ini adalah kejadian sewaktu-waktu. Tetapi kejadian akibat para agen yang memberi iming-iming kepada warga bahwa bekerja di luar jauh lebih baik. Namun kenyataan di sana tidak seperti itu, apalagi dengan skill yang rendah. Pekerja dengan skill rendah ini biasanya masuk dengan visa wisata, sampai di sana bekerja (ilegal). Kalau pekerja dengan skill bagus, pasti menggunakan visa untuk bekerja. Tentu sudah ada perusahaan penampung di negara tujuan.

Saat ini yang perlu kita hadapi bersama, para agen ini jangan sampai memberi hal yang tidak baik kepada masyarakat sehingga menjadi korban. Kemudian, jika ingin bekerja di luar negeri, maka perlu skill dan bisa mengikuti jalur tertentu seperti pada dinas tenaga kerja. Pemikiran ini harus kita samakan, jangan sampai kita mengatakan tidak ada lapangan kerja di tempat kita. Kadang-kadang, karena tergiur dengan janji manis para agen sehingga menimbulkan korban pada saudara-saudara kita. Oleh sebab itu sama-sama kita sosialisasikan ke masyarakat "hujan emas di negeri orang, jauh lebih bagus hujan batu di negeri sendiri". (ah/nur)



Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda