Beranda / Berita / Aceh / Dwikorita: Sinergi Antar Lembaga Kunci Pengurangan Risiko Bencana

Dwikorita: Sinergi Antar Lembaga Kunci Pengurangan Risiko Bencana

Kamis, 31 Januari 2019 10:37 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Bencana Gempa dan Tsunami yang pernah menimpa Provinsi Aceh, hendaknya menjadi pelajaran bagi masyarakat Aceh, khususnya kesiapsiagaan terhadap bencana. 

Hal ini disampaikan Prof.Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc, Ph.D selaku Kepala BMKG Pusat, dihadapan wartawan dalam konferensi pers tentang "Konsolidasi Kebencanaan di Propinsi Aceh" di Media Center Humas dan Protokol Setda Aceh, Rabu (30/01).

Dwikorita menambahkan, Kejadian gempa yang tercatat setiap tahunnya mencapai 4000 sampai 6000 kejadian, di seluruh Indonesia. Di antara kejadian gempa ini, yang bisa dirasakan oleh manusia yaitu dengan magnitudo diatas 5.0 SR ada sekitar 250-300 kejadian dalam satu tahun. 

"Namun sejak tahun 2017, BMKG mencatat kejadian gempa mencapai 7000 kejadian dalam setahun. Dan yang menjadi perhatian di tahun 2018, 11920 kejadian gempa tercatat dengan jumlah yang bisa dirasakan manusia lebih dari 360 kejadian. Artinya, setiap hari terjadi gempa yang dirasakan di berbagai wilayah di Indonesia. " Kata Dwikorita.

Kejadian yang paling merusak di tahun 2018 adalah bencana Gempa di Lombok dan Palu. Dwikorita menyebutkan tentang alam yang sedang menunjukkan peningkatan seismisitas, yang mana juga dilaporkan oleh USGS.

"Ini menjadi perhatian bagi makhluk hidup di bumi untuk lebih waspada. Sinergi antara lembaga baik pemerintah, media maupun masyarakat harus ditingkatkan. Kejadian bencana alam yang tidak hanya frekuensi yang meningkat, tetapi juga multi bencana, seperti yang terjadi pada Tsunami Selat Sunda yang merupakan kombinasi dari erupsi gunung api dan gelombang tinggi." Tutur Kepala BMKG Pusat.

Kasus ini memberikan catatan bahwa sinergi antar lembaga menjadi salah satu kunci dalam memberikan diseminasi terkait dengan pengurangan risiko bencana kepada masyarakat. Sekalipun BMKG telah memberikan peringatan gelombang tinggi, tapi tsunami selat sunda yang terjadi adalah akibat erupsi gunung berapi Anak Krakatau, sementara itu BMKG tidak mengamati aktivitas gunung berapi. Hal inilah salah satu faktor masih tingginya korban bencana alam di Indonesia.

BMKG juga mencatat bahwa Bencana gempa yang terjadi di Indonesia mengalami anomali. Seperti kejadian Gempa lombok yang mengalami kejadian gempa puncak sebanyak dua kali, dalam waktu yang tidak begitu lama. Peristiwa ini menjadi masukan dalam perencanaan pengurangan risiko bencana. 

Pemerintah bersama BMKG dan kementrian terkait, saat ini sedang menyiapkan sistem pengembangan monitoring gempa dan tsunami. Sensor dibawah laut akan dipasang untuk mendeteksi tekanan hidrostatis dibawah laut. Sehingga dapat mendeteksi tsunami yang terjadi akibat gempa tektonik maupun akibat longsor bawah laut. BMKG merencanakan sistem ini akan dapat diaplikasikan dalam waktu 2 tahun. (nur)


Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda